Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Dilema Politik Dinasti Dalam Pilkada

28 Agustus 2020   10:35 Diperbarui: 28 Agustus 2020   13:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berikutnya faktor yang menguatkan politik dinasti adalah lemahnya pelembagaan partai sehingga brand keluarga lebih penting ketimbang ideologi partai. Dalam sebuah lembaga politik, mereka yang masih mempunyai hubungan dekat dengan keluarga acap kali mendapat keistimewaan untuk menempati posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi dan mudah memperoleh tiket sebagai calon pejabat publik.

Kondisi tersebut semakin berkembang biak karena mayoritas pemilih tradisional ternyata tidak terlalu anti politik dinasti. Nama besar yang disandang keluarga tertentu seakan menjadi modal unggulan bagi seorang kandidat untuk memenangkan kontestasi. Dukungan keluarga dan popularitas kekerabatan yang menggurita justeru dinilai sebagai kekuatan dalam demokrasi elektoral.

Pertanyaannya, apakah politik dinasti menguntungkan atau merugikan bagi masyarakat? Mampukah kepala daerah yang berasal dari politik dinasti dapat menjalankan good governance?

Hedman dan Sidel dalam buku Philippine Politics and Society in the Twentieth Century (2000) menyebut praktik dinasti sebagai pihak yang bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental namun hanya bertumpu pada keputusan individual dari para aktor dinasti yang berkuasa.

Pelembagaan partai politik tersumbat karena asas meritokrasi dikalahkan oleh hubungan darah dan pertalian keluarga. Politik dinasti tidak menawarkan insentif jenjang karir politik yang jelas bagi kalangan luar yang berintegritas dan mempunyai kapasitas agar sudi berperan aktif di dalam partai. Kaderisasi dan regenerasi partai tidak dilakukan secara profesional dan proporsional.

Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan keluarga untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Secara obyektif kita juga mendapati proses kepemimpinan yang lahir dari politik dinasti tidak semuanya berimplikasi negatif. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mencontohkan dinasti politik Kennedy di Amerika Serikat membuktikan bahwa dinasti politik tidak melulu identik dengan hal-hal negatif dalam kekuasaan. Segenap keluarga Kennedy berjuang demi bangsanya, bukan demi keluarganya.

Berikutnya di India, dinasti politik Mahatma Gandhi juga tidak kalah heroiknya. Sejumlah tokoh politik dinasti Gandhi harus meregang nyawa memperjuangkan kepentingan bangsanya. Maka yang terpenting, menurut Megawati, bukan soal hubungan kekeluargaan an sich yang harus diributkan, melainkan masyarakat harus lebih menyoroti kapabilitas seorang calon pemimpin secara langsung. (https://news.detik.com/berita/d-2391330/megawati-tanpa-dinasti-kennedy-obama-nggak-bakal-jadi-presiden)

Memilih pemimpin daerah tidak ubahnya seperti kita  memilih pasangan hidup. Sebab, kepala daerah mempunyai otoritas untuk mengeluarkan kebijakan publik yang akan berdampak bagi masyarakat. Kita mesti mencermati rekam jejak (track record) kandidat secara detail, tidak asal coblos. Jangan sampai kita tidak tahu sama sekali asal-usul sang calon. Jangan hanya percaya janji kampanye saja, tanpa menelaah rasionalitas kebenarannya. Terpilihnya seorang kepala daerah akan berpengaruh terhadap pelayanan publik dan pembangunan di daerah yang kita tinggali.

Mengutip falasafah Jawa kuno dalam memilih pemimpin hendaknya kita memperhatikan bibit, bebet dan bobot. Bibit, meliputi silsilah keturunan calon pemimpin. Asal-usul keluarga besarnya seperti apa. Apakah dari lingkungan keluarga baik-baik, terdidik, berbudaya dan beradab baik, agamis dan lain sebagainya.

Sementara Bebet bermakna lingkungan, dari mana calon pemimpin berasal. Lingkungan sangat mempengaruhi karakter dan perilaku seseorang. Karena itu harus ditelusuri, siapa teman-teman bergaulnya, di mana tempat aktivitas atau organisasi yang digelutinya. Dari sini bisa dilacak kemampuan dan bakatnya sebagai seorang pemimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun