Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Merasa Sering Halu? Ini 5 Tips Sederhana Menghadapi Gejala Psikosis

1 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 27 April 2022   05:28 1763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pandemi Covid-19 yang berlangsung saat ini bisa jadi pemicu munculnya gejala psikosis. | Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Di tengah perjalanan saya dari gereja, kami, saya bersama driver ojol terlibat percakapan menyoal beberapa peraturan Pemerintah yang dinilai kurang mengakomodir kebutuhan masyarakat pada masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berlangsung. 

Kami sepakat peraturan tersebut lebih terkesan ambivalen. Maraknya kafe dan mal yang ditutup pukul 20:00 WIB tidak serta merta membatasi masyarakat yang berkerumun di beberapa warung kaki lima yang tetap diizinkan buka hingga pagi.

Satu pernyataan sang driver yang menarik perhatian saya adalah,"Saya heran, mengapa belum pernah terdengar orang gila kena covid, Mbak. Apa mungkin karena mereka ga pernah berpikir soal Corona ini yha, Mbak?"

Tanpa menunggu perintah, ia mengurai teori pribadinya mengenai makna pasrah yang ia tekuni selama pandemi berjalan.

Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang. (Amsal 17:22)

Sesaat saya teringat satu temuan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kemenkes RI tahun 1990-2017. Disebutkan bahwa penyakit kardiovaskuler merupakan penyumbang penyebab melambungnya angka kematian penduduk Indonesia sebesar 36,4%. 

Namun demikian, apabila dilihat dari penyebab kecacatan penduduk Indonesia, angka prevalensi terbesar berasal dari penyakit gangguan jiwa sebesar 13,4%. 

Sedangkan jenis gangguan jiwa terbanyak dialami oleh penduduk zamrud khatulustiwa ini adalah depresi. Bagaimana dengan schizophrenia? Penderita schizophrenia menduduki peringkat ke-3. Fakta ini didukung oleh Riskedas 2018.

The New York Times (28/12/2020) yang lalu pun menyebutkan adanya beberapa orang yang mengalami halusinasi usai sembuh dari infeksi coronavirus. 

Fakta tersebut hingga kini masih menjalani proses kaji ulang untuk membuktikan adanya keterkaitan antara Covid-19 dengan timbulnya gangguan psikotik pada penderitanya.

Ilustrasi: Waspadai halusinasi dan delusi bagian dari gejala psikosis| via Flickr.com
Ilustrasi: Waspadai halusinasi dan delusi bagian dari gejala psikosis| via Flickr.com
Salah satu gejala seseorang mengalami schizophrenia atau masyarakat awam sering menyebutnya dengan "gila" adalah munculnya delusi dan halusinasi.

Nah, kali ini kita kulik lebih dalam yuks, bersama belajar soal halusinasi....

So, markicau.....mari kita berkicau, wkwkwk...

Kira-kira, apa sih yang membedakan halusinasi, delusi, dan fantasi?

Banyak orang mengira halusinasi sama artinya dengan imajinasi atau fantasi. Padahal itu bukan fenomena yang sama lho, ghez...

Gini nih, menurut para ahli kesehatan mental apa yang disebut halusinasi, delusi, dan imajinasi bukanlah hal yang sama.

Ini perlu dibikin linier (baca: diluruskan) karena pemahaman tentang halusinasi dan imajinasi masih diasumsikan sebagai fenomena yang sama. Padahal dua fenomena tersebut berbeda. 

Fantasi atau imajinasi timbul karena bentukan dunia fiktif yang muncul dari dalam diri kita sendiri. Kita yang menginginkannya muncul dalam diri kita.

Pengen jadi artis idola sejuta umat seantero jagat kayak mas Al, atau pengen punya gebetan yang tajir melintir ala-ala Paman Gober yang tidur di atas kasur dari tumpukan jien, hepeng, money, fulus,...oh itu bukan hal yang warbyasah... it means fantasi yha, Sobs..

Sedangkan halusinasi merupakan persepsi individu sebagai sebuah pengalaman melihat, mendengar, membaui, meraba, tanpa didapati sumber stimulusnya. Meskipun tidak didapati sumber rangsangan, namun pengalaman indrawi tersebut terjadi dalam kondisi sadar.

Biasanya halusinasi terjadi ketika melihat rumah sebagai area pekuburan, mendengar burung berkicau menjadi bunyi terompet sangkakala, merasa menjadi satu-satunya penebar virus Corona ke seluruh dunia setelah sembuh dari flu Covid-19, melihat air bening menjadi air selokan, dan lain sebagainya.

Beda halnya dengan delusi. Delusi lebih menitikberatkan pada keyakinan seseorang akan sebuah peristiwa yang sebenarnya tidak nyata.

Contohnya, saat individu merasa sedang dikejar-kejar, atau merasa dijauhi teman-teman sekomunitas, atau berprasangka bahwa seseorang telah jatuh cinta padanya meski kenyataannya tidak, wadidaw aw aw .....

Dalam budaya kita, halusinasi dan delusi sering diidentikkan dengan gangguan dari makhluk astral, alias makhluk gaib.

Yang lebih memprihatinkan adalah stigma masyarakat terhadap seseorang yang mengalami halusinasi merupakan gangguan yang lumrah terjadi. Bukan sesuatu yang perlu mendapat perhatian (lebih).

Padahal,sebagai salah satu gejala gangguan psikotik, halusinasi maupun delusi adalah gangguan yang membutuhkan penanganan medis, dalam hal ini pengobatan psikiater secepatnya.

So, apa nih yang relate dengan kondisi sekarang?

Beragam tekanan hidup dan lingkungan diasumsikan menjadi external trigger, pemicu individu menekan emosinya, keinginannya, bahkan citra diri sebenarnya, supaya tetap dapat eksis dalam masyarakat sekitar. 

Hmmm, kalau sudah begini, coba deh lihat lagi kisah hidup Lady Gaga, Gengz... Dia juga pernah merasakan penolakan dalam lingkungannya. Namun, pilihan hidupnya for being the real her, menjadi dirinya sendiri memberinya arti lebih dari sekadar numpang eksis di mata umat sejagat.

Jumlah temuan baru kasus Covid-19 yang berajojing semakin berbanding lurus dengan segala ketidakpastian dalam berbagai aspek hidup masyarakat, menimbulkan stresor bagi individu untuk berusaha bertahan setiap hari, tanpa kenal batas usia maupun gender.

Manusia dipacu supaya beradaptasi dengan budaya baru yang terbentuk dari kondisi khusus, dalam hal ini pandemi covid, bencana alam, maupun kejadian khusus lainnya. Tidak sedikit mereka yang menyerah atau memilih jalan pintas, flight, lari dari impitan alam agar dapat survive.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Profesor Richard Gray dari La Trobe University dan rekan-rekannya dari Orygen University of Melbourne pada bulan Mei 2020 menemukan fakta adanya keterkaitan antara gejala gangguan psikotik berupa halusinasi dan delusi dari beberapa orang pasien Covid-19.

Tekanan yang timbul akibat dari isolasi mandiri maupun aktivitas yang melulu dilakukan dari dalam rumah menyebabkan kurangnya sosialisasi individu terhadap lingkungan memicu individu untuk menekan emosi supaya dapat tetap bertahan.

Nah, sedikit tips aja nih, Gengz...biar kita engga bete-bete amat ngadepin dunia yang penuh kejutan.

1. Stay cool...tetap tenang. Banyak motivator atau mereka yang peduli mental health menyarankan supaya kita tetap menjaga supaya dapat hidup tenang. Karena dalam tenang, kita tidak terburu-buru merespon sebuah kejadian. 

Ada beberapa cara yang dapat kita biasakan. Seperti, berlatih meditasi (level pemula biasanya cukup berlatih menyadari satu siklus nafas ajha. Inhale, hitung empat hitungan, exhale, hitung empat hitungan), atau dapat juga dengan membangun rutinitas religius kita sebelum mengawali aktivitas.

2. Pastikan ada jeda dalam tiap mengambil keputusan. Sebagai seorang penyandang hipotiroid, saya sering mengalami mood swing. Saya juga banyak belajar untuk menjaga kesadaran saya dengan mengizinkan diri diam sejenak, mengambil jeda.

Ingat, keputusan yang kita ambil berdasar emosi biasanya lebih banyak merugikan dari pada menguntungkan kita. So, jangan sungkan bila kita berkata pada lawan bicara kita, "maaf, saya lagi capek, kita bicarakan ini besok yha?"

3. Salurkan setiap emosi dengan benar. Emosi marah dan takut merupakan contoh dua emosi dasar yang biasanya kita hindari. Sebagian besar dari kita lebih memilih untuk menekan emosi. 

Kita lebih memilih untuk menekan marah agar tetap terlihat tampil baik, atau menyembunyikan takut karena menjadi pribadi dengan pilihan yang berbeda dengan yang lain. 

Well, it's not a great choice, I guess...apabila terus menerus kita lakukan, hmmm, tinggal tunggu waktunya to become loss dhooool... Salah satu caranya, ambil tissue menangis secukupnya (itu kata Hindia, gengs), bisa juga ambil alat tulis dan kertas lalu corat-coret sesuka Anda, atau janjian ama teman terpercaya, trus curcol dah...

4. Mari kita kendalikan apa yang dapat kita kendalikan. Segala yang tidak pasti di luar sana seperti penyebaran virus, timbulnya penyakit baru, ekonomi yang tidak menentu, atau situasi lain yang tidak mampu kita kendalikan, biarkan saja terjadi. 

Lakukan apa yang dapat kita lakukan. Kendalikan apa yang dapat kita kendalikan. Cuci tangan, jaga jarak, pakai masker, kurangi mobilitas. Kalaupun harus beraktifitas di luar rumah secara rutin, selalu patuhi protokol kesehatan

5. Minimalkan ekspektasi yang berlebih. Hidup "berjarak" secara fisik, menggiring manusia kekinian melibatkan gadget dalam berbagai manifestasinya dalam kehidupan sosialnya. Eksistensi kehidupan sosial manusia harus kita akui banyak didominasi oleh media sosial.

Tuntutan dunia maya tak dapat disangkal memberi pengaruh besar pada pertumbuhan mentalitas, seakan memaksa kita hidup di masa depan. Berekspektasi lebih dari apa yang saat ini, sekarang ini terjadi pada kehidupan kita. 

Kita seakan dituntut untuk lebih dari ini, lebih dari itu, bersaing dengan ini, berkompetisi dengan itu. Seakan tidak ada ruang untuk "cukup" atau "gagal". Tanpa kita sadari, bahwa kita pun sebenarnya perlu menyediakan ruang bagi "kegagalan" yang mungkin terjadi dalam hidup kita.

Kay...itu dulu saja. Belajar sedikit demi sedikit, yha Sobs agar kita engga halu melulu....

Ps. Nah, kalau bangun villa, adakan pesta barbekyu, hidup santai di atas pulau pribadi kek Lantigiang Selayar....jadi halu ga yak? xixixixi

See yuuuu.....

*sumber: 

  1. nytimes
  2. kompas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun