Mohon tunggu...
Nahariyha Dewiwiddie
Nahariyha Dewiwiddie Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis dan Pembelajar

🌺 See also: https://medium.com/@dewiwiddie. ✉ ➡ dewinaharia22@gmail.com 🌺

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membeli Kebahagiaan Lewat Tulisan? Bisa!

1 Desember 2017   14:28 Diperbarui: 3 Desember 2017   10:05 3454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Superior Wallpapers

Duuh, enak banget ya para artis itu. Udah kaya-raya karena berkarya di layar kaca, terus uangnya mereka pakai buat liburan di luar negeri. Lalu mereka foto-foto, dan diunggahlah ke Instagram, biar mereka eksis lagi....

Hmmm, kalau kita-kita yang "tak berpunya", bagaimana ini?

Setelah tadi pagi saya mendengarkan siaran radio Smart Happiness bersama Arvan Pradiansyah di Smart FM dan Sonora Network, rasa-rasanya saya tambah bersemangat untuk menulis dan menulis lagi, yeaaay!  Dan tema talkshow-nya, meskipun beragam, tentu tak jauh-jauh dari sesuatu yang dicari semua orang di dunia ini: KEBAHAGIAAN!

Oh ya, berbicara tentang kebahagiaan, tentu ilustrasi yang bercetak miring di atas sudah dibuktikan terlebih dahulu oleh peneliti psikologi di luar sana, alias di negara-negara Barat. Di mana, Richard Wiseman telah terlebih dahulu melakukannya, eh maksudku diceritakan dalam bukunya, 59 Seconds. Hasil survei-nya, sebagaimana yang dituliskan kembali oleh Komaruddin Hidayat di sini (dimuat juga pada buku Penjara-penjara Kehidupan), tentu saja membuktikan, bahwa materi, terutama uang, tidaklah menjamin mereka bahagia!

Lengkapnya, silakan kalian simak yaaa....

"Suatu hari, para karyawan memperoleh bonus uang. Selang beberapa bulan mereka disurvei, untuk mengukur seberapa besar bonus uang tadi terhadap rasa bahagianya. Secara garis besar, mereka dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, mereka yang menggunakan uang bonus untuk membeli barang-barang, sedangkan yang kedua, mereka membelanjakan uangnya untuk jalan-jalan; berkunjung ke tempat-tempat wisata.


Masing-masing dari mereka, diberi pertanyaan yang kemudian dijawab. Hasilnya, mereka yang menggunakan uang bonusnya untuk berwisata, rasa bahagianya lebih tinggi, malah lebih lama disimpan. Sedangkan, mereka yang membelanjakan uangnya untuk membeli barang, kebahagiaan yang dirasakan berlangsung sebentar. Terlebih lagi jika barang-barang yang dibelinya merupakan barang yang "canggih dan modern", rasa kebahagiaannya lama-kelamaan akan menurun"

Nah, karena nilai kebahagiaan yang tinggi pada jalan-jalan itulah, yang menyebabkan para kaum milenial yang memilih plesiran dibanding membeli rumah, karena (menurutku), generasi milenial ingin mencari pengalaman baru, untuk memperkaya hidup mereka.

Yaah, kalau begitu, kami yang "tidak kaya", tak bisa merasakan plesiran, dong?

***

Ya, begitulah, kita memang tak seberuntung mereka yang dengan bebasnya bisa jalan-jalan ke mana pun mereka mau.  Karena sesungguhnya Tuhan menakdirkan rezeki setiap orang berbeda-beda. Dan, kita yang "tidak berpunya" dan "tidak kaya", bukan berarti kita miskin, kok. Tidak!

Kalian, para Kompasianer dan juga pembaca, tentu punya penghasilan 'kan? Hanya saja, dari penghasilan tersebut digunakan untuk apa,  tergantung permasalahan dan kebutuhannya.

Akan tetapi, kita tak mungkin selamanya melakukan rutinitas terus menerus. Suatu saat, ada waktu untuk berjalan-jalan sebagaimana yang dilakukan oleh para artis. Makanya, kita perlu menyisihkan dana dari penghasilan, ya biar bisa jalan-jalan lagi. Dan itu pun kalau (sudah) bebas dari permasalahan yang bernama UTANG.

Lalu, kalau keinginan jalan-jalan ada sedangkan keuangannya terbatas, adakah alternatif lain biar bisa bahagia?

ADA!

Apa dong?

***

Pertengahan bulan lalu, saya kembali ke Gr*med di kota terdekat, terus membeli buku (lagi). Sengaja saya pilih buku traveling, dan pilihanku jatuh pada buku The Naked Traveler 2 karya Trinity. Mengapa? Ya karena saya akan membuktikan "eksperimen" tentang ide tulisanku kali ini; benarkah kalau membaca buku traveling, saya bisa bahagia?

Buku The Naked Traveler 2/ Dokpri
Buku The Naked Traveler 2/ Dokpri
Nah, setelah itu, saya cari tempat terenak untuk membaca, biasanya di gubuk di tengah sawah. Lalu, mulailah saya membaca. Awalnya memang biasa saja, tapi lama-kelamaan kokada imajinasi yang membawaku bagaikan berjalan-jalan di dunia lain; ke tempat yang belum diketahui?

Terus, selang beberapa waktu kemudian, saya terasa ada yang teringat tentang Palau. "Rahasia-rahasia" tentang negara di Oceania itu, akhirnya terbuka dan bisa diterima di pikiran, setelah saya membaca buku ini. Jangankan berbicara detailnya, mengingat gambarannya saja membuat saya senang. Dan bukankah yang membuatku merasa bahagia?

Selain tentang Palau, saya banyak mendapatkan pengetahuan tentang hasil perjalanannya di luar negeri, misalnya; program-program TV yang ditayangkan di stasiun televisi Vietnam, berwisata di Filipina, plesiran di Dubai dan sekitarnya, naik balon udara dengan di kawasan yang  keadaan alamnya mirip dengan di Bulan, dan masih banyak lagi!

Hmmm, coba saya bayangkan, saya jadi penulis bukunya, tentu saya merogoh kocek yang tidak sedikit. Tiket pesawatnya, belum lagi penginapannya dan konsumsi harian serta jajan. Duuh, bisa kebayang 'kan berapa biayanya untuk mengunjungi semua tempat yang tertera di buku ini? Bisa-bisa, "ongkosnya" mencapai miliaran rupiah!

Ya, kalau saya mengandalkan penghasilan sekarang ini (itu pun dari lomba blog), sepertinya mustahil untuk bisa meraih sensasi plesiran keliling dunia!

Membeli Bacaan, Mencermati Tulisan dan Hubungannya dengan Kebahagiaan

Nahkalau begitu, bagaimana dengan (membaca) buku dan media cetak lain, dan mencermati tulisan-tulisannya?

Begini, ya. Sebenarnya, kalau dilihat dari wujudnya, buku, koran, majalah, dan sejenisnya, tentu saja merupakan benda. Akan tetapi, pada lembaran-lembarannya, terdapat pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang berwujud tulisan. Jadinya, jika kita membelanjakan uangnya untuk mendapatkan buku bacaan, yasama saja, membeli barang yang bisa berefek bahagia dalam jangka waktu lama, kalau kita mau menyelaminya.

Ya, perasaan seperti inilah yang dirasakan olehku, kala saya membaca buku dan menyelami tulisannya. Dan, bukankah hal ini sudah dijawab secara ilmiah lewat penelitian yang dilakukan para ilmuwan, bahwasannya membaca buku bisa membuat perasaan kita nyaman dan bahagia. Kok bisa?

Sebab, menurut Keith Oatley, PhD, Profesor Psikologi University of Toronto, membaca buku bisa membuat otak kita segar dan menambah pengetahuan. Ditambah lagi, menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Constumer Psychology, (membaca) buku bisa meningkatkan pengalaman orang lain, bisa belajar banyak hal, dan mengetahui banyak informasi yang mendorong pembacanya untuk berpikir terbuka dan tenang. Benar 'kan?

Jadi....

Kalau seumpama saya membeli buku traveling seharga  76.000 rupiah, maka buku ini akan senilai dengan biaya perjalananku yang dilalui penulis seharga miliaran rupiah. Dengan kata lain, kalau saya membeli buku dan membaca tulisan-tulisannya, saya bisa merasakan sensasi jalan-jalan yang sama bahagianya dengan penulis, sekaligus "menghemat" uang yang bejibun!

Karena itulah, nggak sia-sia 'kan, kita "membeli kebahagiaan" lewat belanja buku (dan media cetak lainnya)?

Demikianlah penjelasannya, salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun