Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Soroti Flexing dan Hedonisme Jadi Gaya Hidup

16 Maret 2023   14:54 Diperbarui: 16 Maret 2023   15:12 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://theconversation.com/

Kecanggihan teknologi tidak terhindarkan pasti ada plus dan minusnya.  Betapa tidak kini media sosial pun ibarat ajang unjuk diri.  Mereka yang berasal dari kalangan bergelimang harta berlomba memperlihatkan harta kekayaan dan kemewahannya.  Perilaku yang kini menjadi ramai dan  dikenal dengan sebutan flexing.  Di mana flexing sendiri merupakan kata slang dari perilaku yang merujuk pada sifat pamer.

Tragisnya, kemewahan yang dipertontonkan justru "dinikmati" oleh kalangan yang kekurangan.  Terlepas dari reaksi yang datangnya beragam.  Tetapi yang pasti kepo, yang merupakan singkatan dari Knowing Every Particular Object selalu berhasil membuat rasa penasaran.

Kemudian ibarat mata uang, perilaku flexing ini lekat dengan memamerkan hedonisme kekayaan yang notabene berupa hasrat duniawi.  Umumnya tidak lain untuk sebuah pembuktian kredibilitas.  Sebagai contohnya, seseorang yang memamerkan mobil mewahnya yang berbaris, ataupun gaya hidupnya yang dalam satu kedipan mata bisa pindah antar negara karena memiliki jet pribadi misalnya.  Sehingga diakui atau tidak, prilaku ini ada kesan memiliki maksud terselubung agar mendapat validasi dari netizen atau lingkungan sekitar berupa 'title 'sultan' atau 'crazy rich'.

Adapun gaya hedonisme yaitu pandangan hidup bahwa kesenangan adalah segalanya.  Sehingga bagi kaum hedonis, hidup adalah meraih kesenangan materi: sesuatu yang bersifat semu, sesaat, dan artifisial.  Maka tidaklah heran kaum hedonis identik dengan berfoya-foya dan hura-hura.  Mereka ini umumnya berasal dari kalangan menengah keatas, karena dalam melampiaskan kesenangannya membutuhkan uang sangat banyak, dan mereka tidak terlalu mempedulikannya.  Intinya, terpenting bagi penganut hedonisme ini adalah kesenangan duniawi.

Lalu apakah pamer kemewahan atau flexing salah?  Apakah hedonis salah?  Bukankah itu haknya karena anggaplah itu pencapaiannya.  Ehhmmm..... semua berpulang kepada pilihan masing-masing.  Sebab sebenarnya fenomena ini sudah ada sejak lama.  Hanya saja beda kemasan, dan tingkat keparahannya tidaklah seakut sekarang.  Tidak lain ini dikarenakan kesaktian media sosial sehingga jangkauannya lebih luas, dan kemasannya lebih hidup.

Katakanlah dulu, dan bahkan sampai sekarang.  Jamak di antara tetangga ataupun komunitas saling unjuk diri.  Sehingga memancing komentar, "Duhhh....lihat deh, si A sekarang mobilnya sudah ada 4.  Baru-baru ini mereka nambah Alphard loh!  Padahal belum lama mereka sekeluarga baru saja jalan-jalan keliling eropa.  Ehhhmm...kira-kira suami atau istrinyakah yang pendapatannya selangit?"

Wow..... bukan sekali dua kali komentar seperti ini bikin panas telinga.  Tragisnya, ada orang yang menjadikan hal seperti ini sebagai takaran kesuksesan atau keberhasilan.  Lalu berujung tak lama kemudian ada yang auto panas ikut unjuk diri pamer.

Nah, apalagi kini dengan keberadaan media sosial yang semakin lepas kendali.  Kehidupan "sukses" yang ditampilkan di media sosial justru memicu budaya konsumtif.  Tidak hanya untuk mereka yang harusnya lebih bijak berpikir.  Tetapi golongan muda juga terikut terjebak dalam prilaku konsumerisme.  Ngerinya, berlahan prilaku ini menghilangkan daya pikir, logika, nalar, dan analisis.   Lanjut berujung hilangnya generasi yang pandai, idealis, kritis, dan dapat memberi solusi atas permasalahan yang timbul.  Kenapa?  Tidaklah lain dikarenakan dibuai oleh mimpi dan kemewahan orang lain!  Tragis khan, gaya hidup orang lain justru merusak diri sendiri?

Padahal sebenarnya flexing, prilaku memamerkan kehidupan mewah cenderung menandakan orang yang bersangkutan memiliki perasaan jiwa yang sedang tidak baik dalam kesehariannya.  Sedangkan gaya hidup bermewah-mewah penganut hedonism tidak lain demi mengejar pleasure atau kesenangan.  Di mana hedonis muncul karena keinginan ingin mengurangi rasa sakit dalam jiwanya misal rasa kelelahan jiwa, kehilangan makna hidup, rasa bersalah, kebutuhan diakui eksistensinya, dan lain-lain yang muncul.  Mereka cenderung memaksimalkan perasaan-perasaan menyenangkan.agar terhindar atau terlupa dari hal-hal yang menyakitkan jiwanya.

Sekarang, mari kita melihat yang terjadi di tengah masyarakat.  Bukan rahasia lagi semakin banyak yang terhipnotis ikutan pamer, dan terjurumus menjadi hedon.  Rasanya gatal kalau tidak memiliki brand tas dari merek tertentu.  Enggak cukup satu, diikuti dengan yang kedua dan berikutnya.  Meski bisa saja hanya karena lapar mata, dan demi bisa unjuk diri di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun