Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buah Cerita, Kepunyaan Kita

2 Juli 2019   16:24 Diperbarui: 2 Juli 2019   16:32 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin, Mat Ji'i mendapat kiriman sebuah paket berbungkus plastik warna merah. Isinya adalah buah tangan dari kawan lama yang habis melancong hampir sebulan ke negerinya Bang Putin, Negeri beruang merah yang letaknya cukup jauh, di semenanjung timur sana.

Selain buah tangan, Ji'i juga berkesempatan mencicipi manisnya buah cerita. Kawannya itu bercerita tentang kehidupan kota dan kehidupan desa -- antara negerinya bang Putin dengan negeri tercinta ini. Kawan itu sebenarnya tidak membanding-bandingkannya. Ia hanya bertutur tentang apa yang ia rasakan di sana, selain rasa dingin yang meliuk-liuk di urat nadi. Kekira begini isinya.

"Iyaa... di sana bagus-bagus deh, mereka beneran jaga gedung-gedung peninggalan sejarah. Seriusan. Keren! Tata kotanya artistik banget."

"Setelah pulang ke Jakarta berasa beda banget. Di Indonesia itu kita hidup kayak dari pagi sampai malem kerja. Terus apa-apa hiburannya di mall, jatuhnya jadi konsumtif, mau main ke taman yang bagus aja harus masuk mall. Bayar parkirlah. Inilah. Itulah. Apa-apa mahal! gitu deh pokoknya," kata kawan tersebut memantik cerita.

Ji'i yang belakangan ini sering ngopi santai di utara Jakarta paling ujung, mencoba mereka-rekanya. Ia membayang-bayangkan cerita si kawan itu. Sambil mengusap-usap dagu dan dahi yang mengerut, ia pun bersuara lirih.

"macam betul. Kontras banget dengan Jakarta," Ji'i berkesimpulan.

***

Jika diperhatikan seksama, Jakarta hari ini sudah jauh melaju meninggalkan manusianya. Entah berasal dari planet mana penguhuni Jakarta hari ini?  

Kawasan cagar budaya Condet yang dulu sempat tersohor hanya mampu dipertahankan tak lebih dari satu generasi (30 tahun). Pohon-pohon buah yang sempat menjadi mascot Jakarta, berubah jadi beton-beton dan mengubur akar sejarah. Warung Mpok Ipeh, Cing Indun, Enyak Napiun yang biasa menjual buah dan panganan khas betawi, kalah telak oleh makanan siap saji kepunyaan Paman Sam dan teman-temannya yang tokonya ada di setiap pengkolan.

Semua orang juga tahu bahwa setiap kota harus berwajah baru dan serba baru. Tapi apa harus sampai mengubur narasi masa lalu. Petuah dan cucu-cucu yang tidak sebanding, apa cukup jika harus bicara 'dulu begini', 'dulu begitu'. Kota tanpa narasi adalah kota mati.

Lagi pula siapa peduli masa lalu. Memangnya siapa sekarang yang masih sudi memperbincangkan masa lalu. Orang berkelahi mati-matian untuk menjadi yang terdepan. Mereka sengaja membiarkan jejaknya menjadi fosil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun