Mohon tunggu...
Dhany Wahab
Dhany Wahab Mohon Tunggu... Penulis - Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi [LKKSD]

IG/threads @dhany_wahab Twitter @dhanywh FB @dhany wahab Tiktok @dhanywahab

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menunggu Revisi UU Pemilu

3 Juni 2020   14:10 Diperbarui: 7 Juni 2020   10:23 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menegaskan bahwa keserentakan yang tidak dapat dipisahkan adalah pemilihan Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD. Selebihnya MK memberikan keleluasan kepada Pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang untuk menentukan model keserentakan pemilu yang akan diterapkan.

Pemilihan model pemilu seperti disarankan MK harus mempertimbangkan antara lain; melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya, penentuan lebih awal sehingga tersedia waktu yang memadai untuk dilakukan simulasi, teknis pelaksanaannya dalam batas penalaran yang wajar serta memberi kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam pelaksanaan hak kedaulatan rakyat.

Mahkamah Konstitusi secara tegas mengingatkan agar tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum. Prinsipnya aturan pemilu dibuat untuk memudahkan pelaksanaan demokrasi bukan disesaki dengan banyak larangan yang justeru menjadi ancaman pidana bagi penyelenggara, peserta dan pemilih.

Selama ini bongkar pasang aturan pelaksanaan pemilu sering dilakukan oleh DPR menjelang digelar hajatan demokrasi. Perubahan aturan yang dilakukan pada waktu yang berdekatan dengan pelaksanaan pemilu dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kita menghendaki revisi UU Pemilu semestinya menghasilkan aturan yang lebih sederhana, praktis, berlaku jangka panjang dan mampu mendorong peningkatan kualitas demokrasi di tanah air.

Kita sudah mempunyai pengalaman penyelenggaraan pemilu serentak dengan lima kotak suara pada tahun lalu. Banyak pihak menilai proses pemilu serentak pertama di Indonesia menimbulkan beragam permasalahan yang bisa menjadi pelajaran bagi semua. Berkaca dari pembahasan omnibus law yang diusulkan pemerintah beberapa waktu lalu guna menarik investasi, maka tak ada salahnya momentum pembahasan RUU Pemilu bisa menjadi ‘omnibus law’ dibidang politik yakni berupa kodifikasi UU Parpol, UU Pemilu dan UU Pilkada.

Sekedar menyampaikan saran terkait pembahasan revisi UU Pemilu yang rencananya mulai dilakukan pada Juni tahun ini. Berikut disampaikan sejumlah catatan sebagai bahan pertimbangan para pemangku kepentingan.

Pertama, Pembiayaan pemilu ditanggung sepenuhnya oleh APBN. Selama ini pelaksanaan pilkada dibiayai oleh APBD masing-masing daerah. Proses perencanaan pengganggaran tidak semua berjalan mulus sebab kemampuan anggaran setiap daerah juga berbeda. Penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) untuk pelaksanaan pilkada memerlukan lobi dan dukungan politik dari DPRD yang dapat mempengaruhi independensi penyelenggara. Jika seluruh biaya pemilu serentak, baik nasional dan lokal ditanggung APBN maka setidaknya dibutuhkan dana Rp.50 trilyun dalam setiap rentang lima tahun. Sebagai gambaran pada pemilu serentak tahun lalu dialokasikan anggaran sekitar Rp.25 trilyun.

Kedua, Rekrutmen penyelenggara pemilu di daerah dilakukan serentak sebelum pelaksanaan tahapan pemilu dilaksanakan. Proses rekrutmen anggota KPU daerah yang berlangsung ditengah tahapan pemilu tentu berdampak kepada kemampuan dan kesiapan para penyelenggara yang baru terpilih dalam menjalankan tugas. Jika proses rekrutmen dilakukan sebelum tahapan pemilu maka para anggota KPU di daerah memiliki waktu yang memadai untuk mempelajari dan memahami setiap regulasi yang ada. Pengalaman pada Pemilu 2019 anggota KPU Kabupaten/Kota dilantik pada bulan Oktober 2018 disaat tahapan pemilu sedang berjalan, bahkan ada anggota KPU Kabupaten/Kota yang baru bertugas diawal tahun 2019 atau beberapa bulan menjelang hari pencoblosan.

Ketiga, Pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih. Proses pemutakhiran data pemilih yang dilakukan secara berkelanjutan diharapkan dapat menghasilkan daftar pemilih yang valid dan akurat. Permasalahan daftar pemilih selalu muncul pada setiap menjelang pelaksanaan pemilu. Daftar Pemilih yang bersumber dari data kependudukan akan lebih mudah disusun jika dilakukan secara bottom up, dimana setiap KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Disdukcapil setempat untuk menghasilkan data yang clear and clean. Pola yang berlangsung selama ini proses penyusunan daftar pemilih dilakukan secara top down dimulai dengan penyerahan Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Kemendagri kepada KPU ditingkat pusat.

Keempat, Verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Seperti proses pemutakhiran data pemilih, verifikasi partai politik sebaikanya dilakukan secara periodik minimal setiap 6 bulan. Hal ini dimaksudkan agar database yang dimiliki oleh KPU terkait kepengurusan dan kantor sekretariat parpol ditingkat daerah selalu dimutakhirkan. Proses verifikasi parpol juga dapat menjadi parameter aktivitas parpol dalam melakukan kegiatan pendidikan politik kepada masyarakat. Selama ini parpol terlihat bersemangat menyiapkan pengurus dan kantor sekretariat menjelang proses verifikasi sebagai peserta pemilu. Namun, setelah pemilu usai geliat aktivitas parpol di daerah relatif sepi. Bahkan, mungkin ada parpol yang kantor sekretariat sudah habis masa kontraknya.

Kelima, Sistem pencalonan anggota legislatif dengan proporsional daftar tertutup lebih mudah bagi pemilih dan efisien dalam pengadaan logistik surat suara, dibanding dengan proporsional daftar terbuka seperti diterapkan pada pemilu serentak 2019. Dengan proporsional daftar tertutup peran partai politik lebih dimaksimalkan saat kampanye karena sebenarnya yang menjadi peserta pemilu adalah parpol bukan caleg. Persaingan antar caleg dalam satu parpol dapat diminimalisir sehingga biaya pencalonan lebih rasional. Selama ini dengan model proporsional terbuka para caleg berlomba-lomba mengeluarkan biaya yang relatif besar. Selain itu seorang caleg ketika sudah terpilih sebagai anggota DPR/DPRD harus tunduk dan patuh terhadap kebijakan fraksi sebagai perpanjangan dari partai politik yang menaunginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun