Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memaknai Humanisme dalam Rupa Film Pendek

23 Januari 2017   11:51 Diperbarui: 23 Januari 2017   12:57 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para Pemenang Festival Film Pendek Indonesia dari Kategori Pelajar dan Mahasiswa (dokpri)

Humanisme atau kemanusiaan selama ini sering didengar dan dibaca, akan tetapi apa sebenarnya pemahaman Kalian akan istilah tersebut? Humanisme bisa memiliki beragam makna bergantung pada perspektif individu. Nah, pada Jumat (20/1) penonton disuguhi beragam perspektif humanisme dalam rupa film pendek yang masuk babak final Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2016 di Bentara Budaya Jakarta.

Beberapa tahun terakhir banyak dihelat workshop pembuatan dan kompetisi film pendek dimana animo masyarakat, baik dari kalangan pelajar dan umum maupun masyarakat umum sangat tinggi dalam meresponnya. Hasil nyatanya kemudian terlihat, kualitas film pendek garapan sineas Indonesia semakin baik. Bahkan, beberapa di antaranya meraih penghargaan berkelas internasional.

Film pendek anak bangsa yang berhasil meraih penghargaan bergengsi cukup banyak di antaranya “Maryam” yang meraih Orizzonti Award for Best Short Film di Venice Film Festival 2014, “Sepatu Baru” yang meraih Special Mention Award at Generation Section, Berlin International Film Festival 2014, “05:55” memenangkan penghargaan Best Cinematography di Global Short Film Awards 2016, “Prenjak” meraih The Leica Cine Discovery Prize di Cannes Film Festival 2016, dan yang terbaru adalah “The Resilient Ones from the East of Indonesia” mendapatkan penghargaan Best Short Film on DRR for Development di Asia Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction 2016. Sangat membanggakan, bukan?!

Salah satu institusi yang konsisten dalam menyelenggarakan kompetisi film pendek adalah Kompas TV. Melihat antusiasme pelajar dan mahasiswa yang tinggi terhadap penyelenggaraan kompetisi film pendek, maka Kompas TV menyelenggarakan Festival Film Pendek Indonesia ketiga kalinya. Sebelum pendaftaran kompetisi dibuka pada 1 Oktober–20 Desember 2016, Fakultas Film dan Televisi Universitas Multimedia Nusantara menyelanggarakan workshopfilm pendek di 10 kota pada 17 Mei–28 Oktober 2016. Kota tempat diselenggarakan workshop film yaitu Pekalongan, Palembang, Jakarta, Tangerang, Medan, Lampung, Banjarmasin, Gorontalo, Denpasar, dan Yogyakarta.

Setelah melalui proses seleksi, maka tersaring 10 besar film pendek dari 276 film yang masuk untuk masing-masing kategori pelajar dan mahasiswa. Selanjutnya keduapuluh film disaring lagi menjadi lima besar untuk tiap kategori. Para dewan juri terdiri dari Ifa Isfansyah yang telah menghasilkan film berkualitas seperti "Sang Penari", "Garuda Di Dadaku", dan "Pendekar Tongkas Emas"; ada Makbul Mubarak seorang akademisi dan pembuat film dimana film pendeknya “Sugih” meraih Film Pendek Terbaik di XXI Short Film Festival 2016; Frans Sartono yang merupakan wartawan senior Harian Kompas dan General Manager Bentara Budaya; dan Deddy Risnanto yang merupakan perwakilan dari Kompas TV.

Latar belakang Kompas TV berkomitmen menyelenggarakan film pendek untuk menumbuhkan semangat sineas muda Indonesia dalam menciptakan film yang berkualitas dan kaya akan muatan lokal daerah. Saat ini juga banyak bertumbuhan komunitas film di berbagai daerah, namun media untuk menampilkan dan menghargai karya mereka masih minim. Sebagai bagian dari Kompas Gramedia Group yang memiliki motto Enlightening People, menurut Rosianna Silalahi. Kompas TV tidak boleh berhenti untuk menumbuhkan harapan, salah satu melalui Festival Film Pendek.

Sambutan dari Rosianna Silalahi (dokpri)
Sambutan dari Rosianna Silalahi (dokpri)
Film itu merupakan cerminan masyarakat suatu daerah dan produk suatu bangsa, ujarnya. Masyarakat dikenal dan mengenal oleh negara lain lewat karya film. Dan sejak beberapa waktu terakhir film pendek karya anak bangsa berhasil mencuri perhatian sineas dunia. "Teruslah berkarya dan teruslah membawa nama harum indonesia," pesan Rosianna Silalahi menutup sambutannya.

Film-film yang diputar terdiri atas film dokumenter, drama dan juga animasi. Tema humanisme dipilih karena tema ini semua orang tahu, tapi sulit diungkapkan secara otentik, ujar Makbul, salah satu juri.

Penasaran film pendek apa saja yang masuk babak final alias lima besar? Finalis untuk kategori pelajar adalah “2 Hari” karya SMAN 1 Muara Enim Palembang, “Mata Hati Djoyokardi” karya SMA Khadijah Surabaya, “Kihung (Jalan Menikung)” karya SMKN 5 Bandar Lampung, “Izinkan Saya Menikahinya” karya SMA Rembang Purbalingga, dan “Terminal” karya SMKN 2 Kuripan NTB.

Sedangkan untuk kategori mahasiswa , finalisnya adalah “I Love Me” karya Institut Kesenian Jakarta, “Di Ujung Jari” karya Universitas Bina Nusantara, “Merengguk Asa di Teluk Jakarta” karya Universitas Negeri Jakarta, “Omah” karya Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta, dan “Different”karya Ubinus.

Melihat asal sekolah dan kampusnya, maka terlihat dominannya film asal daerah. Ini berarti bibit-bibit unggul dalam dunia sinema nasional tersebar di berbagai daerah, tidak hanya di ibukota. Para generasi muda dari berbagai daerah ini jeli melihat fenomena di sekelilingnya dan juga memiliki gagasan yang otentik. Mereka dipilih bukan hanya karena mampu menciptakan karya yang unggul secara teknis, namun juga mampu menyampaikan nilai humanisme yang mendalam kepada penontonnya, ungkap Makbul Mubarak, salah satu juri FFPI 2016.

Lantas seperti apa sih cerita atau pesan yang disampaikan dalam tiap film pendek tersebut?

Film pertama yang diputar berjudul."2 Hari" karya SMAN 1 Muaraenim. Film ini berkisah tentang kekuatiran Christabela memasuki sekolah baru. Ia murid pindahan dari Jakarta. Ia mengira sekolah barunya lebih buruk dari sekolah lamanya. Rupanya di sekolah baru ini meski baru dua hari, ia belajar praktik kejujuran dan tidak adanya diskriminasi terhadap siswa. "Pelangi tidak jadi pelangi kalau cuma satu warna kan?" demikian pesan film "2 Hari" yang mengusung keberagaman.

Selanjutnya giliran film pendek karya SMA Khadijah Surabaya. Film bertajuk "Mata Hati Djoyokardi" ini merupakan film dokumenter tentang perjuangan seorang kakek berusia 83 tahun menghidupi anak perempuannya yang mengalami cacat mental. Ia tidak punya penghasilan yang tetap namun ia tak berputus asa dan selalu bekerja keras.Kisah Pak Djoyokardi juga dilengkapi dengan perspektif dari tetangga dan Ketua RT yang menyebut sosok tersebut meskipun miskin namun hatinya luar biasa.

"Kihung (Jalan Menikung)" bercerita tentang perjuangan berat anak-anak Desa Kihung menuju sekolahnya. Jembatan swadaya dari warga rusak, sehingga siswa-siswi tersebut harus menyeberangi sungai yang berarus cukup deras. Desa Kihung memang memiliki infrastruktur yang terbatas dimana jalannya masih berupa tanah licin. Untuk itu anak-anak tersebut berharap pemerintah bersedia membangun jembatan agar mereka tidak mengambil risiko menyeberangi sungai setiap menuju/kembali sekolah.

Film pendek berikutnya berhasil membuat penonton tertawa dan mengaduk-aduk emosi. "Ijinkan Aku Menikahimu" berkisah sepasang kekasih yang hendak menikah di Rembang, Purbalingga. Rupanya pernikahan tersebut harus batal karena permohonan ijin menikah ditolak karena calon mempelai wanita keturunan simpatisan PKI.

Menurut tim SMA 1 Rembang, film ini terinspirasi dari stempel yang dibuat pemerintah terhadap simpatisan PKI sehingga merugikan anak cucunya. Cerita ini terinspirasi dari kejadian nyata, namun mereka kemas dalam rupa drama percintaan. Untuk menambah muatan lokal, bahasa percakapan Yono dan Yati menggunakan bahasa ngapak-ngapak yang khas.

Tim SMA 1 Rembang Mengungkapkan Ide Cerita (dokpri)
Tim SMA 1 Rembang Mengungkapkan Ide Cerita (dokpri)
Film terakhir dari kategori SMA/SMK adalah 'Terminal" dari SMK Kuripan NTB. Dikisahkan ada calon penumpang di terminal yang tasnya tertinggal. Tas itu hampir dicuri tapi anak kecil yang mencari nafkah si terminal itu jauh lebih cepat. Ia berlarian mengejar pemilik tas. Saat ia mengembalikan tas tersebut, si pemilik tas memberinya roti. Roti tersebut kemudian dibaginya bersama calon pencuri tersebut.

Mengapa mengusung terminal? Oleh karena terminal memiliki stigma negatif dengan banyaknya aksi kriminal. Di balik itu tetap ada sisi kemanusiaan.

Setelah film pendek karya SMA selesai diputar, maka kini giliran karya mahasiswa. Yang menarik ada satu finalis yang mengusung animasi. Ia adalah Gerald dari Universitas Bina Nusantara dengan "Different".

Ceritanya sebenarnya sederhana tentang jalinan romansa yang dibatasi oleh status, dimana si perempuan gadis yang kaya dan si pria berasal dari kalangan tak berpunya. Hingga suatu ketika ada semacam keajaiban hingga keduanya dapat bersama-sama.

Film ini kaya simbol, jelas pembuatnya.Perbedaan keduanya terlihat dari warna dimana si pria hitam putih dan si wanita kaya warna. Mobil-mobil yang lalu lalang merupakan simbol penghalang, padahal batasan itu sebenarnya hanyalah ilusi. Setiap manusia dengan status sosial manapun berhak bahagia dan membahagiakan, pesan Gerald dalam animasi yang dibuatnya selama enam bulan ini.

"Merengguk Asa di Teluk Jakarta" membahas kehidupan manusia perahu yang hampir seluruh kehidupannya berpusat di perahu dan tidak tinggal di daratan.

Dari laut semua berawal. Oleh karena dibesarkan dari keluarga nelayan maka mereka pun juga kemudian tumbuh sebagai nelayan. Rata-rata dari mereka berasal dari pendatang seperti Indramayu. Setelah berpindah-pindah mereka pun tinggal di kawasan Kali Adem. Penghasilan mereka tak menentu. Sementara itu laut semakin tercemar oleh limbah dan sampah sehingga ikan pun susut.

"I Love Me" dari Institut Kesenian Jakarta bercerita tentang seorang remaja yang gemar memotret aktivitas anak jalanan dan kondisi sekelilingnya dengan smartphone. Saat baterainya habis ia kesulitan meminjam charger ataupun power bank karena adanya faktor kecurigaan. Ternyata masih ada yang tulus menolongnya, yaitu penjual nasi goreng.

Dari MMTC Yogyakarta, "Omah" menceritakan seorang ayah yang membujuk anaknya untuk pulang karena ibunya merindukannya. Agus, si anak, sudah tidak pulang selama tiga tahun.

"Di Ujung Jari" dari Ubinus mengisahkan fenomena generasi milenial yang tak lepas dari gadget. Sosok dari film ini baru menyadari dunia yang beda sejak ponselnya hilang.

Ifa, salah satu juri, menjelaskan aspek yang dinilai (dokpri)
Ifa, salah satu juri, menjelaskan aspek yang dinilai (dokpri)
Terkait dengan penilaian film, Ifa mengungkapkan. Ada banyak unsur yang dinilai termasuk kedekatan dengan tema, perspektif tema, aspek teknik dan pesan dalam film. Film bukan hanya gagasan, akan tetapi bagaimana unsur-unsur termasuk aspek teknis digunakan untuk menyampaikan gagasan.

Akhirnya pemenang pun diumumkan. Juara 3, 2, 1 dari katagori pelajar adalah "Terminal", "Mata Hati Djoyokardi" dan "Ijinkan Aku Menikahinya". Masing-masing mendapatkan hadiah uang sebesar Rp 4 juta, Rp 6 juta dan Rp 8 juta plus voucher menginap di hotel Amaris.

Para pemenang kategori SMA/SMK (dokpri)
Para pemenang kategori SMA/SMK (dokpri)
Sedangkan kategori mahasiswa diraih oleh "Merengguk Asa di Teluk Jakarta", "Different" dan "I Love Me" sebagai juara 3, 2 dan 1. Atas keberhasilannya tersebut mereka berhak mendapatkan uang tunai sebesar Rp 6,8 dan 10 juta plus voucher menginap di hotel Santika.

Wah selamat, siapa tahu selepas kompetisi ini mereka unjuk gigi mengikuti kompetisi tingkat mancanegara.

Para juara kategori mahasiswa (dokpri)
Para juara kategori mahasiswa (dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun