SEMARANG, 2025 - Ziarah rekreasi yang menggabungkan wisata religi dengan kunjungan ke tempat ibadah semakin populer di era modern ini. Di satu sisi, pemadanan ini memberikan peluang besar bagi umat untuk memperoleh pengalaman spiritual sekaligus menikmati suasana yang menyegarkan. Tempat ibadah yang dijadikan destinasi wisata dapat mendukung perekonomian lokal dan memperkenalkan budaya serta nilai-nilai keagamaan kepada lebih banyak orang. Namun, di sisi lain, tantangan besar muncul terkait potensi hilangnya kesakralan tempat ibadah akibat arus wisatawan yang tak terkendali, hingga risiko terganggunya kekhusyukan ibadah. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan agar nilai-nilai religius tetap terjaga sambil memanfaatkan manfaat pariwisata secara optimal.
Ziarah rekreasi menjadi gejala sosial yang tak hanya bernilai spiritual, tapi juga berfungsi mempererat solidaritas sosial sebagaimana teori Émile Durkheim. Menurutnya, agama dan ritual memiliki peran penting dalam memperkuat solidaritas sosial dan membentuk identitas kolektif dalam masyarakat. Tempat ibadah sebagai ruang ritual berfungsi sebagai titik temu yang mempererat hubungan sosial serta menyediakan makna bersama bagi umat. Dalam konteks ini, wisata religi dan ziarah tidak hanya sekadar aktivitas individual, melainkan juga pengalaman kolektif yang menyatukan banyak orang dalam ikatan spiritual dan sosial. Oleh sebab itu, pengembangan tempat ibadah sebagai destinasi wisata dapat dilihat sebagai upaya memperluas fungsi sosial tersebut, sekaligus memberikan manfaat ekonomi dan edukasi budaya yang signifikan.
Ziarah Rekreasi dan Wisata Religi: Antara Spiritualitas dan Rihlah Modern
Fenomena ziarah rekreasi atau zarkasi makin menjamur di era modern. Ribuan orang setiap tahun mengunjungi makam wali, masjid agung, vihara, gereja tua, atau situs suci lainnya bukan hanya untuk beribadah, tetapi juga untuk merasakan suasana damai, mengambil foto, atau sekadar melepas penat. Tempat ibadah yang dulunya sakral dan tenang, kini kerap dipadati pengunjung layaknya objek wisata biasa. Perkembangan media sosial turut mempercepat popularitas fenomena ini. Banyak peziarah membagikan pengalaman mereka berkunjung ke tempat-tempat suci melalui foto dan video, menjadikan ziarah sebagai gaya hidup spiritual yang juga mengikuti tren. Motivasi pun beragam, ada yang tulus ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, ada pula yang hanya mengikuti arus. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah perpaduan ini memperkaya spiritualitas, atau justru mereduksi agama menjadi tontonan sesaat?
Zarkasi menciptakan ruang baru bagi umat untuk berinteraksi dengan nilai keagamaan secara terbuka. Namun, praktik ini bisa mengaburkan batas antara ziarah sebagai ibadah dan rekreasi sebagai hiburan. Di sinilah pentingnya membingkai ulang ziarah sebagai rihlah yang mengandung dimensi intelektual, sosial, dan transformasional.
Rihlah: Perjalanan yang Mendidik Jiwa dan Akal
Islam memiliki tradisi intelektual dan spiritual yang disebut "rihlah", sebuah perjalanan untuk mencari ilmu, hikmah, dan kedekatan dengan Tuhan. Dalam khazanah klasik, rihlah bukan sekadar bepergian, tetapi sebuah perjalanan untuk mencari ilmu, hikmah, dan kedekatan dengan Tuhan. Ulama besar seperti Ibnu Batutah atau Imam al-Ghazali melakukan rihlah ke berbagai negeri untuk memperluas pengetahuan dan memperdalam keimanan. Rihlah adalah perjalanan yang utuh melibatkan tubuh, hati, dan akal. Dalam rihlah, seseorang bukan hanya berpindah tempat, tetapi juga berpindah keadaan batin. melakukan rihlah untuk memperdalam pengetahuan dan keimanan. Di dalam Al-Qur’an, manusia didorong untuk “berjalan di muka bumi” sebagai sarana tafakkur dan pembelajaran (QS. Ar-Rum: 42). Konsep rihlah ini bisa menjadi penyeimbang bagi wisata religi agar tidak jatuh ke dalam perangkap komersialisasi dan candu simbolik. Ziarah bukan hanya “rekreasi spiritual”, melainkan juga rihlah intelektual dan etis. Ia mengajak manusia merenungi makna kehidupan, memperluas wawasan, memperkuat nilai sosial, serta mengasah kepekaan terhadap sesama.
Perpaduan antara tempat ibadah dan wisata memang tidak bisa dihindari. Bahkan, dalam konteks Indonesia yang religius dan kaya situs keagamaan, pariwisata religi menjadi peluang besar baik untuk pendidikan budaya maupun penguatan ekonomi lokal. Tapi harus diingat, wisata religi bukan semata industri. Ia adalah ruang sakral yang menuntut sikap hormat, etika, dan kesadaran batin. Pengelolaan wisata religi harus memastikan bahwa pengunjung tidak hanya datang untuk bersenang-senang, tapi juga untuk belajar dan merenung. Pemerintah, pengelola situs, tokoh agama, dan masyarakat harus bersinergi menciptakan lingkungan yang menghidupkan nilai spiritual dan sosial, bukan sekadar atmosfer turistik. Misalnya, dengan menyediakan pemandu spiritual, membatasi aktivitas komersial di zona suci, atau menata ulang narasi wisata agar berorientasi pada rihlah, bukan sekadar healing semata.
Manfaat Sosial dan Ekonomi Ziarah Rekreasi
Salah satu manfaat utama dari penggabungan ziarah dan rekreasi adalah peningkatan kesadaran spiritual yang dikombinasikan dengan pengalaman menyenangkan. Para pengunjung tidak hanya memperoleh kedamaian batin melalui ibadah dan doa, tetapi juga menikmati suasana lingkungan yang mendukung, seperti keindahan arsitektur tempat ibadah, panorama alam sekitar, serta fasilitas penunjang yang memperkaya pengalaman mereka. Tempat-tempat ibadah terkenal di Indonesia, seperti Masjid Istiqlal di Jakarta, Candi Prambanan di Yogyakarta, Gereja Katedral di Semarang, dan situs tempat ibadah lainnya kerap menjadi destinasi wisata yang menarik ribuan hingga jutaan pengunjung setiap tahunnya. Fenomena ini secara langsung memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, seperti membuka lapangan kerja di sektor pariwisata, perhotelan, dan perdagangan. Selain itu, wisata religi membuka ruang edukasi budaya dan sejarah yang mendalam, membantu masyarakat luas memahami nilai-nilai agama dan tradisi dengan cara yang lebih hidup dan menarik.
Fungsi Sosial dalam Keseimbangan Ziarah dan Rekreasi
Dalam perspektif Émile Durkheim, agama dan praktik ritual keagamaan tidak hanya berfungsi sebagai jalan spiritual menuju Tuhan, melainkan juga sebagai mekanisme sosial yang memelihara keteraturan dan solidaritas dalam masyarakat. Durkheim membedakan dua jenis solidaritas sosial: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Keduanya dapat ditemukan dalam praktik ziarah rekreasi yang terus berkembang saat ini. Solidaritas mekanik muncul dalam komunitas yang memiliki tujuan dan latar belakang yang seragam. Misalnya, rombongan ibu-ibu pengajian dari desa yang berangkat bersama ke makam wali. Mereka datang dengan niat yang sama: berdoa, bertabaruk, berdzikir. Homogenitas pengalaman mereka menciptakan ikatan emosional dan keagamaan yang kuat, sebagaimana dijelaskan Durkheim, bahwa ritual bersama membangkitkan rasa kebersamaan yang intens atau collective effervescence. Sementara itu, solidaritas organik terjadi dalam masyarakat modern yang lebih kompleks, di mana para peziarah berasal dari latar belakang berbeda dan memiliki motivasi yang beragam. Dalam satu ruang ibadah, kita bisa menjumpai santri, pelancong, konten kreator, pelajar, hingga wisatawan mancanegara. Meski tujuan mereka berbeda, ada yang datang untuk beribadah, ada yang ingin belajar sejarah, ada pula yang sekadar mengambil foto estetik, semua tetap terhubung dalam satu ruang sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi dan saling pengertian. Inilah bentuk solidaritas organik yang ditandai dengan diferensiasi peran namun tetap saling melengkapi.
Lebih dari itu, dalam setiap momen ziarah massal seperti haul ulama, Maulid Nabi, atau perayaan keagamaan lainnya, terjadi ritual kolektif yang memperkuat kesadaran moral bersama. Ketika ribuan orang berkumpul dalam satu ritual, entah itu membaca doa bersama atau bershalawat, mereka larut dalam arus spiritual dan emosi kolektif yang menyatukan. Dalam konteks ini, tempat ibadah tidak hanya berfungsi sebagai ruang sakral, tetapi juga sebagai simbol persatuan dan pembentuk identitas kolektif umat. Dengan demikian, ziarah rekreasi tidak hanya menjadi sarana peribadatan atau rekreasi spiritual, tetapi juga memainkan peran sosial yang krusial. Ia memperkuat jaringan solidaritas sosial, membuka ruang dialog antarbudaya, dan mempertemukan manusia dari beragam latar dalam semangat kebersamaan. Pemahaman ini penting untuk menegaskan bahwa pengembangan wisata religi tidak boleh semata berorientasi ekonomi, tetapi juga harus menghidupkan fungsi sosial dan spiritual yang melekat di dalamnya. Jika dilakukan secara bijak, ziarah rekreasi bisa menjadi rihlah yang tidak hanya memperkaya jiwa, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat yang semakin majemuk.
Tantangan Sakralitas dan Kekhawatiran yang Muncul
Meski memiliki banyak kelebihan, tidak bisa dipungkiri bahwa integrasi antara ziarah dan rekreasi juga menimbulkan tantangan serius. Salah satunya adalah risiko hilangnya kesakralan tempat ibadah yang selama ini terjaga. Ketika tempat ibadah dikunjungi oleh wisatawan yang mungkin datang tanpa niat beribadah atau kurang memahami tata cara dan etika di tempat suci, maka fungsi spiritual tempat tersebut bisa terganggu.
Banyak jamaah asli yang mengeluhkan gangguan kekhusyukan ibadah akibat keramaian wisatawan, suara gaduh, serta aktivitas komersial yang tidak jarang muncul di sekitar tempat ibadah. Komersialisasi yang berlebihan, seperti penjualan souvenir, kuliner, hingga pembangunan fasilitas wisata yang tidak sesuai dengan karakteristik tempat ibadah, berpotensi menggeser fokus utama ziarah sebagai ibadah menjadi sekadar hiburan. Lebih jauh, arus pengunjung yang besar tanpa pengelolaan yang baik dapat menyebabkan kerusakan fisik bangunan bersejarah dan lingkungan sekitar, yang justru merugikan nilai budaya dan religius yang hendak dilestarikan.
Mengacu pada teori simulakra Baudrillard, ketika Ziarah menjadi estetika digital yakni tempat ibadah dalam media sosial dapat kehilangan makna sebagai ruang suci dan menjadi latar visual untuk konsumsi estetika. Tempat suci yang sakral tereduksi menjadi konten visual, mengaburkan maknanya. Oleh karena itu, ziarah rekreasi harus dilihat bukan hanya sebagai perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Zarkasi dan wisata religi di tempat ibadah merupakan fenomena yang kaya manfaat sekaligus penuh tantangan. Dengan pemahaman yang baik berdasarkan teori fungsi sosial Durkheim, kita dapat melihat bahwa tempat ibadah tidak hanya berfungsi sebagai ruang ibadah, tetapi juga sebagai ruang sosial yang mampu mempererat solidaritas umat melalui pengalaman kolektif . Namun, upaya ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar kesakralan dan nilai spiritual tidak tergerus oleh dinamika pariwisata modern. Pengelolaan yang cermat dan edukasi yang berkelanjutan menjadi kunci utama agar wisata religi tetap mampu memberi manfaat maksimal, baik secara spiritual, sosial, maupun ekonomi. Dengan demikian, ziarah rekreasi tidak hanya menjadi perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan hati yang memperkaya jiwa dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat. Kita harus menghidupkan kembali semangat rihlah bahwa perjalanan ke tempat ibadah bukan hanya rekreasi, tetapi refleksi dan transformasi diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI