Mohon tunggu...
Dhani Sugesti
Dhani Sugesti Mohon Tunggu... Editor - Penulis Sastra

Penulis Buku Sastra Jingga, Sajak Yang Terlupakan, dan antologi lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesetiaan Cinta Seorang Buruh

1 Mei 2019   22:32 Diperbarui: 1 Mei 2019   22:46 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kesetiaan seperti matahari yang setia mengabdi, meski keberadaanya tidak dihiraukan manusia, ia tetap bersinar dari pagi sampai senja tiba."

Wanita itu naik ke atas bis antarkota dengan mengais anak yang menangis, sedangkan anak satunya lagi sudah cukup besar mengikutinya di belakang. Di tangan kiri wanita itu tas besar dijingjingnya. Aku langsung bergeser duduk merapat ke dekat jendela sambil membenamkan wajahku dalam topi pandan dan kaca mata hitam. Dia langsung mengambil alih ruang kosong di kursi sebelahku, yang memang kuperuntukan baginya.


Lama aku berpikir, apakah sebaiknya aku memperkenalkan diri kepadanya. Menyebut nama kekasihnya sebelas tahun yang lalu. Apa reaksi dia kalau aku berbuat begitu. Aku lirik mukanya dari sudut pandang mataku yang tertutup kaca mata hitam. Dia tampak jauh lebih tua dari umurnya. Tubuhnya kurus, digayuti anaknya yang masih menyusu, Dia tidak mengenakan anting emas yang menggores pipiku dulu ketika aku menciumnya. Dia juga tidak mengenakan cincin di jarinya. 

Ke mana perhiasan-perhiasan emas itu? Kemana jam tangan bersipuh emas yang terasa dingin ketika dia merangkul leherku. Ke mana buah dada yang membusung di balik blus biru yang dikenakannya bila bertemu denganku. Kemana perginya pinggang ramping di balik gaunnya yang ketat hingga melukiskan kemolekan pinggulnya. 

Kemana itu semua? Mengapa waktu sebelas tahun itu telah merampas keindahan pada diri Pertiwi. Apakah aku akan menanyakannya langsung? Tidak! Tidak baik aku menanyakan hal itu semua padanya. Aku tidak boleh menanyakan ke mana perginya kebahagiaan masa mudanya itu, yang telah lenyap dari tubuhnya.

Aku memilih diam. Mengenang semua ke-bahagiaan yang kami rasakan waktu bersamanya dulu, sementara orang yang kukenang itu sekarang duduk di sampingku. Dia kekasihku sebelas tahun yang lalu. Dan di balik kaca jendela bis aku melihat kami berlari-lari di antara semak pepohonan di bukit mengejar impian yang tak pernah jadi kenyataan.


***
"Kelihatannya, Mbak sedang susah dan menderita," kataku tanpa melihat wajahnya ketika perjalanan telah memakan waktu hampir setengah jam lamanya.

"Kenapa saudara menduga saya orang yang susah dan menderita?" Jawab wanita itu agak kaget dan melirik kepadaku. Dia tentu tidak mengenalku. Aku mengenakan topi pandan yang aku benamkan menutupi wajah, dengan kaca mata hitam, tak mungkin Pertiwi mampu mengenalku.

"Aku mengenalmu jauh sebelum kau pergi dari rumah orang tuamu," kataku.

"Siapa sebenanrya Saudara?"

"Apa kau mengenal Rendy? Si pendiam itu?" Aku menyebut namaku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun