Agama Hindu dikenal sebagai salah satu agama tertua di dunia yang kaya akan ajaran, tradisi, dan falsafah hidup. Di balik keindahan ritual dan kesakralan upacara keagamaannya, terdapat sebuah fondasi teologis yang sangat penting, yakni Brahma Widya. Istilah ini berasal dari dua kata Sanskerta: Brahma yang berarti Tuhan Yang Maha Esa (Brahman), dan Widya yang berarti pengetahuan. Maka, Brahma Widya dapat dipahami sebagai ilmu atau pengetahuan suci tentang hakikat Tuhan. Ajaran ini bukan hanya bersifat filosofis, tetapi juga hadir nyata dalam kehidupan umat Hindu, terutama di Bali, melalui praktik spiritual, etika sosial, dan falsafah keseimbangan hidup.
Brahma Widya sering disejajarkan dengan istilah "teologi" dalam tradisi lain. Namun, berbeda dengan pemahaman teologi yang cenderung bersifat dogmatis, Brahma Widya menekankan pengalaman langsung dalam memahami Tuhan. Ajaran ini mengajak umat Hindu untuk menyadari bahwa Tuhan hadir dalam segala aspek kehidupan: di alam semesta, dalam diri manusia, dan dalam hubungan antar-makhluk. Dengan kata lain, Brahma Widya tidak berhenti pada wacana, melainkan menuntun manusia untuk merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian.
Dasar utama Brahma Widya bersumber dari kitab suci Hindu, yakni ruti, khususnya Catur Weda: Reg Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda. Reg Weda berisi himne pujian kepada dewa-dewa, Sama Weda berisi nyanyian suci, Yajur Weda berisi doa-doa ritual, sementara Atharwa Weda menempati posisi unik karena berisi mantra-mantra sakral untuk perlindungan, penyembuhan, dan doa kehidupan sehari-hari. Atharwa Weda sering dianggap sangat kuat sehingga tidak semua isinya diterjemahkan secara bebas, karena dikhawatirkan disalahgunakan. Selain ruti, ada pula Smrti, yaitu kitab pendukung seperti Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) serta Purana yang semakin memperkaya pemahaman tentang Tuhan.
Salah satu keunikan Brahma Widya adalah fleksibilitasnya dalam cara menghayati Tuhan. Umat Hindu dapat memahami Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui berbagai pendekatan. Ada animisme, yaitu kepercayaan pada roh leluhur yang diyakini melindungi keturunannya. Ada dinamisme, yakni keyakinan bahwa benda atau tempat tertentu memiliki kekuatan gaib. Selanjutnya ada politeisme, yaitu memuja banyak dewa dan dewi dengan peran masing-masing, dan monoteisme, yang meyakini hanya ada satu Tuhan dengan berbagai manifestasi. Selain itu, terdapat panteisme yang melihat semua jiwa berasal dari Tuhan, henoteisme yang memahami semua dewa sebagai manifestasi dari Tuhan yang satu, hingga monisme yang menganggap Tuhan sebagai realitas mutlak. Bahkan ada pula ateisme dalam konteks Hindu, yang bukan berarti menolak Tuhan, tetapi merupakan tahap kesadaran spiritual tertinggi ketika manusia telah menyatu dengan Tuhan.
Di Bali, Brahma Widya bukanlah ajaran abstrak, tetapi benar-benar hadir dalam praktik ritual sehari-hari. Setiap upacara yadnya yang dilakukan umat Hindu berakar pada pemahaman Brahma Widya. Para pemangku dan sulinggih menggunakan pengetahuan ini untuk menuntun jalannya upacara, menjaga kesakralannya, serta memastikan bahwa setiap persembahan sesuai dengan dharma. Dengan demikian, upacara bukan hanya ritual simbolik, melainkan juga sarana penyatuan manusia dengan Tuhan, menjaga keseimbangan sosial, dan memperkuat ikatan spiritual masyarakat.
Brahma Widya juga menegaskan lima dasar keyakinan yang dikenal dengan Panca Sradha. Pertama, keyakinan pada Brahman, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, keyakinan pada Atman, jiwa abadi yang bersemayam dalam setiap makhluk hidup. Ketiga, keyakinan pada Karmaphala, hukum sebab-akibat yang menegaskan bahwa setiap perbuatan membawa hasil. Keempat, keyakinan pada Punarbhawa atau reinkarnasi, yaitu kelahiran kembali setelah kematian. Dan kelima, keyakinan pada Moksa, tujuan tertinggi berupa kebebasan spiritual dengan bersatunya Atman dan Brahman.
Untuk mencapai moksa, umat Hindu dapat menempuh empat jalan spiritual yang disebut Catur Marga Yoga. Pertama, Bhakti Marga Yoga, jalan pengabdian penuh cinta kepada Tuhan melalui sembahyang, doa, dan kidung suci. Kedua, Karma Marga Yoga, jalan perbuatan benar tanpa pamrih, yang dilakukan sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Ketiga, Jnana Marga Yoga, jalan pengetahuan, dengan belajar kitab suci dan merenungkan kebenaran sejati. Dan keempat, Raja Marga Yoga, jalan meditasi dan disiplin diri untuk mencapai ketenangan batin. Keempat jalan ini memiliki tujuan yang sama, hanya berbeda cara pendekatan sesuai dengan kecenderungan pribadi masing-masing.
Di Bali, ajaran Brahma Widya juga diwujudkan dalam falsafah Tri Hita Karana, yang berarti "tiga penyebab kebahagiaan". Pertama, Parahyangan, yaitu keharmonisan manusia dengan Tuhan yang dijaga melalui sembahyang, yadnya, dan rasa syukur. Kedua, Pawongan, yaitu keharmonisan antar sesama manusia, yang diwujudkan melalui gotong-royong, solidaritas, dan sikap saling menghormati dengan prinsip Tat Twam Asi. Ketiga, Palemahan, yaitu keharmonisan manusia dengan alam, yang tercermin dalam tradisi menjaga lingkungan, sistem subak, serta upacara bhumi. Dengan menjaga ketiga aspek ini, kebahagiaan sejati dapat tercapai.
Brahma Widya menekankan pentingnya etika dalam kehidupan, yang berlandaskan pada prinsip Tat Twam Asi: aku adalah engkau, engkau adalah aku. Artinya, semua makhluk memiliki esensi yang sama, berasal dari Tuhan. Prinsip ini diwujudkan dalam Tri Kaya Parisudha, yaitu penyucian pikiran (Manacika), ucapan (Wacika), dan perbuatan (Kayika). Pikiran yang jernih, ucapan yang benar, dan tindakan yang baik menjadi kunci agar hidup selaras dengan dharma.
Ajaran Brahma Widya juga menekankan keterhubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos adalah alam semesta dengan segala ciptaannya, sementara mikrokosmos adalah manusia sebagai miniatur jagat raya. Tubuh manusia terbentuk dari unsur yang sama dengan alam, yaitu tanah, air, api, udara, dan ruang. Kesadaran ini membuat manusia memahami bahwa menjaga diri berarti menjaga alam, dan menjaga alam berarti menghormati ciptaan Tuhan.