Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bertanam, Hidup Minimalis, dan Adopsi Pohon Sebagai Langkah Mendukung Net-Zero Emissions

24 Oktober 2021   23:48 Diperbarui: 25 Oktober 2021   00:13 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenaikan suhu karena emisi karbon itu nyata |sumber gambar: Pixabay.com/Tumisu


Pada tahun 2021, daerah-daerah di Indonesia rata-rata mengalami kenaikan suhu sekitar 0,99 derajat Celcius apabila dibandingkan kondisi pada tahun 1981. Hal ini salah satunya dikarenakan efek rumah kaca yang kontribusi utamanya adalah emisi karbon. Indonesia sendiri menyumbang emisi karbon sebesar 965,3 juta metrik ton karbon dioksida ekuivalen atau menyumbang 2% emisi dunia berdasarkan data World Research Institute 2020.

Emisi karbon memang lekat dengan kenaikan suhu. Daerah-daerah lainnya di Indonesia setiap tahun juga akan terus mengalami kenaikan suhu apabila mengikuti tren kenaikan suhu sebesar 0,03 derajat Celcius tiap tahun berdasarkan data observasi BMKG mulai dari tahun 1981-2018.

Saat ini kita sudah merasai efek dari kenaikan suhu. Suhu di Jakarta selama periode satu abad menurut BMKG telah mengalami kenaikan sebesar 1,4 derajat Celcius.

Lantas apa yang terjadi apabila suhu terus-menerus naik? Kenaikan suhu ini atau pemanasan global akan memicu sejumlah rangkaian perubahan lingkungan, yang sayangnya lebih ke arah negatif.

Selain menyebabkan gletser di kutub mencair dan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut, pulau-pulau bisa terancam tenggelam. Lalu juga bisa memicu bencana lainnya seperti hawa ekstrem yang tak bersahabat bagi kondisi manusia dan hewan, kerusakan terumbu karang, gagal panen, juga munculnya wabah penyakit dan ancaman kelaparan.

Melihat dampak besar dari pemanasan global yang dipicu emisi karbon maka pemerintah Indonesia ikut berkomitmen bersama negara-negata lainnya untuk menjaga agar kenaikan suhu dapat tetap di bawah 1,5 derajat Celcius sampai tahun 2030, di mana angka tersebut ditetapkan sebagai ambang batas kritis iklim sesuai Perjanjian Paris 2015.

Sumber emisi karbon bisa dari bahan bakar fosil | sumber gambar: pixabay.com/ Gerd Altmann
Sumber emisi karbon bisa dari bahan bakar fosil | sumber gambar: pixabay.com/ Gerd Altmann

Pemerintah sendiri kemudian mencanangkan sejumlah program untuk menekan efek rumah kaca dengan program emisi nol persen (net-zero emission) tahun 2060. Salah satunya dengan konversi energi fosil ke energi baru dan terbarukan.

Saat ini sudah gedung perkantoran dan pabrik mulai berangsur mengunakan energi surya sebagai sumber listrik. Di Indonesia juga mulai banyak dibangun pembangkit listrik dengan tenaga air, bayu, tenaga panas bumi dan lain-lain

Jadinya sebenarnya perubahan ke energi baru terbarukan itu sesuatu yang mungkin, meski untuk rumah tangga masih agak berat karena harga sel surya masih mahal dan masih belum banyak penjualnya. Tapi ke depan itu bukan sesuatu yang mustahil. Saat ini juga mulai ada perumahan dengan panel surya atap.

Indika Energy sebagai salah satu perusahaan sektor energi juga mendukung langkah pemerintah dan menargetkan net-zero emission pada tahun 2050. Di antaranya dengan mendukung kendaraan listrik dan melakukan konservasi lahan hutan yang dimiliki oleh perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun