Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buku MUI Berpotensi Memecah Belah Umat Beragama

10 Februari 2014   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membaca buku "Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia" membuat saya tersenyum miris. Sebab, di tengah-tengah seruan rekonsiliasi Sunni-Syiah yang digalang oleh ulama-ulama Asia Tenggara, bahkan dunia, MUI, selaku ormas keagamaan yang -konon- mengatasnamakan ulama Indonesia, justru menerbitkan buku yang berpotensi mengoyak tirai-tirai keberagamaan dan nilai-nilai toleransi di Indonesia.

Nyaris tidak ada hal yang baru tentang Syiah dalam buku yang -konon- ditulis oleh tim MUI Pusat itu. Ibarat kaset, maka pitanya telah usang karena diputar berulangkali. Dan telah berulangkali pula isu-isu yang ditulis telah mendapat bantahannya. Sehingga bagi individu yang selama ini secara intens mengikuti isu-isu Syiah, buku yang ditulis oleh MUI itu bak menulis ulang lembaran yang telah lapuk.

Satu-satunya yang baru dalam buku itu ialah disertakannya fatwa dari dua ulama besar (dari empat), yaitu Syekh Hasyim Asyari dan Buya Hamka. Sesuatu yang menggiring opini pembaacanya bahwa dua ormas besar, yang pernah dipimpin oleh dua ulama itu, yaitu NU dan Muhammadiyah, secara resmi telah mengeluarkan fatwa kesesatan Syiah.

Padahal, secara organisasi, NU dan Muhammadiyah tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang "sesatnya" Syiah. Bahkan beberapa tokoh NU dan Muhammadiyah aktif menyerukan "ukhuwah" antara Sunni-Syiah. Sebut saja nama KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari pihak NU atau Buya Syafi'i dari Muhammadiyah. Kedua tokoh itu tidak hanya aktif menyerukan "ukhuwah" antar umat, tetapi juga berada di garda terdepan dalam menghadapi rongrongan dari para preman-preman berjubah agama yang getol menebar kebencian dan permusuhan di kalangan umat, bahkan bangsa.

Sehingga fatwa dari Syekh Hasyim Asyari dan Buya Hamka hanya sebuah pendapat pribadi belaka, tidak mewakili organisasi NU dan Muhammadiyah.

Lucunya, ketika tim MUI menyertakan fatwa Syekh Hasyim Asyari tentang Syiah, mereka justru tidak melampirkan -entah sengaja - fatwa dari Syekh Hasyim Asyari tentang aliran Wahabi. Bahkan bila ditinjau lebih dalam, kelahiran NU sendiri tidak lepas dari penolakan sejumlah ulama tradisional tanah air terhadap aliran yang kerap membidahkan dan menyesatkan amalan-amalan warga NU tersebut.

Dahi saya kian berkerenyit takkala membaca penyusun buku itu yaitu tim MUI Pusat. Kesan pertama adalah MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa resmi tentang "sesatnya" Syiah. Padahal, sepanjang pengetahuan saya, MUI Pusat -secara organisasi tidak pernah mengeluarkan fatwa "sesatnya" Syiah. Sehingga saya bertanya, MUI Pusat mana yang dimaksud sebagai tim penyusun oleh buku itu?

Saya juga menebak-nebak kegunaan diterbitkannya buku itu. Yang pasti dengan terbitnya buku itu, maka tali-temali ukhuwah antara Sunni-Syiah dipastikan akan semakin jauh. Buku itu lebih berpotensi menyulut kebencian antar umat beragama ketimbang memupuk toleransi. Apalagi waktu edarnya buku itu dekat dengan konflik Suriah yang gencar mengusung SARA sebagai pemicu utamanya ketimbang persoalan politik.

Saya khawatir buku itu akan menjadikan "kompas" bagi segelintir individu untuk kembali menumpahkan darah kaum Syiah di Indonesia. Melalui buku itu, mereka seakan mendapatkan pembenaran dari seluruh aksi anarkisme terhadap kaum Syiah yang rentan belakangan ini.

Selaku organisasi yang -konon- mewadahi para ulama dan mengayomi umat, seyogyanya MUI berlaku arif nan bijaksana. MUI tidak seharusnya menjadi corong suara bagi sekelompok orang yang selama ini memang gemar "me-megavone-kan" intoleransi di Indonesia.

Ketimbang MUI menyusun buku untuk menyesatkan suatu kelompok dan membuat kegirangan kelompok lainnya, bukankah MUI lebih baik berkutat dengan persoalan label Halal pada makanan dan minuman yang selama ini bagai benang kusut tak terurai?

Gitu aja koq repot!

Salam pentungan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun