Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengulik Wanita dan Keresahannya

26 Februari 2020   16:16 Diperbarui: 26 Februari 2020   16:24 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duduk di hadapan saya siang itu. Seorang ibu muda dengan tungkai kacamata yang hampir patah. Di pelipis kirinya terdapat bekas luka baru, atau lebih tepatnya lebam.

Dari mana ia dapatkan itu? Kemarin kami masih berbincang dan tertawa lepas. Dan kini, ia menghiasi makan siang saya dengan bola mata sebelah kiri yang terlihat merah. Karena terjatuh? Ternyata bukan.

"Kemarin aku bertemu bapaknya anak-anak di jalan waktu pulang kerja. Dari belakang ia menarik rambutku, aku di seret dan kepalaku dibenturkan di pintu. Dia ngamuk, mbak. Pengen nelanjangin aku di jalan. Sangat tidak sopan. Aku pengen teriak, tapi jalanan sepi,"

Begitulah ungkapan seorang ibu muda 38 tahun, Erni (bukan nama sesungguhnya), di sela air mata kejengkelan dan amarahnya. 

Selama ini ia harus bekerja keras menghidupi 2 orang anaknya. Sebagai tulang punggung keluarga ia bekerja dari pagi hingga sore, lalu sesampainya di rumah ia disibukkan dengan mengurus kebutuhan anak-anaknya yang saat itu masih berusia 13 tahun dan 3 tahun.

Kondisi tersebut mungkin bukan hanya dialami oleh Erni. Banyak kasus serupa yang mungkin hampir tiap hari menggelinding di sekitar kita. Erni hanya satu dari beribu kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan Indonesia.

Rendahnya tingkat perekonomian keluarga memicu para wanita ini untuk memasung keinginannya mendapatkan sebuah kenyamanan. Jangankan nyaman, bahkan menyempatkan diri untuk sekedar me time di rumah pun jarang.

Mereka harus bergulat dengan kenyataan, bahwa dapur harus terus mengepul, cicilan motor terlunasi, uang sekolah anak tetap terjamin, bahkan utang di warung terdekat mampu terbayar.

Namun alih-alih mendapat pengakuan dan seulas rasa terimakasih dari sang suami. Yang terjadi justru mereka mendapatkan perlakuan kasar baik verbal maupun fisik. 

Selingkuh beserta ancaman demi ancaman secara psikis, maupun tindakan intimidasi lain harus ditelan bulat-bulat hanya demi pengakuan dan eksistensi sebagai seorang istri seperti yang terpatri dalam aturan tak tertulis masyarakat.

Berbeda dengan Erni. Ada beberapa wanita bahkan yang mengaku gemetar saat mendengar teriakan, meskipun teriakan tersebut bukan ditujukan kepadanya. Mengapa? Karena setiap hari, sang suami meneriaki dengan kata-kata yang tak selayaknya di dengar.

Dilansir dari Siaran Pers Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2019 kemarin, ternyata Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menduduki peringkat pertama untuk kasus kekerasan yang dilaporkan, selain Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), dan selanjutnya, Incest.

Undang-Undang No. 23 tahun 2004, pada pasal 5 sangat jelas memaparkan adanya pelarangan tindakan kekerasan dalam lingkup rumah tangga, baik itu berupa kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Lantas mengapa tindakan kekerasan tersebut masih saja marak, bertumbuh bagai jamur di musim hujan?

Minimnya pengetahuan mengenai payung hukum yang disediakan oleh negara ini menambah tinggi dan semakin maraknya kasus kekerasan dalam tangga di Indonesia. Terlebih, bagi kaum marjinal seperti kaum buruh dan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah.

Tentu hal ini sangat berkaitan pula dengan penyebaran pengetahuan masyarakat awam, demi terpupuknya kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat di berbagai lini. Namun apakah faktor distribusi edukasi kepada masyarakat luas saja yang menjadi PR kita semua?

Ternyata ada faktor lain yang ikut menyumbang pada peliknya problem ini, yaitu ketidakpedulian masyarakat sekitar bila terjadi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. 

Dengan dalih kejadian kekerasan ini adalah ranah pribadi keluarga, maka dengan ringan kita seakan lepas tangan dan tak peduli akan kondisi mereka.

Tingkat kepedulian sosial di era millennium ini terasa semakin minim saja. Jangankan menoleh atau bertindak menolong, untuk sekedar mendengar keluhan mereka yang terdampak saja kita seakan tak punya waktu. Sibuk dengan urusan dan pemuasan keinginan kita masing-masing.

Tetapi, baiklah jika faktor ekstern memang menjadi batu ganjalan bagi terangkatnya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Lalu bagaimana dengan banyaknya fakta di luar sana, ketika seorang wanita mengalami kekerasan dalam rumah tangganya sendiri dan ia hanya memilih untuk berdiam diri saja?

Membiarkan diri diinjak, dipukul, dibentak, dipaksa melakukan hubungan intim saat sedang sakit, atau bahkan diancam jika tak mau menuruti kemauan sang suami. Bagaimana dengan penelantaran secara ekonomi, atau mendapat cacian, makian, bahkan dipermalukan pasangan, dan berbagai tindakan kekerasan verbal lainnya, yang menimbulkan luka psikis pada wanita.

Belum lagi tindakan perselingkuhan yang dilakukan suami sehingga mengakibatkan kesakitan mental istri dan anak- anak.

Budaya patriarki seringkali di jadikan alasan bagi kita menempatkan wanita untuk menjadi pihak yang "harus" menjalani dan menerima dengan patuh pada peraturan konvensional tak tertulis bahkan yang sangat pahit sekalipun tanpa menghiraukan hak asasinya sebagai seorang manusia.

Apakah budaya kita dengan serta merta kita salahkan? Wow...wow....wow.... tunggu dulu. Budaya manusia selalu bergeser. Dinamis. 

Budaya tidak hanya jalan di tempat. Budaya akan berjalan seiring dengan perubahan siklus kebutuhan manusia dalam pemenuhan eksistensinya pada era-era tertentu. Lantas apa yang mestinya patut digeser dalam hal ini?

Intimidasi sosial pada status janda seringakali membayangi dan menghantui pola pikir wanita kita. Tudingan miring hingga pelecehan seksual seringkali diterima oleh mereka yang menyandang status janda. 

Belum lagi beban ekonomi keluarga yang harus ditanggung oleh seorang janda selalu membayangi dan memberikan ancaman bagi wanita yang sudah terbiasa hidup bersama dengan pasangan hidupnya.

Hal inilah yang membuat para wanita lebih memilih untuk tetap berada pada iklim tak nyaman, dari pada mencoba untuk menghargai kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Di sini saya tidak bermaksud untuk mengajak para wanita menyukseskan tingginya angka perceraian di Indonesia. Namun lebih dari itu, saya hanya ingin kita menempatkan wanita dan perannya dalam bermasyarakat.

Wanita berhak untuk disayangi, dikasihi, dihargai, dan berhak untuk merasa bahagia sebagai penolong bagi kaum Adam. Menempatkan wanita di tempat yang tepat. 

Memberi rasa aman bagi istri tanpa harus membandingkan dengan rumput tetangga yang terlihat lebih hijau. Menghargainya bukan hanya sebagai hiasan atau barang yang bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu. 

Memfungsikan perannya sebagai penolong bukan sebagai tulang punggung keluarga. Dan memberinya rasa percaya yang ternyata jauh lebih penting daripada rasa cinta untuk mempertahankan sebuah relasi. 

Usah risau wanita akan mengambil posisi, karena wanita paham apa yang dinamakan kodrati. Wanita adalah kebutuhan bagi pria. Untuk itulah kehadiran wanita tercipta bagi dunia ini.

*Solo,...selamat saling menghargai....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun