Mohon tunggu...
Dewina Postalia Mayasari
Dewina Postalia Mayasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi Universitas Sebelas Maret

Terkait dengan hobi sebenarnya saya memiliki hobi yang cukup mendasar seperti orang pada umumnya yaitu, saya suka menulis dan membaca artikel jurnal. Saat ini saya sering menekuni bacaan dalam bidang gender. Banyak orang bilang bahwa saya adalah orang yang visioner dan realistis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toxic Masculinity sebagai Penyakit dalam Dunia Gender

23 Mei 2022   20:35 Diperbarui: 23 Mei 2022   20:44 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sampai saat ini fenomena gender di Indonesia masih menjadi konflik sosial yang sulit untuk menemukan titik penyelesaian. Seperti yang diketahui bahwa  antara gender laki-laki dan perempuan seringkali dianggap tidak setara. 

Pemberian label bahwa laki-laki itu maskulin sedangkan perempuan itu feminim menimbulkan adanya jurang pembatas yang membuat salah satu atau kedua dari gender tersebut tidak mendapatkan kebebasan untuk menjalankan hak yang dimiliki sebagaimana mestinya. 

Dalam fenomena gender ini, tidak hanya perempuan saja yang mendapatkan imbasnya, secara tidak sadar laki-laki juga terkena dampak yang cukup berbahaya. 

Pada konstruksi sosial yang sudah terbentuk dalam masyarakat, laki-laki dianggap identik dengan sifat yang dominan, superior, kuat, jantan, mandiri, dan tangguh. 

Pada dasarnya memang secara biologis laki-laki memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan perempuan, akan tetapi kemudian banyak orang yang salah persepsi dalam menafsirkan hal tersebut. 

Faktor biologis itu justru menjadikan masyarakat berpikir bahwa laki-laki sudah dikodratkan untuk memiliki kekuatan yang lebih unggul dibandingkan perempuan sehingga sifat maskulin itu dianggap harus ada dan melekat dalam diri setiap individu yang terlahir sebagai laki-laki. 

Laki-laki akan dinilai tidak berperan sebagai lelaki yang seutuhnya apabila mereka tidak bersikap maskulin, contohnya seperti : menangis, terlihat lemah, emosional, tidak merokok, dan jika melakukan hal-hal yang mengarah pada kefeminiman. 

Anggapan yang muncul terkait maskulinitas tersebut kemudian mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat dan sudah dinormalisasi keberadaannya. Seperti yang dinyatakan oleh Demartoto (2010) bahwa maskulinitas ini berangkat dari hasil kebudayaan masyarakat itu sendiri. Kebudayaan tersebut lain tidak lain adalah budaya patriarki yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. 

Besarnya ekspektasi dan tuntunan yang diberikan oleh lingkungan sosial dan budaya tentunya menjadi sebuah tekanan yang membebani kehidupan kaum laki-laki. 

Maskulinitas yang merugikan tersebut disebut sebagai maskulinitas beracun atau toxic masculinity. Lebih jelasnya, toxic masculinity ini merupakan suatu cara pandang yang membatasi laki-laki dalam bersikap di segala lingkup kehidupan masyarakat yang mencakup konsep tentang penampilan fisik, cara berpakain, aktivitas yang dilakukan, lingkungan pergaulan, dan cara mengekspresikan diri. 

Toxic Masculinity tersebut menghasilkan adanya situasi yang dapat membahayakan mental laki-laki sebab mereka tidak dapat berkembang menjadi manusia sesuai dengan kehendak diri mereka sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun