Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nama dan Kenangan

10 Maret 2021   01:06 Diperbarui: 10 Maret 2021   01:09 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://karyapemuda.com/

Kehilangan adalah salah satu kata yang menakutkan.  Rasanya sih tidak ada satu orangpun yang siap, apapun bentuk kehilangannya itu. Termasuk aku, yang harus beruntun merasakan kehilangan di masa pandemi ini.

Mungkin aneh terdengar, tetapi mereka yang pergi tidak semuanya aku kenal dengan baik.  Mereka adalah cerita dan nama-nama yang sangat akrab di telingaku.  

Bisa jadi, mereka juga mengenalku lewat nama.   Di salah satu artikelku terdahulu pernah aku katakan, mereka adalah orang tua murid yang menjadi sahabat anak-anakku.

Kamu tahu diary, dua minggu lalu secara beruntun aku dipaksa berduka.  Ayah dari sahabat anakku dipanggil oleh Dia pemilik bumi ini.  Aku tidak mengenal sosok yang pergi, tetapi aku mengenal baik orang tuanya.  

Dia adalah seorang opa berusia 70 tahun lebih yang dengan telaten mengurus cucunya sejak usia TK.  Kami berteman sangat dekat, seperti juga cucunya yang menjadi teman putriku.  Anaknyalah yang pulang ke rumah Bapa di surga, Covid yang merengutnya.

Belum hilang rasa kagetku merasakan kepedihan si opa, seminggu kemudian kabar duka kembali datang.   Kali ini si oma yang dipanggil pulang olehNya.  Belahan jiwa opa yang aku tahu begitu dicintainya.  

Masih aku ingat bagaimana dulu opa selalu bercerita penuh cinta tentang istrinya yang jago masak itu.  Bahkan pernah beberapa kali aku ikut merasakan kue buatan oma yang khusus dibawakan opa untuk kedua anakku.  Iya, Covidlah yang kembali merengut orang-orang terkasih dari sisi opa hanya dalam waktu 2 minggu.

Apa yang terjadi pada keluarga opa adalah satu diantara cerita airmataku.  Sebulan sebelumnya beruntun kabar duka mengganggu telingaku, dan sangat menusuk hatiku.  Mereka juga pergi karena Covid.  Pandemi yang merampas paksa cinta dari keluarga yang ditinggalkan.

Kamu tahu diary, airmataku menetes untuk nama-nama yang pergi.  Bayangan tentang mereka kembali terlintas di benakku.  

Sebulan lalu kira-kira, aku bercakap via WA dengan salah satu orang tua di kelas putriku.  Urusan kelas yang membuatku harus menghubunginya, karena kebetulan aku koordinator kelas (korlas).

"Iya, mama ... (sambil menyebutkan nama putriku), terima kasih infonya.  Maaf tidak bisa langsung jawab karena saya sedang sakit." Begitu katanya yang aku tidak pernah membayangkan 3 minggu kemudian sosoknya berpulang karena Covid.  Beribu penyesalan membuatku sesak.  Kenapa aku tidak ngotot mencari tahu sakit apa.  Kenapa aku hanya puas dengan jawaban, "Sakit biasa, doakan cepat sembuh saja yah, saya pasti sembuh."

Sama seperti pagi tadi, ketika kembali kabar duka itu datang menghampiri.

Cerita tentang seorang ibu yang tidak pernah aku kenal sebelumnya kecuali nama. Itu pun hanya nama tanpa cerita sama sekali.  Tetapi menjadi berbeda karena aku pernah satu kali bercakap via telepon dengannya sekitar 6 bulan lalu.

Kebetulan aku juga korlas di kelas si bungsu yang berbeda sekolah dari kakaknya.  Kembali, korlas membuat aku sesekali harus berkomunikasi dengan orang tua warga di kelas kami.  Di satu kondisi mengharuskanku menghubungi ibu ini lewat anaknya. 

"Wah...jadi merepotkan ini mamanya ....(menyebutkan nama putraku).  Iya, hape saya jadul.  Hanya bisa untuk ngomong doang..  Tidak apa-apa yang penting hape anak bisa WA an.  

Nggak apa-apa saya tidak di group orang tua, yang penting anak saya bisa ikut group anak.  Anak saya bisa belajar, bisa pintar.  Saya sih cari duit aja, bu."

Percakapan polos itu untukku begitu menyentuh. Cara bicaranya yang apa adanya mengandung mimpi untuk anaknya.  Lalu kami tertawa bersama, caraku sebenarnya menutupi haru.

"Ada apa-apa, bilang ke anak saya aja bu.  Saya mah bukan siapa-siapa, tidak ngerti.  Makanya anak disekolahin.  Biar nggak susah kayak orang tuanya."  Begitu pesannya tulus yang aku ingat menutup pembicaraan.

Diary, suara dan mimpi ibu ini kembali terngiang di pikiranku.  Begitu jelas suaranya yang menaruh mimpi untuk putri yang dicintainya.  Kini semua berakhir ketika Tuhan memanggilnya pulang.

Pandemi telah menghancurkan begitu banyak mimpi, dan begitu banyak cinta.

Kemarin dua sahabatku bertanya, kapan pandemi berakhir.  Tidak ada jawaban yang pasti.  Tetapi kehilangan mengajarkanku untuk menghargai setiap detik yang kita miliki.  Menghentikan gerutu dan kecewa.  Menggantinya dengan cinta, maaf dan bersyukur.

Kita tidak tahu kapan ini berakhir.  Seperti kita tidak pernah tahu kapan kita masih bersama dengan sahabat, keluarga dan kerabat yang kita cintai dan mencintai kita.  Kita hanya tahu kemarin dan hari ini, bukan besok.

Bercerita kepadamu diary, caraku mengabadikan semua yang kumiliki.  Mereka yang pergi, yang kini nama dan kenangan mengajarkanku untuk mensyukuri apa yang aku miliki saat ini.

Selamat malam diary, kamu kertasku yang tak bergaris.

Jakarta, 10 Maret 2021

Teruntuk nama-nama yang telah pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun