"Hi, Kids! This is your mom,...."
Tidak asing lagi, penghujung tahun 2023 diramaikan dengan tren video yang mengekspresikan hari-hari dan harapan seseorang untuk anak mereka nanti di masa depan.
Siapa sangka, konten yang awalnya hanya dibuat untuk mengabadikan momen, tiba-tiba viral dan banyak orang tertarik untuk mengikutinya. Tidak hanya tren "Hi Kids" ini, banyak tren lain di sepanjang tahun 2023 yang menghibur, mengedukasi, atau bahkan memprovokasi. Bagi sebagian orang, konten viral hanyalah sepintas lalu dan digunakan sebagai tempat bersenang-senang, tetapi ada juga sebagian yang memanfaatkannya dengan baik sebagai penghasil pundi-pundi rupiah. Tanpa disadari, banyak orang berharap dapat menghasilkan cuan hanya dengan media sosialnya.
Setiap rupiah yang dihasilkan tersebut berhubungan dengan pajak, terutama pajak penghasilan. Menurut UU PPh Pasal 4 Ayat 1, penghasilan didefinisikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Berdasarkan hal tersebut, cuan yang dihasilkan dari media sosial juga termasuk salah satu objek pajak penghasilan. Kita tahu bahwa penghasilan yang datang tersebut bisa dari berbagai sumber yang nantinya akan mengakibatkan pengenaan perhitungan pajak yang berbeda.
Namun, kali ini kita akan fokus membahas penghitungan pajak content creator yang tidak berada di bawah naungan agensi dan masuk dalam klasifikasi pekerjaan bebas. Dalam ketentuan perpajakan, pekerjaan bebas merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Kapan Kamu Harus Membayar Pajak?
Sebagai content creator, kamu harus membayar pajak ketika penghasilan kamu di suatu bulan telah melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) apabila diperhitungkan akumulasi selama satu tahun.
Daftar PTKP tertera pada PMK Nomor 101/PMK.010/2016 Tentang Penyesuaian Besaranya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Kemudian, Bagaimana Perhitungannya?
Yuk, Simak Perhitungan Pajak untuk Content Creator!
Sesuai dengan fokus yang kita bangun, penghitungan pajak bagi content creator terbagi menjadi dua cara atau kondisi yang berbeda:
- Pencatatan
- Seorang Content Creator dapat melakukan pencatatan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) apabila peredaran bruto kurang dari atau sama dengan Rp4,8 M dalam satu tahun pajak dan melakukan pemberitahuan kepada DJP dalam waktu 3 bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan.Â
- NPPN dengan klasifikasi lapangan usaha (KLU) 90002 dihitung mulai dari perkalian antara penghasilan bruto selama satu tahun pajak dan presentase NPPN sebesar 50% sesuai yang tertera pada Lampiran I Peraturan DJP Nomor PER-17/PJ/2015. Hasil perkalian tersebut kemudian dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Terakhir, hasil pengurangan tersebut yang kemudian disebut PKP akan dikalikan dengan tarif PPh progresif yang besarannya didasari oleh Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
- Pembukuan
- Seorang content creator yang melakukan pekerjaan bebas wajib melakukan pembukuan.
- Penghitungan pajak terutang apabila seorang content creator melakukan pembukuan dimulai dengan pengurangan penghasilan bruto selama satu tahun pajak dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Terakhir, hasil pengurangan tersebut yang kemudian disebut PKP akan dikalikan dengan tarif PPh progresif yang besarannya didasari oleh Pasal 17 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Lalu, Apa Sanksi yang Dikenakan Kepada Seseorang Apabila Tidak Melaporkan Pajak Sesuai dengan Penghasilannya?
Pada umumnya, sanksi pajak di Indonesia terdiri dari sanksi administrasi dan sanksi pidana. Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, asas ultimum remidium ditegaskan dalam penegakan hukum pajak. Ultimum Remedium merupakan penggunaan hukum pidana Indonesia sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum. Dengan ini, negara berusaha untuk memberikan keringanan juga kemudahan bagi rakyat yang akan membayar pajaknya.
Dalam kasus ini, apabila telah dilakukan pemeriksaan, seseorang tidak melaporkan pajak sesuai dengan penghasilannya dan tidak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan, maka seseorang tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 39 ayat 1 UU KUP.Â
Berdasarkan Pasal 39 ayat 1 UU KUP, "Setiap orang dengan sengaja menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI