Mohon tunggu...
Pakro Wangka
Pakro Wangka Mohon Tunggu... Orang gila

Aku ingin menulis tentang apa saja yang aku mau.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kejahatan Nafsu Dalam Cinta.

16 Oktober 2025   02:21 Diperbarui: 16 Oktober 2025   02:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak semua cinta berwajah suci.

Kejahatan Nafsu dalam Cinta

Oleh: [Pakro Wangka]

Cinta selalu dielu-elukan sebagai anugerah paling suci yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ia menggerakkan hati, menginspirasi seni, bahkan memberi makna bagi kehidupan. Namun, di balik keindahannya yang menenangkan, cinta juga menyimpan sisi gelap yang sering kali tak disadari, nafsu hasrat yang membara dan dapat berubah menjadi kejahatan batin bila tak terkendali.

Kita sering kali tidak sadar ketika cinta yang kita sebut "tulus" ternyata sudah bercampur dengan keinginan untuk memiliki, mendominasi, atau bahkan menguasai. Di situlah cinta kehilangan kesuciannya, menjelma menjadi kejahatan nafsu, kejahatan yang tak menumpahkan darah, tetapi bisa melukai jiwa.

Cinta dan Nafsu. Dua Wajah dari Hasrat yang Sama

Filsuf Yunani, Plato, pernah menggambarkan cinta (eros) sebagai tangga menuju keindahan yang hakiki. Menurutnya, cinta sejati seharusnya membawa jiwa manusia naik dari ketertarikan pada tubuh menuju kekaguman pada jiwa, hingga akhirnya pada kebenaran dan keindahan Ilahi.

Namun, ketika manusia berhenti pada keindahan fisik dan tak melangkah lebih jauh, cinta itu tak lagi murni. Ia berubah menjadi nafsu yang menuntut pemenuhan diri. Cinta yang seperti ini bukan lagi penyatuan dua jiwa, melainkan permainan keinginan.

Nafsu menjadikan cinta kehilangan arah, mengubah kasih sayang menjadi obsesi, dan kedekatan menjadi penjara. Dalam banyak hubungan, cinta yang awalnya hangat justru berubah menjadi alat penguasaan. Ada yang rela menyerahkan segalanya demi cinta, tanpa sadar sedang diperbudak oleh nafsunya sendiri.

Kejahatan yang Tak Terdeteksi

Kejahatan nafsu bukan selalu berupa kekerasan fisik. Ia bisa hadir dalam bentuk yang lebih halus: manipulasi perasaan, eksploitasi emosi, atau menciptakan ketergantungan agar seseorang tetap terikat.
Inilah kejahatan yang tidak terdeteksi oleh hukum, tetapi menyiksa batin.

Dalam filsafat moral, kejahatan semacam ini disebut kejahatan niat, kejahatan yang muncul bukan dari tindakan nyata, melainkan dari motif yang menyimpang. Cinta yang dilandasi niat untuk menguasai, bukan memahami, adalah bentuk halus dari kejahatan itu.

Manusia dan Godaan Hasrat

Pertanyaannya, apakah cinta yang disertai nafsu selalu salah? Tidak sepenuhnya.
Sebab dalam diri manusia, cinta dan nafsu memang diciptakan berdampingan. Nafsu adalah bagian dari kodrat, penanda bahwa manusia hidup dan berhasrat. Tapi ketika nafsu mengambil alih kendali, manusia kehilangan arah moralnya.

Cinta sejati tidak meniadakan nafsu, melainkan menundukkannya. Ia memberi bentuk yang lebih luhur pada hasrat itu bukan sekadar ingin memiliki, tetapi ingin menjaga; bukan hanya ingin menikmati, tetapi ingin memahami.

Dalam pandangan sufistik, cinta yang sejati (mahabbah) adalah ketika hasrat manusia diarahkan bukan pada pemilikan, melainkan pada penyatuan dengan nilai ilahi. Di situlah cinta menjadi jalan spiritual yang memurnikan jiwa, bukan yang menyesatkannya.

Cinta yang Mendidik Jiwa

Cinta bukan hanya perasaan, tapi juga ujian kesadaran. Ia mengajarkan manusia untuk mengenali batas antara keinginan dan kasih, antara kebutuhan dan pengorbanan.
Ketika seseorang mencintai dengan kesadaran, ia tidak ingin menaklukkan, melainkan menemani. Ia mencintai bukan untuk memenuhi kekosongan, tetapi untuk berbagi keutuhan.

Cinta seperti ini mendidik manusia menjadi lebih berakal dan berjiwa. Ia tidak menjerat, tapi membebaskan. Ia tidak menuntut, tapi memahami.

Antara Cinta dan Kejahatan

Pada akhirnya, cinta dan nafsu adalah dua wajah dari energi yang sama. Yang satu dapat membawa manusia pada pencerahan, yang lain dapat menjerumuskannya ke kegelapan. Semuanya bergantung pada kesadaran kita dalam mengelola hasrat itu.

Cinta yang sejati tidak membakar, tetapi menerangi. Ia tidak menjerat, tetapi membebaskan.
Dan hanya ketika manusia mampu menundukkan nafsunya, barulah ia mengenal cinta yang benar-benar suci, cinta yang bukan kejahatan, melainkan kebajikan yang menumbuhkan kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun