Kenalkan, aku Tita dan ini ceritaku. Â Cerita tentang terik matahari yang tidak tanggung-tanggung memicu emosi dan semua gundah gulanaku ketika itu. Â Ditambah penuh sesaknya ruang tunggu rumah sakit yang membuat rasa lemas semakin menjadi. Â Pikiranku kacau seperti hiruk pikuk keluarga pasien yang menemani orang-orang terkasih mereka. Â Sementara aku hanya sendiri ditemani sebotol air mineral penghilang dahaga.
"Pasien atas nama Tita," tersentak suara suster membuyarkan lamunan. Â Tidak berlama Tita bergegas menuju ruang dokter yang ditunjuk suster. Â Tetapi, rupanya tidak pakai lama pula dokter membawa kabar kurang sedap. Â "Maaf, disini tidak bisa. Â Tetapi coba saja di Dharmais atau RSPAD, saya rasa bisa." Â Jelas pak dokter sambil tersenyum coba menyemangati.
"Duhh.....jujur males banget ke RSPAD. Â Rumah sakit milik pemerintah yang super lengkap itu jauhnya minta ampun. Â Belum lagi macet menuju ke lokasi. Â Yuks...yukss...Tita, kamu pasti bisa. Â Supaya jelas dan kamu sembuh!" Â Suara hati kecilnya ikutan mencoba menghibur pula.
"Wokeh....wokeh.......iya...iya...aku ke sana," Tita bergumam, dan kembali meneguk air mineral yang tinggal sekali teguk itu. Â Lalu, hupss....Tita menghempaskan dirinya masuk ke taxi yang membawanya meluncur menuju RSPAD.
Serupa tapi tak sama. Â Kondisi di setiap rumah sakit selalu menggambarkan duka. Â Setidaknya menurut Tita begitu. Â Apalagi dirinya sempat bertemu satu keluarga yang menanyakan ruang bedah. Â "Maaf, saya tidak tahu bu. Â Saya juga disini sedang mencari informasi." Â Jelas Tita kepada seorang ibu yang lumayan berumur itu. Â Kasihan sebenarnya, karena kelihatannya ibu tersebut dari luar Jakarta.
"Ooooo...kamu atau keluargamu yang sakit? Cepat sembuh yah nak," katanya pula. Â Tetapi begitulah isi rumah sakit. Â Di tengah kekalutan dan kesedihan, sering membuat orang menjadi peka dan berempati untuk saling menguatkan. Â "Amin, doa yang sama untuk keluarga ibu," Â jawab Tita.
Setelah keliling sana sini dan mengharu biru melihat banyaknya mereka yang memperjuangkan kesembuhan, akhirnya Tita memutuskan melanjutkan ke Dharmais. Â Tidak jauh beda, Dharmais bahkan lebih membuat ngilu di matanya. Â Tetapi, di rumah sakit ini informasi yang diharapkannya didapatkan.
"Puji Tuhan, mantap! Â Terima kasih yah Tuhan. Â Selain gretong alias gratis, rumah sakit ini juga sangat dekat rumah." Â Bisik Tita dalam hati. Â Tetapi kemudian matanya terkunci kepada anak-anak kecil berkepala botak. Â Iya, mereka bocah-bocah mungil yang baru saja dikemo. Â Demikian kata si ibu menjelaskan, sadar aku mencuri pandang menatapi anaknya. Â "Jangan menangis mbak. Â Hidup itu harus diperjuangkan sampai titik akhir." Â Demikian kata si ibu sambil tersenyum dan menenangkan anaknya.
"Glek.....Tita menelan ludah dan berasa seluruh raganya melayang. Â Airmatanya tidak dapat ditahan." Â Bagaimana mungkin bocah mungil tersebut ikutan juga memberikan senyum? Â Sementara kepalanya nyaris botak dan kulitnya terlihat menghitam membalut tulang-tulangnya yang ringkih. Â Tetapi, baik si ibu maupun bocah kecil itu mampu tersenyum? Â Menantikan mujizat kesembuhan. Â Seperti katanya, hidup harus diperjuangkan.
Hari yang tak biasa. Â Seperti halnya ketika dirinya memutuskan pulang dengan taxi kembali. Â "Siapa yang sakit mbak? Â Hari ini Dharmais penuh sekali yah. Â Semoga keluarga mbak cepat sembuh." Â Ramahnya si pak supir taxi mencoba membuka percakapan. Â Mungkin dilihatnya diriku ini masih terpukul dengan pemandangan mengilukan di Dharmais tadi.
"Bukan keluarga, tetapi saya sedang mencari informasi untuk diri saya sendiri. Â Sebelum ke sini, saya juga sudah ke dua rumah sakit berbeda pak. Â Tetapi sepertinya saya mendapatkan yang perlu disini, dan saya akan disini saja nanti. Â Mau diskusi dengan suami dan keluarga dulu." Â Entah kenapa pula selancar ini mulut menjelaskan. Â Kemudian Tita tersadar, dan tersadar lagi ketika dari kaca mobil si pak taxi menatapnya.
Perjalanan menuju rumah kemudian diisi dengan berbagi cerita tentang kehidupan. Â Hingga tetiba pak taxi tersebut menawarkan dirinya untuk mendoakanku? Â "Boleh saya mendoakan mbak nanti? Â Di depan rumah mbak nanti, setelah sampai boleh tidak?" Â Katanya sambil mengemudi, dan entah kenapa aku jawab boleh.
Singkat cerita, seperti yang dikatakannya. Â Maka dengan masih di bangku belakang dan si bapak tersebut di belakang kemudi, dirinya berdoa khusyuk. Â Airmata Tita tidak lagi dapat dibendung. Â Menangis membasahi seluruh wajahnya, dan merasakan betapa Tuhan menyertainya.
"Mbak, nanti langsung berdoa lagi di kamar yah. Â Meski mbak sudah memutuskan untuk ke Dharmais. Â Tetapi izinkan rencana Tuhan yang jadi yah mbak. Â Bawa seluruh isi hati mbak kepada Dia. Â Percaya, tidak sekalipun Dia meninggalkan mbak. Â Sekalipun secara dunia mbak terlihat sendiri. Â Saya bertemu mbak, juga bukan suatu kebetulan. Â Termasuk ketika Dia meminta saya mendoakan mbak. Â Maaf, jika saya lancang mendoakan mbak. Â Tetapi saya hanya patuh kepada suaraNya. Â Cepat sembuh, dan Tuhan memberkati." Jabat tangan si bapak sebelum aku memasuki pagar rumah.
Aku bergegas masuk kamar, dan tersungkur di kakiNya. Â "Tuhan, aku tidak tahu berapa banyak hari ini Kau hadirkan malaikatMu untukku. Â Orang-orang yang kutemui sepanjang hari ini, aku percaya dihadirkan untuk memberiku kekuatan. Â Tunjukkan, dan tuntunlah aku untuk berjalan bersamaMu. Â Didalam namaMu aku berdoa." Â Isakku menangis sejadi-jadinya.
Aku percaya, aku tidak sendiri. Â Aku pasti sembuh dan bersaksi tentang Dia.
Jakarta, 5 Februari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI