MENJADI MANUSIA INDONESIA YANG LOLOS DARI BADAI KRISIS DAN BANGKIT MENJADI KONGLOMERAT BARU
Oleh: Dhanny Hamid Ustady/ Pemerhati Masyarakat Kelas Bawah
Indonesia adalah negeri yang kaya, tapi ironi juga banyak. Di satu sisi kita diberkahi sumber daya alam melimpah, bonus demografi, serta budaya gotong royong yang menjadi nilai khas bangsa ini. Di sisi lain, masih banyak rakyat yang tertatih dalam kemiskinan struktural dan ekonomi yang tidak ramah terhadap wong cilik. Dalam kondisi seperti ini, ketika krisis ekonomi datang menghantam, masyarakat kelas bawah seringkali menjadi korban paling awal dan paling parah. Namun sejarah juga mencatat bahwa dari reruntuhan badai ekonomi, selalu ada manusia-manusia tangguh yang bukan hanya bisa bertahan, tapi mampu bangkit menjadi pelaku perubahan besar bahkan menjadi konglomerat baru.
Lantas, bagaimana caranya menjadi manusia Indonesia yang bisa lolos dari krisis dan justru tumbuh menjadi konglomerat baru? Apakah ini hanya cerita mimpi, atau bisa menjadi jalan yang nyata? Sebagai seorang pemerhati masyarakat kelas bawah, saya ingin mengurai beberapa butir pemikiran dari bawah bukan dari teori elite atau buku-buku yang kaku. Ini adalah refleksi dari kehidupan nyata: dari warung kopi, dari suara petani, dari obrolan buruh, dari peluh tukang becak, dan juga dari mereka yang diam-diam sedang membangun mimpi besar.
 1. Mentalitas Berjuang: Krisis Adalah Kesempatan
Krisis ekonomi ibarat badai. Ia menumbangkan yang rapuh, tapi memberi ruang tumbuh bagi benih-benih yang siap. Di sinilah pentingnya mentalitas bertahan dan bangkit. Banyak orang terpaku pada rasa takut, mengeluh, atau menunggu bantuan yang tak kunjung datang. Tapi mereka yang bisa melihat celah dalam kehancuran, adalah yang akan menjemput peluang baru.
Contoh nyata bisa kita lihat dari para pedagang kecil yang saat pandemi mengganti jualannya dari nasi uduk menjadi masker kain, dari petani yang gagal panen namun justru belajar mengelola sistem pertanian hidroponik. Mereka tidak sekadar mengeluh, tapi memutar otak dan melawan dengan daya.
Menjadi konglomerat bukan dimulai dari modal besar, melainkan dari keberanian besar untuk terus bergerak meski keadaan sedang gelap. Ini bukan romantisasi kemiskinan, tapi penghargaan terhadap daya juang yang tak lekang oleh krisis.
 2. Literasi Ekonomi: Modal Pengetahuan Adalah Segalanya
Krisis ekonomi bukan hanya urusan angka di bursa atau inflasi di pasar. Di balik itu, ada permainan besar yang mengatur arus uang, produksi, dan konsumsi. Masyarakat kelas bawah seringkali buta terhadap arus ini. Mereka tidak pernah diajari bagaimana uang bekerja, bagaimana sistem ekonomi menekan mereka, atau bagaimana mereka bisa menciptakan sistem alternatif yang menguntungkan.