Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Berhenti Berharap

8 September 2020   01:49 Diperbarui: 8 September 2020   02:03 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://www.lampost.co/

Mendapati panasnya di angka 39 derajat, lalu segera penulis memasukan obat step dari dubur.  Tetapi, kaget luarbiasa karena yang terjadi adalah kejang-kejang dan kembali mulut dikatup dengan bola mata yang kali ini terbalik.  Spontan dengan apa yang penulis pahami, jari tangan ini aku masukan ke mulutnya.  Sementara suami yang kebetulan berada di rumah menjerit meraung memanggil nama si bungsu.

Apakah aku menangis?  Tidak, aku tidak menangis tetapi hatiku hancur.  Aku raih putraku dan kugendong dalam dekapanku.  Berdua kami berlari membawa kencang mobil menuju klinik terdekat.

Di bangku belakang mobil itu tidak ada aimataku yang menetes.  Tetapi mulutku memanggil namanya untuk menyebutkan (maaf) Jesus, Jesus sebagai nama Tuhan sesuai iman kami.  "Panggil Jesus dek, panggil Jesus, " begitu aku memintanya sambil terus mendekap erat dalam pelukanku.  Hancur, hancur hatiku mendekap tubuhnya yang telah lemas dan bola mata yang sudah putih semuanya.  Sementara suamiku meraung sejadinya sambil menyetir mobi, membayangkan mimpi buruk yang mungkin terjadi.

Tuhan luar biasa, berlahan mulut kecil itu bergerak dan aku mendengar, "Sus.., Jesus..Jesus..mama," itu katanya lirih.  Lalu mata itu berlahan bergerak, walau tubuhnya masih ku rasa lemas.

Berlari aku membawanya masuk ke ruang klinik yang kerap merawatnya saat kondisi darurat selama ini.  Ketika itu dokter segera menusukkan jarum di kaki putraku.  Semetara aku dimintanya untuk terus memanggil kencang nama putraku dan menampar pipinya sekeras yang aku bisa.  Kenapa?  Menurut kedokteran diharap ini untuk membangkitkan kesadarannya.

Benar, setelah beberapa lama kami mendengar suara tangis kecil.  Tetapi dokter memintaku menampar si kecil lebih kencang dan terus memanggilnya.  Hal yang sama jarum itupun ditusukkan dokter ke telapaknya lebih sering.  Tak lama suara itu pun pecah, tangis putraku pecah memenuhi ruangan!  Puji Tuhan, putraku kembali!  Aku menjerit, dan suamiku juga menjerit memeluknya.  Kembali, setelah itu kami membawanya untuk dirawat di rumah sakit, "berlibur" itu kataku kepada si bungsu.  Aku tahu dia begitu membencinya karena harus diinfus nantinya.

Tahun demi tahun kondisi ini harus aku hadapi.  Termasuk ketika dokter mengharuskan anakku mengkonsumsi obat seumur hidupnya.  Menurutnya, obat ini diberikan karena anakku sering step, dan ini untuk membuat syaraf di otaknya tidak gampang terpicu akibat panas tinggi.  Ibaratnya step itu seperti aliran listrik ke otak, begitu penjelasannya.

Satu kenyataan pahit, ketika itu ada kemungkinan putraku akan terganggu daya tangkapnya akibat step.  Sebagai ibu, aku dituntut kebesaran hati dan tentunya kesabaran lebih dan lebih lagi.  Maka hari-hari pun kami lalui dengan si bungsu mengkonsumsi obat tersebut dan terus memberikan motivasi.  Tetapi bukan berarti semua aman, karena "bermain" nyawa pun kembali aku harus hadapi ketika tanpa terdiagnosa ternyata putraku DBD.

Naluri ibulah yang membawaku ngotot agar si kecil dirawat, meski 4 hasil laboratorium ternama menunjukkan tidak ada gejalan DBD.  Aneh?  Tetapi itulah faktanya, seperti fakta bahwa naluri ibu lebih jujur dari hasil laboratorium sekalipun.

Setelah aku dengan paksa meminta putraku dirawat, ketika keesokan harinya dokter kunjungan datang segera meminta putraku masuk ICU.  Mendapatinya dipasangi kabel-kabel di sekujur tubuhnya, beberapa detik kemudian dengan mataku sendiri melihatnya shock kejang-kejang, sebelum akhirnya drop.

Airmata?  Ya, airmataku kali ini mengucur deras.  Aku tidak mau kehilangannya Tuhan itu bisikku tersungkur di dalam ruang tunggu ICU bersama orang tua lainnya yang juga sedang memperjuangkan hidup anaknya.  Dari mereka aku belajar banyak, bahwa ibu adalah tiang doa.  Jadi kita harus kuat, begitu nasehat mereka yang menguatkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun