Mohon tunggu...
Dewiyatini
Dewiyatini Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga

Penulis Lepas, Kontributor, Fotografer Amatir, Videographer Kulakan, Tukang Dongeng, Separuh IRT, Separuh Pekerja Lepas, Kurir Makan Siang, Camilan Hunter, Fans Bakso-Thing, Eksperimental Chef, Bodyguard Suami.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tangis Ibunda Affan Kurniawan di Pejompongan: Ketika Pejabat Publik Nir Empati dan Aparat Bertindak Keji

29 Agustus 2025   13:21 Diperbarui: 29 Agustus 2025   13:21 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.instagram.com/p/DN7XbDzAZhm/

Di sebuah kontrakan sempit berukuran 3x11 meter, suara tangisan pecah. Herlina, seorang ibu yang sederhana, menangisi kepergian anak sulungnya, Affan Kurniawan.

Affan, tulang punggung keluarga yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, tewas mengenaskan setelah dilindas mobil rantis Brimob ketika aksi demonstrasi di Pejompongan, Kamis, 28 Agustus 2025.

"Anak saya enggak ada, Pa!" teriak Herlina sambil memeluk jenazah putranya yang ditutupi kain.

Kalimat itu bukan sekadar ratapan, melainkan jeritan hati seorang ibu yang kehilangan harapan hidupnya. Disampaikan juga saat Anies Baswedan melayat

Ketika Harapan Mati Bersama Affan

Affan baru berusia 21 tahun. Di usia yang seharusnya ia menikmati masa muda, berkumpul dengan teman, atau mengejar cita-cita, ia justru menjadi tulang punggung keluarga. Setiap hari, ia berkeliling kota mencari nafkah, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk ibu dan keluarganya.

Namun hidup berkata lain. Affan pergi bukan karena sakit, bukan karena usia tua, melainkan karena tindakan aparat yang bertugas di bawah perintah negara. Tindakan itu digambarkan publik sebagai keji, sebuah tindakan yang seharusnya tak pernah terjadi di negara hukum.

Pejabat Publik dan Potret Nir Empati

Di balik duka keluarga, publik menunggu sikap pejabat publik. Apakah mereka akan hadir menghibur? Apakah mereka akan meminta maaf? Sayangnya, yang muncul justru pernyataan dingin, basa-basi, bahkan pembelaan terhadap tindakan aparat.

Potret pejabat publik nir empati semakin terlihat jelas ketika air mata rakyat dianggap hanya sekadar bumbu politik belaka.

Masyarakat bertanya-tanya: jika aparat yang katanya mengayomi justru melukai, kepada siapa rakyat bisa bersandar? Apakah keadilan hanya milik mereka yang punya jabatan, sedangkan keluarga miskin seperti Herlina hanya bisa pasrah?

Luka yang Tak Akan Pernah Sembuh

Herlina bukan hanya kehilangan anak. Ia kehilangan masa depan. Rasa bersalah terus menghantui dirinya: mengapa ia tidak mampu membesarkan Affan dengan mapan? Jika ia kaya, mungkin Affan tak perlu jadi ojol, tak perlu ikut aksi, dan tak akan jadi korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun