Akhirnya keduanya mengatur siasat. Mereka berpura-pura bertengkar hebat dan akan bercerai. Sarma yang panik langsung memaksa saudara-saudaranya berkumpul.Â
Muatan Lokal yang Kental
Indonesia kaya akan tradisi berkat keberagaman sukunya. Keunikan budaya dan unsur lokal ini mulai ditonjolkan oleh para pembuat film, dari bahasa daerah, baju adat, kuliner, upacara adat, dan lainnya.Â
Tak sedikit film dengan unsur kelokalan yang sukses. Sebut saja "Yowis Ben", "Yuni", "A Perfect Fit", "Under The Tree", "Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak", dan masih banyak lagi.Â
Kali ini giliran Bene Dion Rajagukguk,  standup comedy yang mencoba meramu unsur lokal dan tradisi Batak di Toba. Hampir seluruh pemain filmnya memiliki darah Batak. Penata  musiknya, Viky Sianipar, juga musisi Batak yang sukses.Â
Unsur Batak terlihat di mana-mana, dari mie gomak buatan rumahan, tradisi Sulang-sulang Pahompu, Lagu-lagu yang dinyanyikan para bapak di lapo, kain ulos, juga panggilan ke sanak keluarga, seperti namboru, amangboru, opung, tulang, dan lainnya. Dalam film juga dihadirkan Danau Toba dari berbagai sisi yang begitu elok.Â
Meski kental dengan unsur Batak, bukan berarti penonton yang bukan Batak bakal sulit memahaminya. Gampang. Ada terjemahannya. Bahkan menurutku unsur Batak inilah yang membuat film ini makin menarik.Â
Penonton yang Antusias dan Ekspresif
Dari segi cerita, sebenarnya ceritanya sederhana. Suatu hal yang umum dan mudah dijumpai jika ada bapak dan ibu yang kangen anak-anaknya. Juga sesuatu yang jamak ada perselisihan antara orang tua dan anak karena pilihan hidupnya.Â
Namun Bene Dion pandai meramu cerita sehingga menghasilkan tontonan yang tak hanya dekat dengan penonton, namun membuat kita peduli kepada Mak Domu, Sarma, Opung, dan lainnya.Â
Penonton ingin tahu bagaimana solusi dari konflik film ini. Dan rupanya meski penyelesaiannya berjalan agak lama, namun terasa memuaskan, tidak berkesan instan atau diburu-buru oleh durasi.Â