Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Walaupun Cerdas, Diriku Tetaplah Orang Biasa

4 Juli 2020   19:48 Diperbarui: 4 Juli 2020   21:10 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kecerdasan (Sumber gambar: Pixabay.com)

Dalam terang atau sembunyi, mereka membicarakan tentang diriku.

Lha, bagaimana saya tahu? Dari cerita yang dituturkan oleh tetangga, sebenarnya diriku adalah orang yang cerdas. Pernah dapat ranking 1 di kelas, lagi!

Akan tetapi, tetap saja saya merasa kurang layak menerimanya. Entah kenapa, diriku hanya ingin jadi orang yang biasa-biasa saja, kok.

Di saat teman-temanku berlomba-lomba menuju yang terbaik, yang bakal menggengam bintang di kelas, saya malah menyembunyikan kecerdasanku. Aneh, ya?

Karena, diriku merasa tidak punya kemampuan apa-apa. Pelajaran Matematika kurang pintar, berbanding terbalik dengan teman sebangkuku. Bahasa Inggris, masih kalah juga. Komunikasi, kecakapan dalam tim malah jadi titik lemah.

Oh, betapa mindernya saya saat itu. Terasa dibuang ke sisi yang paling pinggir. Beruntung, saya ikutan ekskul KIR, bahkan sempat meraih juara 1 lomba Karya Ilmiah se-Kabupaten.

Terus, apa guru-guruku tahu sebenarnya potensiku? Gak tahu. Yang berlaku di dunia pendidikan, kalau sudah pintar matematika, bahasa Inggris, dan komputer, barulah disebut orang cerdas.

Di luar itu? Entahlah. Yang penting, ketiganya jadi "dewa" dibanding yang lain. Plus, anak-anak (jurusan) IPA  dianggap sebagai sebenar-benarnya pelajar. Daripada anak IPS, yang dianggap gadungan.

Ah, diriku gak mempermasalahkan hal itu. Selama anak itu berprestasi dan bisa mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan, itulah yang lebih baik, bukan?

Oh ya, gara-gara enggan membeberkan kepintaranku, ketika diriku menjawab pertanyaan soal Putri Diana yang tewas kecelakaan akhir Agustus 1997. Sseingatku, seluruh kelasku pada kaget dan heran.

Hmmm, kenapa diriku bisa ingat itu? Kan otakku membayangkan apa yang pernah kutonton di berita yang kala itu ditayangkan di televisi!

Lalu, ada lagi. Pernah ya, pamer nilai, lalu temanku menegur seraya berkata yang masih membekas sampai sekarang, "jangan pamer!". 

Ya, itulah awal mulanya mengapa diriku enggan memamerkan kemampuanku di depan orang lain, sampai sekarang.

Tapi, katanya, harus meningkatkan diri sendiri, memaksimalkan kelebihan, biar dipandang hebat, kok malah ingin jadi orang biasa?

Ya , itu! Dalam kehidupan tertentu, malah harus memposisikan diri sebagai orang kebanyakan, se-terkenal apa pun dia. Biar lebih tenang, sih.

Soal itu, jadi teringat apa yang kudengar di siaran radio, bahwa seorang Prie GS, budayawan yang dikenal dengan refleksinya itu, malah ingin jadi orang biasa dalam menghadiri suatu acara.

Belum lagi Mohammad Hatta, yang malah berangkat ke Tanah Suci sebagai rakyat biasa dan menolak menggunakan fasilitas negara, padahal saat itu menjabat sebagai wakil presiden!

Kalau melihat dua orang itu tadi, apa susahnya jadi orang biasa saja? Dunia itu kejam lho, hanya berpihak pada orang-orang tertentu di tengah persaingan yang melibatkan kemampuan, yang bahkan sama!

Lihat, juara kelas, peraih medali emas Olimpiade, bukankah itu orang-orang pilihan yang layak menerimanya, setelah melintasi jalan perjuangan yang penuh duri?

Jadi, sekeras apa pun usaha dia, kalau takdir tidak menginginkan dia juara, ya gagal. Sudahlah, jangan terlalu ambisius dalam mengejar sesuatu, kalau tidak ingin capek sendiri!

Toh, juara dan prestasi itu juga rezeki, kok. Maka terimalah apa pun hasilnya. Ada yang hanya sampai meraih medali emas sekelas SEA Games, misal, itu lebih baik ketimbang atlet yang tidak meraih juara sama sekali?

Selain itu, menjadi orang biasa itu, bisa menghindarkan diri dari kesombongan. Bagaimana tidak, kalau anak SMA pamer kepintaran di bidang fisika, dia merasa hebat dibanding yang lain, iya kan?

Padahal, dia itu belum apa-apanya lho, dibanding yang berpendidikan S1, S2, bahkan doktor sekalipun. Semakin tinggi pendidikan, semakin cerdas dan luas ilmunya.

Maka, jadilah biasa-biasa saja, karena masih ada yang lebih pandai dari dirinya, bisa menghasilkan karya yang lebih berkualitas dari dia, sehingga lebih mudah membuka hati untuk banyak belajar.

Ditambah, kalau kalian benar-benar sadar, bahwa kemampuan kalian itu tidaklah berarti dibanding orang yang jenius. Apalagi seluruh alam semesta, masih berukuran sebiji atom!

Pada akhirnya, kemampuan itu kembali ke puncaknya, sumber segala kehebatan, Tuhan Yang Maha Sempurna. Hmmm, pantas saja Dia sombong.

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun