Pagi 10 September 2025 media sosial dipenuhi gambar dramatis rumah-rumah tergenang hingga atap, kendaraan hanyut terbawa arus, dan warga Bali berbondong-bondong menyelamatkan diri. Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Dewata itu bukan sekadar bencana alam biasa. Ini menjadi tamparan keras bahwa Bali yang selama ini dikenal dengan filosofi hidup harmonis Tri Hita Karana, ternyata sedang menghadapi krisis keseimbangan.
Tri Hita Karana merupakan ajaran yang diwariskan leluhur Bali dan menekankan tentang pentingnya menjaga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama (Pawongan), dan dengan alam (Palemahan). Namun ketika salah satu elemen terganggu maka dampaknya bisa merembet ke seluruh aspek kehidupan. Banjir Bali 2025 menjadi bukti nyata bagaimana kelalaian manusia terhadap lingkungan, alih fungsi lahan, penebangan hutan, pembangunan tak terkendali telah memicu bencana yang melumpuhkan aktivitas ekonomi, merusak tempat ibadah, bahkan menguji solidaritas sosial masyarakat.
Fenomena ini relevan bagi kita semua. Ia bukan hanya persoalan Bali, melainkan cermin bagaimana manusia modern sering abai menjaga keseimbangan. Artikel ini akan membahas akar persoalan, mengaitkannya dengan Tri Hita Karana serta menyoroti langkah nyata agar filosofi luhur itu benar-benar menjadi pedoman hidup di era krisis iklim.
Mengapa banjir di Bali harus dilihat lebih dari sekadar persoalan cuaca ekstrem? Jawabannya terletak pada konteks sosial, budaya, dan spiritual Bali sendiri. Selama berabad-abad masyarakat Bali dikenal mampu menjaga harmoni antara pembangunan dan pelestarian alam berlandaskan Tri Hita Karana. Namun dalam dua dekade terakhir tekanan pembangunan pariwisata, urbanisasi pesat, dan minimnya pengawasan tata ruang membuat keseimbangan itu goyah.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2025) menunjukkan Bali mengalami peningkatan signifikan bencana hidrometeorologi, termasuk banjir dan tanah longsor. Alih fungsi lahan sawah menjadi vila atau hotel mengurangi daya serap tanah. Hutan yang ditebang untuk infrastruktur melemahkan fungsi resapan air. Sementara, sampah plastik yang menumpuk di saluran air mempercepat penyumbatan drainase.
Secara sosial dampak banjir merembet pada aktivitas masyarakat. Pedagang kecil kehilangan mata pencaharian karena pasar terendam. Sekolah diliburkan berminggu-minggu bahkan pura dan balai banjar terendam sehingga aktivitas keagamaan dan adat terganggu. Fenomena ini menegaskan bahwa ketika Palemahan (hubungan manusia dengan alam) diabaikan, Pawongan (hubungan sosial) dan Parahyangan (hubungan spiritual) ikut terganggu.
Dengan kata lain, banjir Bali bukan semata akibat curah hujan tinggi melainkan cerminan kegagalan kolektif menjaga filosofi Tri Hita Karana. Maka menghidupkan kembali ajaran ini menjadi sangat penting agar pembangunan tidak lagi sekadar mengejar keuntungan ekonomi tetapi juga berlandaskan keseimbangan ekologi dan nilai spiritual.
1. Tri Hita Karana: Kompas Hidup yang Terabaikan
Tri Hita Karana berarti “tiga penyebab kebahagiaan” atau “tiga harmoni kehidupan”. Filsafat ini mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati lahir dari hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
- Parahyangan mengajarkan spiritualitas dan kesadaran akan keterikatan dengan Sang Pencipta.
- Pawongan menekankan pentingnya solidaritas, gotong royong, dan kerukunan antar manusia.
- Palemahan mengingatkan manusia untuk menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Namun dalam praktik modern sering kali Palemahan yang paling terabaikan. Padahal rusaknya alam akan secara otomatis merusak hubungan sosial dan spiritual. Banjir Bali 2025 menjadi contoh nyata. Ketika sungai tercemar, hutan gundul, dan lahan pertanian berubah menjadi bangunan beton, bukan hanya alam yang rusak melainkan juga kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat.
2. Akar Masalah Banjir Bali 2025
Beberapa faktor utama penyebab banjir ini dapat ditelusuri:
- Alih Fungsi Lahan
Sawah dan ladang yang dulu berfungsi sebagai area resapan air kini berubah menjadi kawasan permukiman, vila, dan hotel. Beton dan aspal membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air.
- Penebangan Hutan Tak Terkendali
Hutan di hulu sungai banyak beralih fungsi untuk kebutuhan infrastruktur. Padahal hutan berperan penting menjaga siklus hidrologi dan mencegah erosi.
- Sampah dan Drainase Buruk
Masalah klasik di kota-kota besar Bali adalah sampah plastik yang menumpuk di sungai. Drainase yang tersumbat memperparah banjir.
- Pembangunan Tak Berkelanjutan
- Banyak bangunan berdiri di daerah rawan banjir tanpa memperhatikan kajian risiko bencana. Akibatnya setiap hujan deras memicu genangan besar.
Semua faktor ini mencerminkan melemahnya penerapan Palemahan, yang seharusnya menjadi dasar harmoni Tri Hita Karana.
4. Contoh Nyata: Ketika Tri Hita Karana Dijalankan
Tidak semua wilayah Bali kehilangan keseimbangan. Ada desa-desa adat yang masih memegang teguh Tri Hita Karana. Misalnya di beberapa desa di Gianyar masyarakat tetap menjaga subak (sistem irigasi tradisional) dengan ketat. Lahan pertanian tidak mudah dialihfungsikan karena dianggap bagian dari warisan leluhur.
Hasilnya desa-desa ini relatif lebih aman dari banjir. Subak bukan hanya sistem teknis tetapi juga simbol Palemahan yang harmonis. Selain menjaga lingkungan akan memperkuat Pawongan (kebersamaan petani) dan Parahyangan (upacara persembahan air untuk Tuhan). Kisah ini menunjukkan bahwa ketika Tri Hita Karana dijalankan secara konsisten maka akan mampu menjadi benteng nyata menghadapi krisis ekologi.
5. Implikasi bagi Kehidupan Sehari-hari
Apa yang bisa kita pelajari dari banjir Bali 2025?
- Bagi pemerintah: Tri Hita Karana harus menjadi dasar kebijakan tata ruang. Tidak ada lagi izin bangunan di daerah resapan atau rawan banjir.
- Bagi masyarakat: kesadaran kolektif sangat penting. Gotong royong membersihkan saluran air, mengelola sampah, dan menjaga hutan bisa mencegah bencana.
- Bagi generasi muda: belajar sains dan teknologi harus disertai kesadaran nilai. Bukan sekadar tahu rumus, tetapi juga sadar dampaknya bagi lingkungan dan sesama.
Banjir besar Bali 2025 memberi kita pelajaran berharga dimana bencana bukan hanya akibat alam melainkan juga akibat manusia yang lupa menjaga harmoni. Ketika Palemahan diabaikan maka Pawongan dan Parahyangan akan ikut terguncang.
Tri Hita Karana hadir bukan sekadar slogan budaya, melainkan filosofi hidup yang bisa menjadi solusi nyata. Ia mengajarkan bahwa pembangunan tidak boleh melupakan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Jika kita ingin menghindari bencana serupa, kita harus kembali pada prinsip harmoni. Mari jadikan Tri Hita Karana bukan hanya bagian dari upacara atau simbol pariwisata, tetapi juga panduan sehari-hari. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari bukan hal abstrak, penerapan Tri Hita Karana bisa diwujudkan melalui tindakan kecil seperti mengurangi sampah plastik, menanam pohon, atau ikut serta dalam program komunitas peduli lingkungan. Harapannya dengan kesadaran kolektif Bali dan Indonesia dapat membangun masa depan yang tidak hanya maju secara ekonomi tetapi juga lestari, adil, dan spiritual.
Daftar Pustaka
- BNPB. (2025). Laporan Bencana Hidrometeorologi di Indonesia. Jakarta.
- Luthfiyah, L., & Lhobir, R. (2023). Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenada.
- Ratna, N.K., dkk. (2023). Filsafat Ilmu dan Pendidikan.
- UNESCO. (2023). Reimagining our Futures Together: A New Social Contract for Education.
- Astuti, I.G.A.A.D. dkk. (2025). Kajian Filsafat Pendidikan dalam Konteks Global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI