Mohon tunggu...
dhivatiara
dhivatiara Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa konseling

mahasiswa konseling, hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mencegah Kekerasan Seksual Pada Kaum Perempuan Melalui Pelatihan Asertif Sejak Dini

3 Mei 2024   23:17 Diperbarui: 3 Mei 2024   23:32 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berupaya untuk mendayagunakan sumber daya manusia untuk mendukung capaian visi Indonesia Emas 2045. Sumber daya manusia merupakan salah satu modalitas penting bagi Indonesia untuk mencapai cita-cita pembangunan nasional dalam visi Indonesia Emas 2045, karena Indonesia diproyeksikan akan mendapatkan bonus demografi dalam bentuk ketersediaan penduduk usia produktif dalam jumlah besar (Finaka, 2021). 

Dengan tersedianya penduduk usia produktif dalam jumlah besar, maka hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kontribusi untuk menduku capaian visi Indonesia Emas 2045. 

Untuk mendayagunakan sumber daya manusia, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk membentuk pemuda sebagai sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga dapat meningkatkan kontribusi mereka guna mendukung capaian visi Indonesia Emas 2045.

Namun dalam upaya membentuk sumber daya manusia berkualitas, terdapat suatu permasalahan yang dapat menghambat upaya tersebut, permasalahan tersebut adalah tindak kekerasan seksual. Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Saksi & Korban, pada tahun 2021 terdapat 216 korban tindak kekerasan seksual yang tersebar dari anak usia 0-6 tahun hingga remaja usia 16-18 tahun. 

Ditinjau berdasarkan tempat kejadian, tindak kekerasan seksual justru banyak terjadi di  lingkungan sekolah. Berdasarkan data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang dilaporkan ke Komisi Nasional Perempuan menunjukan bahwa dalam kurun waktu tahun 2015-2021 terdapat 67 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah.

Sekolah menjadi tempat terjadinya perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual. Berdasarkan fungsi yang dimiliki, Sekolah tidak hanya berfungsi sebagai sarana pembelajaran namun juga sebagai sarana interaksi sosial. Menurut pendapat sosiolog Georg Simmel yang merujuk pada doktrin atomisme logis yang menjelaskan bahwa masyarakat merupakan bentuk dari interaksi berbagai individu dan bukan merupakan suatu interaksi yang bersifat substansial (Soekanto, 2003). 


Dalam interaksi sosial yang dilakukan oleh siswa di Sekolah dapat berpotensi untuk menimbulkan perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual, perilaku tersebut dapat menyebabkan gangguan psikologis, mempengaruhi pencapaian prestasi belajar siswa.

Timbulnya perilaku menyimpang pada siswa seperti kekerasan seksual, dapat diakibatkan oleh kerentanan emosional pada kalangan siswa. Annisavitry & Budiani (2017) dan Dhuha (2022) menjelaskan bahwa siswa berada pada fase transisi menuju dewasa sehingga siswa memiliki emosi yang tidak stabil, pada fase ini siswa sulit untuk mengendalikan emosi. 

Dengan kondisi emosi yang tidak stabil dan sulit untuk dikendalikan, situasi ini kemudian membuat siswa rentan untuk terpengaruh oleh berbagai bentuk pengaruh baik yang berasal dari internal dalam diri maupun eksternal yang mendorong siswa untuk melakukan berbagai bentuk perilaku menyimpang yang dapat berdampak negatif. Selain faktor kerentanan secara emosional, penyebab lainnya kerentanan siswa terhadap tindak kekerasan seksual adalah adanya relasi kuasa, yang dimana pihak-pihak yang memiliki kuasa dominan seperti guru dapat dengan mudah melakukan tindak kekerasan seksual terhadap siswanya, hal ini dikarenakan guru tersebut mengancam siswanya, dan siswa tersebut tidak mampu dan tidak berani untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya akibat adanya ancaman yang diberikan oleh gurunya.

Menjadi penting untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual, karena tindakan tersebut dapat berdampak hingga usia lanjut dan mempengaruhi kehidupan serta berdampak terhadap produktivitas kerja. Dampak tindak kekerasan seksual tersebut kemudian turut mempengaruhi upaya pembentukan sumber daya manusia unggul untuk mendukung capaian visi Indonesia Emas 2045.

Membentuk Asertivitas Untuk Mencegah Tindak Kekerasan Seksual

Untuk dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk asertivitas sejak dini. Menurut Alberti & Emmons (2001), asertivitas adalah pernyataan diri yang bersifat positif, yang dilakukan dengan tetap menghargai orang lain, sehingga kemudian akan meningkatkan kepuasan kehidupan pribadi dan kualitas hubungan dengan pihak lain. Asertivitas dapat ditunjukan melalui pernyataan diri yang bersifat tegas terhadap suatu hal, namun pernyataan tersebut dimaksudkan baik dengan tidak menyinggung pihak lain.

Pembentukan asertivitas merupakan cara sederhana yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual, dengan adanya asertivitas dapat membantu anak dalam menghadapi berbagai bentuk pengaruh baik internal maupun eksternal yang berupaya mempengaruhi anak untuk melakukan kegiatan seksual yang sebelumnya tidak dikehendakiknya. 

Dengan kondisi kerentanan emosional serta relasi kuasa yang dimanfaatkan oleh pelaku, adanya asertivitas dapat meneguhkan sikap dan pikiran anak untuk dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual. 

Dengan adanya asertivitas, siswa dapat menyampaikan penolakannya dengan tegas, dan bahkan melaporkan berbagai upaya tindak kekerasan seksual yang berupaya dilakukan terhadap dirinya. Selain itu, adanya asertivitas juga dapat membentuk keberanian siswa untuk menyuarakan penolakan terhadap tindak kekerasan seksual kepada para rekan-rekannya, dan bahkan membela mereka ketika dihadapkan pada tindakan kekerasan seksual. Dengan adanya berbagai manfaat tersebut, maka menjadi penting untuk dapat membentuk asertivitas pada siswa.

Untuk membentuk asertivitas pada siswa, menjadi penting untuk turut serta melibatkan peran orang tua dan guru, sehingga pelatihan asertif dapat dilakukan dalam lingkup yang terkecil yaitu keluarga, hingga lingkungan sekolah yang merupakan lingkungan interaksi sosial yang lebih luas sehingga siswa terbiasa dalam menerapkan asertivitas dalam kehidupan sehari-hari.  

Dalam lingkup keluarga, orang tua dapat melakukan pendekatan emosional untuk mendorong anaknya untuk berani mengungkapkan isi pikiran dan hatinya baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu, orang tua juga didorong untuk meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah anaknya, serta melakukan diskusi secara dua arah dengan anaknya, hal ini dilakukan untuk membentuk ikatan emosional serta meningkatkan kepercayaan diri anak. Orang tua juga harus terus memberikan masukan yang konstruktif kepada anaknya, hal ini dilakukan sebagai bentuk bimbingan terhadap anaknya untuk menghadapi situasi apapun.

Pihak guru juga memiliki peranan penting untuk menyelenggarakan pelatihan asertif bagi siswanya dilingkungan sekolah. Bentuk penyelenggaraan pelatihan asertif yang dapat dilakukan oleh guru di sekolah adalah melalui penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang bersifat inklusif, yang dimana setiap siswa dilibatkan secara partisipatif dalam seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran. 

Melalui kegiatan pembelajaran inklusif tersebut, dapat membentuk keberanian dan kepercayaan diri siswa untuk berekspresi mengemukakan pendapatnya. Keberanian dan kepercyaan diri tersebut merupakan fondasi penting untuk membentuk asertivitas untuk menghadapi pengaruh atau tekanan dari relasi kuasa. Sebagai kaum yang rentan terhadap tindak kekerasan seksual, menjadi penting untuk melakukan pelatihan asertif sejak dini.

Melalui pelatihan asertif yang dilakukan dalam lingkup keluarga dan lingkungan sekolah, diharapkan dapat membantu siswa khususnya kaum perempuan dalam membentuk dan menerapkan asertivitas dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat membantu ketika dihadapkan pada situasi sulit seperti ancaman tindakan kekerasan seksual. Dengan situasi kaum perempuan yang mampu menerapkan asertivitas dengan baik, juga dapat membantu kaum perempuan dalam mengelola emosi serta berbagai bentuk tekanan yang diberikan kepadanya baik secara internal maupun eksternal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun