Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat Tuhan

5 Februari 2025   00:23 Diperbarui: 5 Februari 2025   08:07 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://renunganlenterajiwa.com/

Kenalkan, aku Tita dan ini ceritaku.  Cerita tentang terik matahari yang tidak tanggung-tanggung memicu emosi dan semua gundah gulanaku ketika itu.  Ditambah penuh sesaknya ruang tunggu rumah sakit yang membuat rasa lemas semakin menjadi.  Pikiranku kacau seperti hiruk pikuk keluarga pasien yang menemani orang-orang terkasih mereka.  Sementara aku hanya sendiri ditemani sebotol air mineral penghilang dahaga.

"Pasien atas nama Tita," tersentak suara suster membuyarkan lamunan.  Tidak berlama Tita bergegas menuju ruang dokter yang ditunjuk suster.  Tetapi, rupanya tidak pakai lama pula dokter membawa kabar kurang sedap.  "Maaf, disini tidak bisa.  Tetapi coba saja di Dharmais atau RSPAD, saya rasa bisa."  Jelas pak dokter sambil tersenyum coba menyemangati.

"Duhh.....jujur males banget ke RSPAD.  Rumah sakit milik pemerintah yang super lengkap itu jauhnya minta ampun.  Belum lagi macet menuju ke lokasi.   Yuks...yukss...Tita, kamu pasti bisa.  Supaya jelas dan kamu sembuh!"  Suara hati kecilnya ikutan mencoba menghibur pula.

"Wokeh....wokeh.......iya...iya...aku ke sana," Tita bergumam, dan kembali meneguk air mineral yang tinggal sekali teguk itu.  Lalu, hupss....Tita menghempaskan dirinya masuk ke taxi yang membawanya meluncur menuju RSPAD.

Serupa tapi tak sama.  Kondisi di setiap rumah sakit selalu menggambarkan duka.  Setidaknya menurut Tita begitu.  Apalagi dirinya sempat bertemu satu keluarga yang menanyakan ruang bedah.  "Maaf, saya tidak tahu bu.  Saya juga disini sedang mencari informasi."  Jelas Tita kepada seorang ibu yang lumayan berumur itu.  Kasihan sebenarnya, karena kelihatannya ibu tersebut dari luar Jakarta.

"Ooooo...kamu atau keluargamu yang sakit? Cepat sembuh yah nak," katanya pula.  Tetapi begitulah isi rumah sakit.  Di tengah kekalutan dan kesedihan, sering membuat orang menjadi peka dan berempati untuk saling menguatkan.  "Amin, doa yang sama untuk keluarga ibu,"  jawab Tita.

Setelah keliling sana sini dan mengharu biru melihat banyaknya mereka yang memperjuangkan kesembuhan, akhirnya Tita memutuskan melanjutkan ke Dharmais.  Tidak jauh beda, Dharmais bahkan lebih membuat ngilu di matanya.  Tetapi, di rumah sakit ini informasi yang diharapkannya didapatkan.

"Puji Tuhan, mantap!   Terima kasih yah Tuhan.  Selain gretong alias gratis, rumah sakit ini juga sangat dekat rumah."  Bisik Tita dalam hati.   Tetapi kemudian matanya terkunci kepada anak-anak kecil berkepala botak.  Iya, mereka bocah-bocah mungil yang baru saja dikemo.  Demikian kata si ibu menjelaskan, sadar aku mencuri pandang menatapi anaknya.  "Jangan menangis mbak.  Hidup itu harus diperjuangkan sampai titik akhir."  Demikian kata si ibu sambil tersenyum dan menenangkan anaknya.

"Glek.....Tita menelan ludah dan berasa seluruh raganya melayang.  Airmatanya tidak dapat ditahan."   Bagaimana mungkin bocah mungil tersebut ikutan juga memberikan senyum?  Sementara kepalanya nyaris botak dan kulitnya terlihat menghitam membalut tulang-tulangnya yang ringkih.  Tetapi, baik si ibu maupun bocah kecil itu mampu tersenyum?  Menantikan mujizat kesembuhan.  Seperti katanya, hidup harus diperjuangkan.

Hari yang tak biasa.  Seperti halnya ketika dirinya memutuskan pulang dengan taxi kembali.  "Siapa yang sakit mbak?  Hari ini Dharmais penuh sekali yah.  Semoga keluarga mbak cepat sembuh."  Ramahnya si pak supir taxi mencoba membuka percakapan.  Mungkin dilihatnya diriku ini masih terpukul dengan pemandangan mengilukan di Dharmais tadi.

"Bukan keluarga, tetapi saya sedang mencari informasi untuk diri saya sendiri.  Sebelum ke sini, saya juga sudah ke dua rumah sakit berbeda pak.  Tetapi sepertinya saya mendapatkan yang perlu disini, dan saya akan disini saja nanti.  Mau diskusi dengan suami dan keluarga dulu."  Entah kenapa pula selancar ini mulut menjelaskan.  Kemudian Tita tersadar, dan tersadar lagi ketika dari kaca mobil si pak taxi menatapnya.

Perjalanan menuju rumah kemudian diisi dengan berbagi cerita tentang kehidupan.  Hingga tetiba pak taxi tersebut menawarkan dirinya untuk mendoakanku?  "Boleh saya mendoakan mbak nanti?  Di depan rumah mbak nanti, setelah sampai boleh tidak?"  Katanya sambil mengemudi, dan entah kenapa aku jawab boleh.

Singkat cerita, seperti yang dikatakannya.  Maka dengan masih di bangku belakang dan si bapak tersebut di belakang kemudi, dirinya berdoa khusyuk.  Airmata Tita tidak lagi dapat dibendung.  Menangis membasahi seluruh wajahnya, dan merasakan betapa Tuhan menyertainya.

"Mbak, nanti langsung berdoa lagi di kamar yah.  Meski mbak sudah memutuskan untuk ke Dharmais.  Tetapi izinkan rencana Tuhan yang jadi yah mbak.  Bawa seluruh isi hati mbak kepada Dia.  Percaya, tidak sekalipun Dia meninggalkan mbak.  Sekalipun secara dunia mbak terlihat sendiri.  Saya bertemu mbak, juga bukan suatu kebetulan.  Termasuk ketika Dia meminta saya mendoakan mbak.  Maaf, jika saya lancang mendoakan mbak.  Tetapi saya hanya patuh kepada suaraNya.  Cepat sembuh, dan Tuhan memberkati." Jabat tangan si bapak sebelum aku memasuki pagar rumah.

Aku bergegas masuk kamar, dan tersungkur di kakiNya.  "Tuhan, aku tidak tahu berapa banyak hari ini Kau hadirkan malaikatMu untukku.  Orang-orang yang kutemui sepanjang hari ini, aku percaya dihadirkan untuk memberiku kekuatan.  Tunjukkan, dan tuntunlah aku untuk berjalan bersamaMu.  Didalam namaMu aku berdoa."  Isakku menangis sejadi-jadinya.

Aku percaya, aku tidak sendiri.  Aku pasti sembuh dan bersaksi tentang Dia.

Jakarta, 5 Februari 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun