Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masih Berpikir "I Hate Monday"? Itu Kuno!

23 Januari 2018   20:31 Diperbarui: 28 Januari 2018   07:29 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Zee News

"Sebenarnya, hari yang paling berhantu dan menyeramkan bukanlah hari Jum'at, melainkan hari Senin."

Kok bisa sih?

***

Bagi yang pernah bersekolah, pernah nggak, kalian merasakan sesuatu yang meresahkan ketika akan bertemu hari Senin setelah menjalani hari-hari libur yang panjang? Aaah, pasti kalian akan mengatakan: "Duuuh, masih kurang liburnya, tambahin dong?" Ya 'kan?

Memang sih, yang paling diingat anak sekolah pada hari Senin, pasti pada menjawab: upacara bendera. Tapi, sebagian dari mereka, upacara yang dijalani selama lebih dari setengah jam itu bikin "menyiksa".  Kenapa bisa?

Pasalnya, upacara bendera butuh kedisiplinan. Peserta upacara hanya berdiri, berdiri dan berdiri pada suasana pagi yang mulai beranjak panas. Cuma sekadar jongkok sebentar pun dilarang. Hanya sebagian kecil gerakan lainnya, salah satunya melakukan penghormatan, itu pun pas pelaksanaan pengibaran bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selebihnya, ya harus tetap berdiri hingga pelaksanaan upacara selesai.

Belum lagi sebagian siswa yang berpandangan "ke sekolah itu seperti penjara, tidak bebas, pelajaran sulit, gurunya galak" dan bla bla bla. Dan, masih banyak yang berpikiran seperti itu. Jangan heran, kalau ada guru-gurunya yang rapat atau ada keperluan lain yang mengharuskan pulang lebih awal, para siswa akan berteriak kegirangan dan sangat gembira. Aneh, ya?

Kalau begitu, bagaimana para siswa nggak bahagia, coba?

***

Sama kalau kalian mulai memasuki dunia kerja. Kebanyakan dari kalian, pasti kalian akan berpikir "bekerja 'kan untuk mencari uang". Benarkah? Ada nggak, tujuan mulia yang lebih dari itu?

Kalau kalian hanya berpikir untuk uang, pantas kalian tidak berbahagia saat bekerja. Lebih parahnya lagi, kalau kalian benar-benar tidak menikmati pekerjaan, siap-siap kedatangan penyakit akan menanti kalian. Sebuah penelitian dari British Medical Journal menyebutkan, kasus serangan jantung meningkat 20% pada hari Senin. Gara-gara hal ini, perusahaan akan menanggung biaya yang sangat banyak untuk pengobatan penyakit karyawan-karyawan ini. Kalau melihat fakta ini, apa kalian enggakrugi? Jelas, rugi banget!

***

Maka, tak heran banyak ungkapan di berbagai "media ekspresi" yang semakin menguatkan, bahwa Senin adalah hari berhantu alias menyeramkan. Apa karena banyak hantu dan setan-nyaya?

Bukan itu!

Ya, ini memang fakta, karena ketika mereka bertemu lagi dengan Senin, mereka akan terbayang akan tugas-tugas yang selalu diselesaikan. Maunya sih libur diperpanjang, tapi masa' mereka harus masuk ke kantor; bekerja lagi? Senin itu menyebalkan!

Yang lebih parahnya lagi, ada sebuah buku yang ditulis oleh Ernie J Zelinski, The Joy of Not Working, yang menganjurkan mereka untuk enggak usah bekerja dan menikmati hidup dan bersenang-senang. Dia berpendapat bahwa bekerja itu lebih baik adalah pandangan yang kuno.

Huh, pandangan macam apa itu? Itu 'kan pemikiran yang sungguh berbahaya, sangat-sangat berbahaya!

Makanya, gara-gara hal itu, kita jadi enggak mengenal istilah "I Love Monday" yang dijumpai di lingkungan dan media. Yang ada adalah kebalikannya, "I Hate Monday". Malahan, ada juga ungkapan "Thanks God its Friday". Mereka ingin sekali sampai bertemu hari Jum'at, biar bisa bersantai di akhir pekan!

Hmmm, sampai sebegitukah mereka memandang hari Senin itu?

***

Nah, jangan heran kalau di zaman now ini, mungkin banyak di antara mereka yang menganut paradigma "I Hate Monday" ini. Hal ini bisa terlihat kala ada akhir pekan plus hari libur nasional, banyak mereka yang berpergian ke luar kota untuk berlibur setelah berkutat dengan pekerjaan yang bikin mereka penat. Tak hanya di kota saja, di desa-desa saja, masih banyak orang yang berpandangan, tujuan bekerja (hanya) untuk menghasilkan uang!

Tapi, sesungguhnya paradigma tersebut 'kan pandangan yang kuno, sudah basi! Alangkah baiknya kita harus mencari dan berpikir makna pekerjaan yang lebih dari itu. Mengapa?

Bukankah kita semua mendamba kebahagiaan? Kalau ya, mau enggak, pekerjaan ini bisa membuat kita lebih bahagia?

Kalau mau, saya punya referensi yang recommended banget, dan kalian harus membacanya ya. Buku I Love Monday, memang ditulis oleh motivator nasional sekaligus pendiri ILM, Arvan Pradiansyah. Kredibilitas di bidang leadership dan kebahagiaan, nggak usah diraguin lagi deh!

Dokpri
Dokpri
Di buku ini, beliau mengajak kita semua untuk mengubah paradigma yang seringkali melanda kebanyakan dari kita, yaitu memperlakukan pekerjaan sebagai sarana untuk meraih lembaran-lembaran rupiah, atau... memandang pekerjaan adalah sesuatu yang dibenci!

Terus, bagaimana cara ya, mengubah paradigma dalam bekerja?

Hmmm, kalau begitu, simak di bagian selanjutnya, ya!

Tiga Pandangan Pekerjaan

Nah, agar bisa mengubah pola pikir lama menjadi "I love Monday", kita harus melihat, pandangan apa yang dikerjakan. Apakah itu sebagai pekerjaan karena tugas (job), karier (career), atau yang lebih tinggi lagi, sebuah panggilan (calling)?

  • Pekerjaan karena Tugas (job):  Jika apa yang kita kerjakan, merupakan "pemberian" dari orang lain alias si pemberi kerja kita, itu disebut dengan pekerjaan karena "tugas". Dengan kata lain, kita pun bekerja atas skenario orang lain, bukan atas kemauan sendiri. Kalaupun memang kerja, ya kerja sebisanya saja, bahkan kita bekerja tanpa ada inovasi dan kreativitas. Mereka akan mudah berpindah kerja, jika ada pekerjaan yang menawarkan gaji yang lebih tinggi.
  • Karier (career):  Berbeda dengan pekerjaan yang bekerja atas skenario orang lain, dalam karier, apa yang kita kerjakan merupakan pilihannya sendiri. Artinya, mereka bekerja atas skenario kita sendiri.
  • Panggilan (calling): Memang sih karier bisa lebih sukses, tapi ada yang lebih tinggi. Apa itu? Yup, memandang pekerjaan itu adalah sebuah panggilan. Kita bisa melakukan pekerjaan karena kita terpanggil untuk melakukan hal itu. Dan, hal inilah yang membuat kita merasa bahagia.

Hakikatnya, Kita Semua adalah Utusan Tuhan

Ah, masa' sih berani bilang begitu? Kan zaman kenabian sudah lama lewat.....

Memang ya, kita sekarang hidup di zaman modern. Tidak mungkin kita menjumpai nabi di dunia ini, karena periode kenabian sudah berakhir lebih dari 1400 tahun yang lalu. Sejak nabi terakhir telah meninggalkan dunia ini, maka berakhir sudah zaman para nabi dan rasul. Tak ada nabi yang diutus setelah beliau.

Tapi, itu 'kan hanya sekadar formalitas saja. Sebenarnya, kita semua hakikiatnya adalah utusan Tuhan. Lha, bagaimana bisa dibilang seperti itu?

Karena, secara umum, Tuhan mengutus kita semua, seluruh umat manusia. Hanya saja, tentu dengan cara berbeda. Iya sih, Dia memang sudah menyiapkan "hadiah"untuk kita semua agar kita menjadi sosok yang "luar biasa", tapi sayangnya Dia memang tidak menyampaikan kepada kita bagaimana cara membukanya secara langsung, melainkan kita-nya yang harus mencari sendiri!

Lalu, bagaimana caranya? Tentu saja, kita mencarinya dengan cara bekerja; membuka "hadiah" yang terbungkus rapi. Dan, "hadiah" tersebut adalah potensi diri kita!

Oh ya, hanya kerja keras-lah, kita dapat menemukan jati diri, keunikan, dan potensi sejati kita. Ya, seperti yang saya alami ketika saya belajar menulis di sini. Saya bisa menemukan gaya tulisanku yang khas banget, tentunya setelah saya tekun berlatih menulis selama tiga tahun lamanya!

Dan asal tahu saja, Tuhan telah menjadikan kita memilki minat, bakat, dan keterampilan yang berbeda-beda, agar kita bisa saling melengkapi, bener 'kan?

Lantas,  mengapa ya, kita diutus Tuhan ke dunia ini?

Hmmm, kalau saya hubungkan dengan pekerjaan sebagai sebuah panggilan (calling), maka kita diutus di muka bumi ini, untuk memberi manfaat kepada sesamanya. Untuk apa hidup di dunia kalau kita sendiri tidak memberikan manfaat? Sama saja kita termasuk golongan orang yang tidak bersyukur!

Dan, karena kita hidup untuk memberi manfaat kepada orang lain, maka hidup kita akan semakin bermakna. Dan, kalau kita kehilangan makna hidup, ya ujung-ujungnya malah bunuh diri! Rugi banget 'kan, kalau mengakhiri hidup seperti itu. Jangan sampai deh, kalian seperti penyanyi K-pop yang akhir tahun lalu bikin heboh karena bunuh diri!

***

Wahai pembaca yang budiman! Kalau kalian sudah membaca artikel saya ini, masihkah kalian berpikir "I Hate Monday"; berpikir hari Senin merupakan sesuatu yang dibenci?

Kalau masih, ya kalian harus berubah. Orang-orang yang mencintai hari Senin, itu merupakan cara berpikir yang "lebih maju" dan membahagiakan.  Dan, jika kalian belum menemukan keunikan dan potensi diri, segeralah mencari dan temukan! Sayang 'kan, kalau sampai akhir hayatnya kalian belum menemukan "sesuatu yang unik"?

Dan jangan lupa lho, beli dan baca buku I Love Monday-nya!  *eh malah promosi*

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

NB: Terima kasih juga pada (tulisan) Prof Komaruddin Hidayat dalam bukunya, Life's Journey, yang secara tidak langsung telah merekomendasikan buku ini kepadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun