Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dulu Kala Ketika Borobudur adalah Ekosistem Musik Terbesar Dunia

16 Mei 2021   12:33 Diperbarui: 16 Mei 2021   12:37 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi stupa Candi Borobudur sekitar tahun 1874| Museum Volkenkunde Belanda

Candi Borobudur adalah pusat musik dunia. Narasi tersebut berkembang seiring ditemukannya pahatan puluhan alat musik pada relief Borobudur. Dalam konteks itu, seni musik --secara menyakinkan---telah membudaya dalam keseharian leluhur bangsa sedari abad ke-8. Banyak peneliti bahkan telah mengamininya. Kehadiran relief alat musik kemudian jadi wujud penghargaan tinggi lelulur bangsa terhadap seni. Utamanya, dalam keanekaragaman instrumen dan teknologi pembuatan alat musik.

Sejak diperkenalkan oleh Letnan Gubernur Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1814) lewat mahakarya The History of Java (1817), Borobudur langsung memukau mata dunia. Narasi Borobudur sebagai pusat ilmu pengetahuan di pulau Jawa mengemuka. 

Alhasil, banyak peneliti maupun pelancong dari luar negeri ingin datang dan melihat langsung kemegahan Borobudur. Pelancong asal Inggris Charles Walter Kinloch dan Naturalis Alfred Russel Wallace adalah beberapa di antaranya.

Konon, Charles Walter Kinloch jadi pelancong pertama yang menulis buku tentang petualangannya di Jawa. Hasil eksplorasinya mengelilingi Nusantara dalam dua bulan --Juni hingga Juli 1852-- itu mampu menginspirasi banyak orang untuk datang ke bumi Khatulistiwa. 

Namun, dari seluruh destinasi yang dituju, Candi Borobudur adalah yang paling dinantikan. Charles Walter Kinloch ingin menjadi orang Inggris lainnya --setelah Raffles-- yang berkunjung ke Candi Borobudur. Sebab, selama ini dirinya menganggap Borobudur laksana dongeng dari negeri khalayan.

"Sejarah maupun dongeng tidak memberi kami banyak informasi berkaitan dengan reruntuhan-reruntuhan unik ini. Semua yang kami tahu mengenai mereka adalah bahwa reruntuhan-reruntuhan tersebut dibangun oleh umat Buddha," ungkap Charles Walter Kinloch dalam buku Rambles in Java: Pengembaraan di Tanah Jawa (2019).

Lukisan tentang Borobudur karya G.B. Hooijer| Tropenmuseum
Lukisan tentang Borobudur karya G.B. Hooijer| Tropenmuseum
Tak cuma Charles Walter Kinloch. Alfreed Russel Wallace yang mengembara menjelajahi Nusantara untuk memetakan penyebaran flora dan fauna sudah mengaku jatuh hati pada Jawa, khususnya Borobudur. Dalam pada itu, ketika dirinya mulai menjelajahi bumi Nusantara dari 1854 sampai 1862, Alfred Russel Wallace menitikberatkan kunjungan ke Jawa untuk melihat langsung kemegahan Borobudur. Pun Alfred Russel Wallace menyebut Jawa --termasuk Borobudur-- sebagai tempat utama menikmati kemegahan mahakarya para leluhur kaum bumiputra.

Ia menyebut candi itu dibangun di atas sebuah bukit dan terdiri dari sebuah kubah tengah dan tujuh tingkat teras menutupi kaki bukit. Tiap terasnya membentuk serambi terbuka dan dihubungkan dengan anak tangga dan pintu gerbang. 

Selain terdapat ratusan patung, Alfred Russel Wallace menyadari jika dua sisi dinding teras semuanya tertutup relief yang dasar yang diukuir pada batu keras. Relief tersebut dikerjakan sampai mencapai tiga mil. Umumnya relief itu dibagi dua: Relief cerita dan relief non-cerita (ornamen, hiasan, atribut).

Borobudur mulai dikunjungi wisatawan luar negeri| Prentenkabinet Leiden
Borobudur mulai dikunjungi wisatawan luar negeri| Prentenkabinet Leiden
Jika dipelajari dengan seksama, relief-relief menakjubkan itu akan memberikan informasi terkait banyak hal. Relief Borobudur dapat bercerita terkait kejadian alam, teknologi yang digunakan, bentuk bangunan, hingga budaya--termasuk alat musik. Oleh sebab itu, Alfred Russel Wallace berseru bahwa pembangunan Piramida di Mesir nyaris tak ada apa-apanya, dibanding pembangunan Borobudur.

"Agaknya, jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan piramida terbesar di Mesir tidak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan candi --Borobudur-- penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini," tulis Alfred Russel Wallace dalam Mahakaryanya Kepulauan Nusantara (2009).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun