Mohon tunggu...
Devi Meilana Trisnawati
Devi Meilana Trisnawati Mohon Tunggu... Pengajar - Seorang Ibu Rumah Tangga, Pengajar Paruh Waktu dan Blogger

Pengagum Berat Westlife. Menaruh cinta pada dunia Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pilduk Sleman: Demokrasi Laksana Tumbuhan, Kokoh Hingga ke Akar Rumput

9 Agustus 2016   09:38 Diperbarui: 10 Agustus 2016   03:19 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kediaman saya di sebuah desa pinggiran. Merupakan perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah (Kabupaten Magelang).  Kurang lebih dua puluhan kilo dari jantung kota Yogyakarta, tepatnya Tugu dengan waktu tempuh setengah jam. Adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Sleman. Predikat tempat tinggal yang jauh dari kesan kota. Bisa dibilang, kami adalah masyarakat akar rumput. Kami baru saja melaksanakan pesta demokrasi kecil-kecilan (ala akar rumput), yaitu pemilihan kepala dusun yang merupakan BAGIAN dari perangkat pemerintah (perangkat terendah dalam sistem hierarki tata kepemerintahan negara ini). 

Pilduk (Pemilihan Dukuh) yang diadakan pada hari Sabtu, 6 Agustus 2016 berjalan sangat kondusif. Masyarakat menggunakan hak pilihnya dengan mendatangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) demi menentukan masa depan dusun. Ya, meskipun hanya dusun kami tetap menginginkan yang terbaik bagi dusun kecil kami ini. 

Saya juga sempat mengapresiasi terhadap antusiasme warga pada malam sebelum pemilihan. Seluruh pintu masuk dusun yang berbatasan dengan dusun lainnya dijaga oleh pemuda dan kelompok Bapak-bapak mulai dari sore hingga pagi hari menjelang pemilihan. Tidak ada money politicsejauh informasi yang berhembus sepanjang dan pasca pilduk diselenggarakan.

Tetapi, setelah saya membaca situs berita online (berita sebelum pemilihan dukuh dilaksanakan), setelah pilduk selesai ternyata sempat ada wacana bahwa sebelumnya pemilihan perangkat desa di Kabupaten Sleman menyesuaikan aturan Undang- Undang (UU) No 6/2014 tentang Desa, PP No 43/2015 tentang Pelaksanaan UU Desa dan Permendagri No 83/2015 tentang Tata Cara Pengangkatan Perangkat Desa termasuk dalam Kategori Pembantu Kepala Desa (Kades). 

Dengan kata lain, sistem yang diterapkan melalui sistem seleksi. Saya lantas berpikir, bagaimana mungkin pemilihan dukuh (meskipun merupakan pemimpin di wilayah administrastif terendah) dilaksanakan melalui sistem seleksi. Tidak perlu logika dalam-dalam, orang awam juga pasti sudah mereka-reka sistem tersebut sangat rawan akan permainan politik. Rawan akan berbagai orang yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau segolongan orang tertentu.

Seperti yang disampaikan dosen FISIPOL UGM, Dr. Arie Sujdito, juga mengemukakan pendapatnya dalam forum Paguyuban Dukuh Cokro Pamungkas, beberapa hari sebelum pilduk dilaksanakan. Akademisi tersebut juga mengemukakan bahwa UU Desa itu dibentuk untuk memperkuat kewenangan desa (otonomi desa). 

Paguyuban Dukuh Cokro Pamungkaspun sebelumnya juga telah menentang rencana sistem seleksi bagi perangkat desa, yang akan diberlakukan dalam pemilihan dukuh. Jika kewenangan pengelolaan dana desa sudah dipercayakan kepada perangkat desa, apalah arti dari UU Otonomi Desa bila PERANGKAT DESA saja dipilih dan ditunjuk oleh Pusat?(dalam hal ini Pemkab dan DPRD Sleman). Apakah hanya karena pembantu desa lantas hanya perlu seleksi? Apa jaminan sistem seleksi itu dilaksanakan dengan bersih?

Negara ini adalah negara demokrasi. Demokrasi diciptakan demi transparansi, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Meskipun hanyalah sebuah dusun, dan dihuni oleh sekelompok orang dan bahkan segolongan kecil orang yang melek “demokrasi” secara eksplisit, tetapi secara implisit kami juga menginginkan pemimpin yang bersih, mampu mengemban amanat dan murni ikhlas mengabdi kepada masyarakat. Seluruh pemimpin yang menjadi penguasa suatu wilayah administratif hendaknya dipilih melalui demokrasi. Apa arti slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?

Nawacita presiden Joko Widodo adalah membangun Indonesia dari Pinggiran. Bila sistem seleksi tersebut terjadi, maka akan bertentangan dengan 3 nawacita yang presiden sampaikan kepada rakyatnya.

Nawacita ke 2 : Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Nawacita ke 3 : Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun