Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Berhenti Berharap

8 September 2020   01:49 Diperbarui: 8 September 2020   02:03 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://www.lampost.co/

Semua berjalan seiring waktu, seperti juga ketika putraku kembali berkumpul dengan kami keluarga yang mencintainya.  Tetapi apakah semua selesai?  Tidak!

Obat yang dikonsumsi putraku membuatnya lambat menerima pelajaran di kelas.  Meski ketika balik ke belakang, putraku ini cepat pertumbuhannya.  Di usianya 14 bulan sudah bisa berjalan dan berbicara lancar.  Padahal ketika itu masa sering sakit.

Merasa kecil hati, putraku sering bertanya, "Mama, kenapa aku tidak sepintar kakak?  Mama, aku mau pintar ma.  Aku mau jadi dokter, supaya tidak ada anak yang suka sakit seperti aku,"  Ibu mana yang tidak hancur mendengar mimpi anaknya, walau aku berusaha kuat untuknya.

Saat itu di usianya kelas 1 SD, datang pada Tuhan aku berkata tolong aku.  Dengan keyakinan dan tekad bulatku, aku melepaskan anakku dari obat tersebut.  Memilih memikul tanggungjawab penuh memperhatikan semua yang dimakannya, dan semua yang membahayakan kesehatannnya.  Aku juga mengkonsultasikan ini ke dokter, dan berembuk dengan gurunya di sekolah.

Singkat cerita, mulai kelas 2 SD anakku lepas dari obat.  Total hariku berada di sekolah dari pagi hingga bubar sekolah demi memastikan semua berjalan aman. Sesekali ada hal ngeri yang terjadi, tetapi Tuhan yang Maha Kasih itu izinkan aku membuktikan bahwa aku rela melakukan apapun untuk putraku ini.

Puji Tuhan, dengan dukungan guru dan teman-teman SD dapat dituntaskannya dengan luarbiasa.  Putraku lulus masuk 10 besar, selain juga catatan prestasinya juara Taekwondo antar sekolah.

Tetapi jalan cerita belum selesai, karena dirinya tumbuh menjadi anak yang kritis.  Sebagian orang mengiranya iseng, badung dan nakal hanya karena berani berpendapat.  Inilah yang terjadi di usia SMP label anak nakal seolah melekat padanya.  Padahal sikapnya dikarenakan jika diperlakukan tidak adil oleh lingkungan.

Heheh..sebenarnya akulah yang mengajarinya bersikap demokrasi, berani berpendapat pada siapapun.  Tentang gaya cueknya, itu karena aku mau dirinya menikmati hidup tanpa beban tapi bertanggungjawab.  Pada akhirnya semua bisa memahami, ketika dengan besar hati aku menyampaikan ini kepada pihak sekolah.  Kembali, putraku menyelesaikan 3 tahun SMP nya dengan catatan prestasi dan diterima di SMA negeri favorit.

Inilah cerita panjangku, hadiah ulang tahun ke 15 untuk putraku.  Terima kasih dek untuk pelajaran dan cinta kepada kepada mama.  Doa mama selalu, kiranya Tuhan izinkan adek menjadi dokter anak.  Supaya bisa menolong anak-anak agar tidak sakit, begitu katamu dek.  Terima kasih Tuhan untuk kepercayaan yang Kau berikan.

Apakah mukjizat itu ada?  Bagiku ya, Amen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun