Kutipan Pram yang digunakan sebagai pengantar dalam buku ini juga masih relevan. "Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memasukkan, menjunjung, dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan."
Aku sendiri baru mengenal Tetralogi Buru dari film Bumi Manusia yang kutonton tahun 2019. Dari tokoh Minke yang terinspirasi dari sosok nyata bapak pers nasional, Tirto Adhi Suryo, inilah aku melihat cerita lain tentang kondisi bangsa yang mungkin jarang diceritakan.
Dalam Jejak Langkah, bumbu sejarah ini makin kental, sehingga agak susah dipisahkan bagian yang fiksi dan fakta.
Pram memasukkan unsur sejarah pada awal abad ke-20 yang jarang dibahas di kurikulum sekolah. Hal lain yang menarik dalam buku ini ia melakukan cross-over karakter. Ia pertemukan Minke dengan tokoh sejarah populer meski sebagian ia samarkan, misalnya Kartini dan dr Wahidin sebagai Gadis Jepara dan pensiunan dokter.
Pertemuan dengan Gadis Jepara bernuansa melankolis karena Minke lebih bersimpati dengan kondisi si gadis yang terkurung daripada dengan pemikirannya. Yang lebih disoroti oleh lampu panggung adalah pertemuan dengan pensiunan dokter yang telah 30 tahun mengabdi di bidang kesehatan.
Diceritakan dalam buku, pensiunan dokter tersebut datang ke STOVIA mengajak para siswa untuk memikirkan bangsa mereka, mendirikan organisasi kebangsaan untuk negeri. Saat itu tahun 1904 dan belum ada yang tertarik dengan seruannya.
Namun, berbeda dengan Minke. Ia malah penasaran. Apalagi sejak istrinya meninggal. Istrinya begitu aktif dengan organisasi Tionghoa modern. Ia kemudian mencoba memahami latar dan misi dari organisasi modern yang didirikan jauh sebelum lahirnya Budi Utomo.
Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) didirikan pada 17 Maret 1900. Tujuan organisasi ini melakukan modernisasi  tradisi dan pendidikan, serta menyebarkan nasionalisme. Bahasa pengantar sekolah tersebut adalah Tionghoa, Inggris, dan Belanda. Serupa dengan THHK ada Jamiatul Khair untuk keturunan Arab.  Dua organisasi ini menginspirasi  pensiunan dokter agar Hindia Belanda juga memiliki organisasi kebangsaan modern.
Dalam buku ini memang yang menonjol adalah eratnya isi buku ini dengan jejak perjuangan Tirto Adhi Suryo. Setelah Minke menjadi manusia bebas, tak meneruskan pendidikan dokter dan malah membuka usaha media cetak yang diberinya nama Medan untuk konsultasi hukum dan juga media harian. Keduanya berbahasa Melayu. Ia juga mulai terpikir untuk membentuk organisasi modern yang kemudian malah menginspirasi Tomo untuk membentuk Budi Utomo.
Bagian ini menyentilku karena aku tak tahu sama sekali tentang Sarikat Prijaji, organisasi modern pertama sebelum Budi Utomo. Padahal ada sosok nyata Thamrin M. Thabrie. Beliau adalah ayah dari tokoh Husni Thamrin yang juga seorang pahlawan nasional.
Sayangnya Sarikat Prijaji gagal karena terlalu elitis. Belajar dari kegagalannya Minke membentuk Serikat Dagang Islam yang anggotanya tumbuh dengan cepat hingga ia diawasi ketat oleh kompeni.
Selain sejarah pers dan pergerakan nasional, pembaca juga bisa melihat kondisi Batavia masa itu yang digambarkan detail oleh Pram di awal dengan memasuki hutan dan rawa menuju Gambir. Lalu ada cerita kriminal yang kejam tahun 1900-an, penyakit kelamin yang makin meluas dari Eropa ke Hindia Belanda, munculnya mobil dan usaha penyewaannya Batavia, juga perhatian Belanda yang besar pada Perang Klungkung yang banjir darah.