Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Aku Seorang ODHA...

17 Mei 2012   20:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih sempurna berdiri di tempatku, tak bergeming sedikitpun. Antara percaya dan tidak percaya akhirnya aku bisa bertemu dengan lelaki ini lagi. Aku memintanya untuk duduk dikursi yang terletak dihadapanku. Lelaki ini sepertinya tak mendengar ucapanku. Dia masih tetap berdiri di posisinya, tak beranjak sedikitpun. Alan yang berdiri tepat disampingnya kemudian menyentuh pundaknya pelan, dan hal itu berhasil menyadarkan Restu dari lamunannya. Restu beranjak dari posisinya, duduk di kursi yang berada  tepat disamping kirinya. Sementara itu sang adik, Alan duduk dikursi sebelahnya.


Aku benar – benar tak menyangka akan bertemu dengan lelaki ini lagi. Lelaki pertamaku, yang meninggalkanku begitu saja, membuangku seperti sampah tanpa pesan sedikitpun demi wanita lain, wanita yang pernah dicintainya sebelum aku. Harus bersabar selama 7 tahun sebelum akhirnya Tuhan mengizinkan aku kembali bertemu dengannya. Dan selama kurun waktu itu, tak pernah aku mencoba mencari kabar tentangnya. Tapi kondisinya amat sangat berbeda saat ini. Tubuh yang tak lagi tegap dan berisi seperti dulu, wajahnya yang putih bersih berubah pucat, dan garis wajahnya yang semula teduh kini tak tampak lagi.


“Apa kabar kamu Ndis?” kalimat pertama yang keluar dari mulut Restu. Aku  tersenyum datar, setengah dipaksakan. Meski disudut hatiku masih berharap diberi kesempatan untuk kembali bertemu dengan Restu setelah 7 tahun, tapi tentu bukan dengan cara yang seperti ini. Pertama kali mendapatkan surat permintaan obat atas nama Restu Putra, aku sama sekali tak berharap nama itu sama dengan nama lelaki yang pernah aku kenal dulu, Putra.


“Baik, alhamdulillah” jawabku singkat sembari membuka file holder bertuliskan Restu Putra di bagian depan sampulnya. Restu seperti hendak membuka suara, tapi tertahan oleh bunyi telepon yang berdering di meja kerja yang berada tepat dihadapanku.


“Hallo”.


“Tolong bilang tunggu sebentar ya Ran, saya masih ada pasien” pintaku pada Rani, asistenku diujung telepon. Jadwal konseling untuk pasien ODHA (orang dengan HIV / AIDS) hari ini sebenarnya ada 4 pasien, dan masih menyisakan 3 pasien lagi setelah ini. Beberapa diantara pasien ODHA ada yang memilih mewakili kehadiran mereka untuk konseling dan mengambil obat oleh anggota keluarga mereka. Alasannya beragam, dan aku tentu dapat memakluminya.

“Gimana kondisinya hari ini ?” kali ini giliran aku yang bertanya pada Restu yang tak lain adalah pasienku. Bukan hanya pertanyaan basa basi, tapi aku memang harus tahu benar kondisi terkini salah satu pasienku ini.

“Aku juga baik Ndis, seneng bisa ketemu kamu lagi” jawab Restu. Alan, dari wajahnya tampak kebingungan yang terpancar dengan jelas. ‘Bukankah baru pertama kali ini mereka bertemu? Tapi ada apa dengan reaksi mereka sewaktu bertemu pertama kali tadi? Dan percakapan yang barusan terjadi, seolah – olah seperti mereka adalah kawan lama yang baru bertemu setelah sekian lama tak bertemu’ mungkin pertanyaan – pertanyaan itulah yang ada dibenaknya. Aku meneliti sejenak catatan kesehatan Restu yang aku pegang. Aku kemudian bangkit, berjalan menuju salah satu lemari yang berada dipojok kiri ruangan. Setelah mengambil dua botol berisi obat, aku kembali ke posisiku semula.

Aku lalu memberikan obat – obat itu pada Restu sembari berbincang tentang cara mengkonsumsinya dan tentang beberapa hal yang menyangkut kesehatan Restu. 45 menit sudah kami berbincang, dan sepertinya cukup untuk hari ini. Tentang perasaanku, akupun tak bisa menjelaskannya. Beberapa kali kami terdiam dan hanya saling menatap, Alan lah yang sukses menyadarkan kami dengan kegugupan kami. Restu, lelaki itu masih mampu membuat dadaku berdegup lebih cepat, bahkan saat dirinya dan Alan berpamitan untuk pulang.

Di depan ruanganku, Umar sudah menunggu sedari tadi untuk membicarakan beberapa hal tentang rencana pernikahan kami yang tinggal beberapa minggu lagi. Aku memperkenalkannya pada Restu, meski pun aku tak tau untuk apa. Raut wajah Restu tiba – tiba berubah, tak ada senyum yang mengembang lagi setelah itu. Restu dan Alan berpamitan pulang, dan aku hanya mengantarnya dengan senyum yang dipaksakan dari depan ruanganku.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun