Mohon tunggu...
Dhanny Hamid Ustady
Dhanny Hamid Ustady Mohon Tunggu... Bersinergi untuk kebaikan.

Pertambangan, Pertanian, Politik dan semua sektor untuk menyejahterakan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menjadi konglomerat baru di Indonesia

8 Juni 2025   21:39 Diperbarui: 8 Juni 2025   21:45 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustratasi masyarakat kelas bawah lolos dari badai krisis menjadi konglomerat baru ( Dok : Edit AI). 

MENJADI MANUSIA INDONESIA YANG LOLOS DARI BADAI KRISIS DAN BANGKIT MENJADI KONGLOMERAT BARU

Oleh: Dhanny Hamid Ustady/ Pemerhati Masyarakat Kelas Bawah


Indonesia adalah negeri yang kaya, tapi ironi juga banyak. Di satu sisi kita diberkahi sumber daya alam melimpah, bonus demografi, serta budaya gotong royong yang menjadi nilai khas bangsa ini. Di sisi lain, masih banyak rakyat yang tertatih dalam kemiskinan struktural dan ekonomi yang tidak ramah terhadap wong cilik. Dalam kondisi seperti ini, ketika krisis ekonomi datang menghantam, masyarakat kelas bawah seringkali menjadi korban paling awal dan paling parah. Namun sejarah juga mencatat bahwa dari reruntuhan badai ekonomi, selalu ada manusia-manusia tangguh yang bukan hanya bisa bertahan, tapi mampu bangkit menjadi pelaku perubahan besar bahkan menjadi konglomerat baru.

Lantas, bagaimana caranya menjadi manusia Indonesia yang bisa lolos dari krisis dan justru tumbuh menjadi konglomerat baru? Apakah ini hanya cerita mimpi, atau bisa menjadi jalan yang nyata? Sebagai seorang pemerhati masyarakat kelas bawah, saya ingin mengurai beberapa butir pemikiran dari bawah bukan dari teori elite atau buku-buku yang kaku. Ini adalah refleksi dari kehidupan nyata: dari warung kopi, dari suara petani, dari obrolan buruh, dari peluh tukang becak, dan juga dari mereka yang diam-diam sedang membangun mimpi besar.

 1. Mentalitas Berjuang: Krisis Adalah Kesempatan

Krisis ekonomi ibarat badai. Ia menumbangkan yang rapuh, tapi memberi ruang tumbuh bagi benih-benih yang siap. Di sinilah pentingnya mentalitas bertahan dan bangkit. Banyak orang terpaku pada rasa takut, mengeluh, atau menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Tapi mereka yang bisa melihat celah dalam kehancuran, adalah yang akan menjemput peluang baru.

Contoh nyata bisa kita lihat dari para pedagang kecil yang saat pandemi mengganti jualannya dari nasi uduk menjadi masker kain, dari petani yang gagal panen namun justru belajar mengelola sistem pertanian hidroponik. Mereka tidak sekadar mengeluh, tapi memutar otak dan melawan dengan daya.

Menjadi konglomerat bukan dimulai dari modal besar, melainkan dari keberanian besar untuk terus bergerak meski keadaan sedang gelap. Ini bukan romantisasi kemiskinan, tapi penghargaan terhadap daya juang yang tak lekang oleh krisis.

 2. Literasi Ekonomi: Modal Pengetahuan Adalah Segalanya

Krisis ekonomi bukan hanya urusan angka di bursa atau inflasi di pasar. Di balik itu, ada permainan besar yang mengatur arus uang, produksi, dan konsumsi. Masyarakat kelas bawah seringkali buta terhadap arus ini. Mereka tidak pernah diajari bagaimana uang bekerja, bagaimana sistem ekonomi menekan mereka, atau bagaimana mereka bisa menciptakan sistem alternatif yang menguntungkan.

Di sinilah pentingnya literasi ekonomi rakyat. Kita perlu revolusi pendidikan praktis yang mengajarkan hal-hal seperti: cara mengelola keuangan rumah tangga, strategi membangun usaha kecil, pemahaman tentang koperasi modern, sistem bagi hasil yang adil, hingga logika investasi mikro.

Manusia Indonesia yang ingin lolos dari krisis dan naik kelas tidak bisa lagi hanya menjadi obyek. Ia harus menjadi subyek ekonomi paham sistem, paham uang, dan paham strategi.

3. Jaringan Sosial: Bangun Komunitas, Bukan Kompetisi

Banyak konglomerat tumbuh karena jaringan, bukan semata keahlian pribadi. Masyarakat bawah justru sering terpecah oleh mentalitas kompetisi kecil: tukang bakso merasa iri pada tukang mie ayam, petani saling sikut dalam rebutan pupuk, pedagang pasar saling sabotase harga. Mental ini harus dihentikan.

Yang kita perlukan adalah membangun jaringan sosial yang saling dukung. Komunitas warga yang saling barter produk, koperasi yang bukan sekadar papan nama, desa digital yang dikelola anak-anak muda, serta gotong royong ekonomi dalam bentuk kelompok usaha bersama (KUBE) atau BUMDes yang tidak dijadikan alat politik.

Dengan jaringan, setiap individu tidak berjalan sendiri. Ada kekuatan kolektif yang menopang usaha dan memperluas dampak. Bahkan konglomerasi modern pun sebenarnya lahir dari model networking yang kuat: antara mitra, investor, komunitas pengguna, hingga distribusi.

4. Berani Mengubah Sumber Daya Jadi Nilai Tambah

Indonesia tidak kekurangan bahan baku. Dari hutan, laut, tambang, hingga hasil pertanian semuanya melimpah. Yang jadi masalah, kita terlalu lama hanya menjual bahan mentah dan membeli kembali dalam bentuk mahal.

Manusia Indonesia baru harus belajar mengolah. Dari limbah jadi kerajinan, dari bambu jadi furnitur ekspor, dari hasil tambang jadi produk turunan, dari konten jadi mata uang digital. Ini yang disebut sebagai value creation kemampuan menciptakan nilai tambah dari sumber daya.

Siapa pun yang bisa mengambil bagian dari rantai ini, sekecil apapun, akan masuk dalam sirkulasi ekonomi produktif. Dari sinilah konglomerat baru bisa lahir: bukan dari eksploitasi, tapi dari inovasi berbasis sumber daya lokal.

5. Keberanian Menghadapi Sistem: Jangan Takut Melawan Ketimpangan

Konglomerasi yang sehat tidak lahir dari sistem yang korup. Kita tidak bicara soal jadi kaya dengan jalan pintas. Kita bicara tentang manusia Indonesia yang tahan uji, tahan ditindas, tapi berani bangkit dan memperjuangkan sistem yang adil.

Petani harus berani berserikat, pedagang kecil harus berani menolak rente pasar, anak-anak muda harus berani melawan monopoli digital dan mengembangkan platform alternatif. Semua ini bukan soal politik praktis, tapi soal keberanian moral.

Menjadi manusia Indonesia yang lolos dari krisis dan jadi konglomerat baru, artinya menjadi aktor perubahan. Ia tidak bisa netral terhadap ketimpangan. Ia harus lantang memperjuangkan ekonomi yang adil, tanpa harus menjadi provokator.

 6.Transformasi Digital: Jalan Baru Menuju Konglomerasi

Teknologi adalah jembatan yang paling adil hari ini. Anak desa yang punya HP dan sinyal bisa menjual kerajinan ke Eropa, bisa bikin konten dan dibayar dolar, bisa jadi konsultan pertanian organik berbasis YouTube. Semua itu nyata dan sudah terjadi.

Transformasi digital adalah peluang besar bagi masyarakat bawah untuk naik kelas tanpa harus pindah kota. Mereka bisa membangun toko online, menjadi dropshipper, menciptakan aplikasi lokal, atau bahkan menjadi pelaku crypto dan blockchain dengan catatan mereka dibimbing, bukan dibiarkan belajar sendiri.

Negara harus hadir dengan literasi digital yang menyentuh desa. Dan masyarakat sendiri harus punya keberanian melompat ke dunia baru ini, meski awalnya terasa asing.

7. Spiritualitas dan Etika: Kaya Tapi Tetap Berakhlak

Konglomerat baru yang kita impikan bukan yang rakus dan merusak. Kita tidak ingin mencetak raksasa ekonomi baru yang mengeksploitasi sesama. Kita ingin manusia Indonesia yang kaya, tapi tetap rendah hati. Yang usahanya besar, tapi tidak melupakan akar sosialnya.

Di sinilah pentingnya spiritualitas. Kita bicara tentang kesadaran bahwa kekayaan adalah amanah. Bahwa hidup bukan soal akumulasi materi, tapi juga tentang kontribusi pada sesama. Ekonomi rakyat yang bertumbuh harus juga membawa nilai: kejujuran, keberkahan, tanggung jawab sosial, dan cinta tanah air.

 Penutup: Dari Bawah Menuju Atas, Tanpa Harus Menginjak

Kita tidak butuh revolusi berdarah untuk mengubah wajah ekonomi Indonesia. Kita hanya butuh lebih banyak manusia tangguh dari bawah yang mau belajar, berjejaring, berinovasi, dan tetap bermoral. Mereka inilah yang akan jadi benih konglomerat baru: bukan dari privilese warisan, tapi dari keberanian membangun dari nol.

Krisis hanyalah musim. Dan sebagaimana musim hujan membawa lumpur, ia juga membawa kesuburan baru. Mari jadi manusia Indonesia yang tidak takut lumpur, karena dari sanalah ladang masa depan bisa tumbuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun