Sejak zaman purba, manusia selalu dibingungkan oleh pertanyaan mendasar: siapa dirinya, dari mana ia berasal, apa tujuan hidupnya, dan ke mana ia akan pergi setelah kematian. Pertanyaan ini terus bergema sepanjang sejarah, dari pemikiran filsuf Barat hingga ajaran kebijaksanaan Timur. Dalam ajaran Hindu, pertanyaan tersebut dijawab dengan sebuah pandangan yang mendalam: manusia bukan hanya tubuh jasmani yang lahir, tumbuh, menua, lalu mati, melainkan entitas spiritual yang hakikat sejatinya adalah Atman, percikan kecil dari Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia, dalam pandangan umum, sering kali digambarkan sebagai makhluk yang memiliki akal budi. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut manusia sebagai makhluk yang dapat berpikir, merasa, dan menguasai lingkungannya. Filsafat juga menggambarkan manusia sebagai makhluk monopluralis: satu kesatuan yang terdiri dari jasmani dan rohani, individu sekaligus sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia membutuhkan orang lain untuk bertahan, berkembang, dan mencapai kebahagiaan. Namun, sebagai individu, manusia juga unik, memiliki ciri khas yang membedakannya dari orang lain. Tubuh, pikiran, perasaan, serta pengalaman menjadikan setiap manusia pribadi yang berbeda.
Keunikan manusia semakin nyata jika dibandingkan dengan makhluk lain. Hewan memang memiliki naluri, tetapi tidak dikaruniai akal budi. Manusia memiliki kemampuan merenung, mencipta, dan belajar dari pengalaman. Dengan akal itulah manusia mampu membangun budaya, peradaban, serta memberi makna pada hidupnya. Maka tidak heran jika manusia disebut makhluk yang paling sempurna ciptaan Tuhan.
Namun, Hindu mengajarkan bahwa hakikat manusia tidak berhenti pada tubuh atau akalnya. Ajaran ini menekankan bahwa manusia sesungguhnya adalah makhluk spiritual. Dalam pandangan Hindu, manusia terdiri atas tiga lapisan tubuh yang disebut Tri Sarira. Yang pertama adalah Stula Sarira, badan kasar yang dapat dilihat dan disentuh, yang lahir, tumbuh, dan mati. Kedua adalah Sukma Sarira, badan halus berupa pikiran, perasaan, serta ingatan yang membentuk watak seseorang. Yang paling dalam adalah Antah Karana Sarira, badan penyebab yang sejatinya adalah Atman. Atman inilah yang memberi kehidupan. Tanpa Atman, tubuh hanyalah jasad tak bernyawa.
Bhagavad Gita menegaskan bahwa tubuh manusia akan hancur, tetapi Atman abadi, tak pernah mati, hanya berganti wadah dalam siklus kelahiran. Karena itu, hakikat manusia sesungguhnya bukan jasadnya, melainkan Atman yang bersumber dari Brahman. Pandangan ini membuat manusia dipahami bukan hanya sebagai bagian kecil dari alam semesta, tetapi juga sebagai cerminan dari alam itu sendiri. Manusia adalah mikrokosmos, sedangkan alam semesta adalah makrokosmos. Unsur-unsur yang ada di alam semesta---tanah, air, api, udara, dan akasa---juga ada dalam tubuh manusia. Tanah tercermin dalam tulang, air dalam darah, api dalam suhu tubuh, udara dalam napas, dan akasa dalam ruang tubuh. Hubungan erat ini melahirkan pemahaman bahwa manusia dan alam harus hidup selaras, karena keduanya merupakan satu kesatuan spiritual.
Jika manusia adalah makhluk spiritual, maka muncul pertanyaan besar: untuk apa manusia hidup? Hindu memberikan jawaban yang begitu indah dalam ungkapan "Moksartham jagadhita ya ca iti dharma." Tujuan hidup manusia, menurut ajaran ini, adalah mencapai kesejahteraan lahiriah di dunia, yang disebut jagadhita, dan kebebasan rohani atau moksa. Jagadhita membuat manusia berusaha hidup bahagia, tenteram, dan sejahtera dalam kehidupannya di bumi. Sementara moksa mengarahkan manusia pada tujuan tertinggi: bersatu kembali dengan Tuhan, terbebas dari lingkaran kelahiran dan kematian.
Kedua tujuan ini tidak dapat dipisahkan. Seorang Hindu diharapkan mampu menyeimbangkan keduanya: hidup harmonis di dunia sekaligus menyiapkan diri menuju kebebasan rohani. Jalan menuju tujuan itu ditunjukkan melalui tahapan kehidupan yang disebut Catur Asrama. Tahap pertama adalah Brahmacari Asrama, masa menuntut ilmu dan membentuk karakter. Kedua adalah Grhasta Asrama, masa berumah tangga, bekerja, dan berkontribusi pada masyarakat. Ketiga adalah Wanaprasta Asrama, masa mulai menarik diri dari hiruk pikuk dunia untuk memperdalam spiritualitas. Dan terakhir adalah Bhisuka atau Sanyasa Asrama, masa penyerahan penuh kepada Tuhan, melepaskan ikatan duniawi demi mencapai moksa.
Agar manusia memahami hakikat dirinya dan dapat menjalani kehidupan sesuai dharma, Hindu memberikan pedoman yang disebut Panca Sradha. Inilah lima keyakinan fundamental umat Hindu. Pertama adalah Widhi Sradha, keyakinan pada Tuhan sebagai sumber segala kehidupan. Kedua adalah Atma Sradha, keyakinan pada Atman yang kekal di dalam diri setiap makhluk. Ketiga adalah Karmaphala Sradha, keyakinan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Keempat adalah Punarbhawa Sradha, keyakinan akan reinkarnasi atau kelahiran kembali. Dan yang terakhir adalah Moksa Sradha, keyakinan bahwa tujuan akhir manusia adalah kebebasan rohani, bersatu dengan Tuhan.
Kelima sradha ini bukan sekadar dogma, melainkan landasan moral dan spiritual yang membimbing manusia dalam hidupnya. Percaya pada hukum Karmaphala, misalnya, membuat seseorang berhati-hati dalam bertindak karena sadar bahwa semua perbuatannya akan berbuah. Keyakinan pada Punarbhawa menumbuhkan kesadaran bahwa hidup di dunia hanyalah salah satu babak dalam perjalanan panjang jiwa. Percaya pada Atman dan Brahman menumbuhkan rasa hormat terhadap semua makhluk, karena setiap kehidupan adalah percikan Tuhan. Sementara keyakinan pada Moksa memberi arah tertinggi, yakni kebebasan dari penderitaan duniawi.
Dalam keseharian, ajaran ini diwujudkan melalui bhakti atau pengabdian kepada Tuhan. Jalan bhakti bukan satu-satunya. Hindu mengenal Catur Marga Yoga, empat jalan menuju penyatuan dengan Tuhan: Bhakti Marga (jalan pengabdian), Karma Marga (jalan perbuatan), Jnana Marga (jalan pengetahuan), dan Raja Marga (jalan meditasi). Umat Hindu dapat memilih jalan yang paling sesuai dengan bakat dan kecenderungannya. Namun, semua jalan bermuara pada tujuan yang sama: mendekatkan diri kepada Tuhan, mewujudkan hakikat sejati manusia sebagai makhluk spiritual.
Hakikat manusia dan Panca Sradha memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Widhi Sradha mengingatkan manusia pada asal-usulnya, Atma Sradha menunjukkan jati dirinya, Karmaphala Sradha memberi kesadaran moral, Punarbhawa Sradha menjelaskan perjalanan jiwanya, dan Moksa Sradha mengarahkan pada tujuan tertinggi. Dengan demikian, Panca Sradha menjadi peta jalan spiritual yang membantu manusia Hindu memahami siapa dirinya dan ke mana ia harus menuju.