Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Aku dan Guru Anakku Sama Belajar

25 November 2020   02:11 Diperbarui: 25 November 2020   02:23 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru adalah sosok yang mulia. Mereka bukan sekedar mengajari atau memberi ilmu, tetapi juga membentuk anak-anak kita menjadi manusia utuh yang berbudi pekerti.

Menjadi orang tua dari 1 atau 2 orang anak saja sudah bikin kepala puyeng.  Bandingkan dengan guru yang harus mengajar dan bertanggungjawab untuk kurang lebih 30 anak dalam satu kelas.  Bayangkan jika guru bersangkutan memegang beberapa kelas. Hiks...rasanya keluh kesah dan kekesalan kita tidak ada artinya dengan pengabdian mereka.

Tahun ajaran 2020 menjadi sangat spesial terkhusus untuk negeri kita Indonesia. Pandemi Covid memaksa dunia pendidikan untuk belajar cepat menggunakan teknologi. Era digital yang dulu hanya gaung nyaring, kini dipaksakan untuk menjadi bagian dari keseharian kita.

Mengenai kesulitan itu sudah pasti. Bukan hanya kondisi ekonomi rakyat Indonesia yang masih belum memadai, juga kondisi geografis negeri ini yang membuat akses internet menjadi barang mahal. Tetapi ternyata tidak hanya itu, karena guru sebagai tiang pendidikan pun mempunyai kesulitannya tersendiri. Berbagai kendala ini begitu kompleks, tetapi pendidikan harus terus berjalan.

Yup, faktanya tidak semua tenaga pengajar negeri ini melek teknologi.  Banyak dari mereka masih sangat tertinggal.  Inilah yang kemudian menjadi kendala terbesar salah satunya, kebiasaan mengajar konvensional tatap muka membuat jarak antara guru dan peserta didik.  Jika sudah demikian siapa yang berteriak? Yup, suara orang tua paling nyaring karena khawatir anaknya ketinggalan pelajaran.

Saya pribadi memiliki pengalaman, ketika menurut saya dengan seenaknya guru memberikan materi di masa pandemi ini tanpa ada proses mengajar.  Lalu anak-anak kelimpungan untuk mengerjakan soal yang mereka tidak pernah diajarkan oleh gurunya.

Ini belum lagi hambatan penggunaan aplikasi karena tidak semua guru mengerti menggunakan Google Classroom, Google meet ataupun Google Drive yang umum digunakan di masa pandemi ini.  Banyak dari mereka memilih menggunakan WhatsApp untuk mengirimkan materi, dan demikian juga mengumpulkan tugas. 

Nah, bayangkan betapa semrawut dan besarnya memori yang harus dimiliki setiap anak.  Padahal untuk memiliki gadget saja tidak semua anak mampu.  Konon lagi berharap gadget dengan memori besar.

Jujur ini menjadi "pertengkaran" saya yang kebetulan orangtua dari 2 anak, dan dipercaya menjadi Wakil Orang Tua Kelas (WOTK) di sekolah anak-anak. Sedih dan merasa nggak berdaya setiap kali melihat anak menjerit karena tidak mengerti tugasnya, ataupun disudutkan gurunya karena tidak mengumpulkan tugas. Padahal mereka sudah mengumpulkan, tetapi teknologi tidak menjamin tidak ada kemungkinan eror. Ujungnya pada banyak kasus anak yang selalu dipersalahkan.

Masukan dan saran terus saya berikan kepada pihak sekolah.  Mengerti dan paham banget mereka dipaksa untuk pintar dalam sekejap demi anak-anak didiknya yang ternyata lebih pintar dan canggih dalam berteknologi.

Tetapi tetap anak adalah prioritas dalam dunia pendidikan.  Tanpa mengurangi rasa hormat, adalah tanggung jawab sekolah beserta tenaga pengajarnya untuk menciptakan dan menghadirkan cara mengajar yang berkualitas demi melahirkan generasi cerdas. 

Mengenai pandemi adalah tantangan untuk semua orang.  Anak tidak seharusnya menjadi korban ataupun dikorbankan, apalagi di dalam dunia pendidikan.  Demikian suara nyaring saya yang pedas nyelekit.  Saya bahkan dijuluki pendengung karena kerap menekan agar sekolah memperhatikan kemampuan teknologi guru.

Saya mencoba paham kesulitan guru mengejar teknologi dikarenakan banyak dari mereka sudah berumur.  Berbeda dengan guru muda yang tentunya tidak kaget dengan teknologi.  Ironisnya ada berapa banyak guru muda dalam sekolah?  Ini bukan pembenaran untuk guru tidak ngebut mengejar ketertinggalan karena masa depan peserta didik menjadi pertaruhannya.

Hingga pada suatu titik saya tersentuh oleh perkataan wali kelas anak saya sendiri. "Ibu, jika ibu tidak keberatan bisa bantu saya menggunakan gadget. Kata anak-anak, saya gaptek bu. Jujur saya kasihan melihat mereka kalau karena saya mereka jadi tertinggal. Kami sudah mendapatkan pelatihan di sekolah. Tetapi bahasanya sulit bu. Mungkin bahasa ibu menjadi lebih mudah untuk saya pahami"

"Daarrr!!" kata-kata wali kelas anakku ini nyentuh banget dan membuat saya terdiam. Kata-kata yang diucapkan lewat percakapan telepon mengenai kebingungannya.

Tidak pernah terpikirkan oleh saya, ada seorang guru yang begitu jujur dan rendah hati mengakui kekurangannya di hadapan orang tua muridnya.

Ini adalah pengalaman pribadi saya, dan sejak itu kami bersahabat.  Di beberapa kesempatan jika guru bersangkutan ini mengalami kesulitan menggunakan aplikasi mengajar maka tidak sungkan ibu guru ini menelpon saya.

Di lain sisi saya juga belajar memahaminya.  Tidak mudah bagi seorang guru ketika pandemi memaksa mereka harus menyiapkan cara mengajar yang baru.  Mereka harus membuat sendiri video presentansi untuk mengajar semenarik mungkin agar anak senang belajar.  Dilain pihak mereka juga harus memeriksa satu persatu tugas yang dikirimkan anak lewat Google Classroom.

Belum lagi mengatasi anak bermasalah yang sering absen atau ketiduran di saat PJJ. Menegur orang tua si anak untuk memperhatikan juga bukan pilihan bijak karena banyak dari mereka bekerja di luar rumah, atau harus memprioritaskan ekonomi di saat sulit ini.

Inilah beban yang menumpuk seorang guru di masa pandemi ini. Ribuan kali beratnya ketimbang belajar tatap muka.

Salam hormat dan salut saya kepada mereka yang memberikan hidupnya untuk menjadi guru.

Selamat Hari Guru untuk seluruh guru di negeri ini.

Jakarta, 25 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun