Mohon tunggu...
Destyan
Destyan Mohon Tunggu... Wartawan -

Individu yang 'banting stir' dan kemudian dihadapkan pada fakta bahwa stir tersebut ternyata 'patah'. Lantas berimprovisasi dengan pedoman "As long as the wheels still moving forward, then it still count as a go..." Bisa dilacak keberadaannya di http://bit.ly/1mTP9I5

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Teror Santoso vs Teror "Zaman", Ngeri Mana?

13 Mei 2016   08:55 Diperbarui: 13 Mei 2016   09:15 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: suara.com

Akhir Maret lalu, beredar gambar kawanan teroris Poso kelompok Santoso di media online nasional. Disebutkan, foto-foto tersebut didapat selama hasil operasi Tinombala.

Sepintas, andai tak ada keterangan yang menyertai, foto tersebut persis kegiatan sekelompok pencinta alam level mahasiswa yang bangga bisa naik gunung.

Wajah-wajah yang tertangkap kamera pun tak mencirikan ideologi garis keras. Rata-rata, umurnya masih tergolong “belia”.

Di antara foto-foto tersebut, beberapa gestur “sadar kamera” seolah menegaskan jika mereka tak jauh berbeda dengan generasi Y lainnya. Belum sepenuhnya larut terbius oleh ideologi.

Yang turun menyerah karena perut lapar pun sama. Dalam dekapan aparat, wajah mereka tak lebih dari gambaran seorang “bocah”.

Tetap berbahaya? Tentu saja, bahkan batu besar yang dipegang anak kecil pun kerap bikin kita ciut dan mundur, apalagi senjata api mematikan.


Kalau boleh menduga, tampaknya mereka sekadar “ikut-ikutan”, namun tak sadar risiko perbuatan. Bisa jadi, rasa keroncongan baru efektif membuat mereka rindu orang tua.

Melihat foto-foto tersebut membuat kita sepintas ingat masa kecil. Gembira, main perang-perangan di halaman belakang rumah. Bedanya, kala capek berlarian, makanan (mungkin) sudah tersedia untuk langsung dilahap di meja makan.

Mungkin saja, bagi mereka, seiring pertambahan usia euforia tersebut tak putus dan malah berlanjut hingga masa dewasa.

Yang positif tentu melanjutkan cita-cita dengan bergabung bersama elemen pertahanan dan keamanan atas dasar pengabdian kepada Tanah Air.

Yang salah kaprah tapi masih ingin terlihat gagah, bisa jadi lantas terbujuk ikut main “perang-perangan” bersama Santoso.

Faktornya tentu beraneka ragam, mulai dari kondisi geografis, sosiologis, salah pergaulan, edukasi rendah hingga kegagalan seorang pribadi dalam mengaktualisasikan diri.

Latar belakang dan kondisi ekonomi lantas kerap jadi kambing hitam.

Uniknya, entah kenapa, dari kondisi yang sama, selalu ada individu-individu lain yang muncul ke permukaan dan melahirkan tepuk tangan.

Alih-alih sibuk “neror”, individu-individu tersebut bikin kagum lewat ide sederhana yang sangat berguna. Contohnya, dari pedesaan terpencil muncul inovasi tenaga matahari, bensin air, kerajinan tangan, dan lain-lain.

Tentu timbul pertanyaan, dari input kondisi yang relatif sama, kenapa berujung output individu yang sangat berbeda?

Lagi-lagi, tinjauan skala terkecil, yaitu pribadi individu masing-masing menjadi yang paling menarik untuk ditelaah.

Manusia tentu bersifat kualitatif sehingga tak ada rumus pastinya untuk dipukul rata secara kuantitatif.

Bagi beberapa orang, kesempatan menggeber sepeda motor di jalan raya mungkin jadi level aktualisasi tertingginya. Lewat pecicilan, dirinya berharap jadi pusat perhatian. Sedangkan bagi individu lainnya, sejuta apresiasi atas karya nyatanya bisa jadi tak lantas membuat jemawa.

Iman adalah kewajiban insan beragama, sedangkan pola pikir menjadi hal yang menentukan dalam kehidupan di dunia.

Seseorang yang tersandung hukum, tak jarang disebabkan oleh pola pikir yang pendek. Sebaliknya, pola pikir panjang kerap membatalkan niat seseorang untuk berbuat jahat.

Individu yang punya niat mencuri, bukan tak mungkin langsung mengurungkan niatnya kala membayangkan vonis hukum yang akan dijatuhkan kepadanya kala tertangkap. Sedangkan orang yang tak berpikir panjang, hanya sebatas sibuk pada bagaimana melancarkan aksinya.

Oleh sebab itu, kala tertangkap atau dituntut pertanggungjawaban, tak jarang kita lihat para pesakitan sesenggukan menangis dan mengobral kata-kata menyesal. Lagi-lagi, mungkin saja sewaktu berniat jahat dahulu tak terbayang akan ada konsekuensi yang ditanggung.

Dari contoh tersebut, seharusnya cukup melegakan, karena latar belakang yang “kurang mendukung” nyatanya tak selalu berbanding lurus dalam pembentukan pribadi manusia.

Faktanya, para penggila narkoba pun tak jarang justru berasal dari kalangan orang kaya, yang logikanya tak terhambat sumber daya andai mau berinvestasi untuk memajukan dirinya.

Santoso bisa jadi seorang militan tulen, “penyelesaiannya” tentu butuh campur tangan profesional aparat keamanan. Sedangkan yang paling memprihatinkan tentu menyaksikan polah generasi “ikut-ikutan” di belakangnya.

Hal ini seolah mempertegas bahwa jumlah generasi muda Indonesia yang “not certified” masih lebih besar populasinya dibandingkan insan-insan kreatif yang Alhamdulillah kini juga terus merangkak naik angkanya.

Digempur Zaman

Jujur saja, kala ditanya seorang kawan warga negara asing, agak susah untuk menjawab apa yang jadi ciri khas generasi muda Indonesia modern?

Nyatanya, budaya Barat, India, Turki, Korea dan lain-lain malah banyak digemari di dalam negeri. Sisi positifnya dicontoh, namun celaka, yang negatifnya pun turut dipraktikkan.

Lebih memprihatinkan, pengemasan acara-acara yang berciri khas Indonesia oleh beberapa oknum media atau dunia hiburan malah terkesan jadi merendahkan budaya itu sendiri.

Wajar saja, generasi muda Indonesia yang kurang berpendirian jadi bingung dan lantas linglung untuk bersikap. Tak ayal, beberapa terbujuk ikut Santoso main “perang-perangan”.

Selalu ada harapan positif untuk masa depan Indonesia, walau di sisi lain, oleh pihak yang berbeda jelas terasa upaya untuk menggerus identitas negeri lewat bungkusan-bungkusan “banyolan” tak mendidik.

Ibarat gas, bentuknya kasat mata, sulit dideskripsikan wujudnya, namun jelas-jelas terendus masuk indra penciuman kita.

Memerangi terorisme jelas bukan pekerjaan rumah satu-arah. Kala pemerintah bertekad membabat habis unsur ekstrimisme, rakyat nyatanya telah setiap hari diteror dalam bentuk lain. Teror dunia maya atau layar kacar yang “menghibur” namun jelas-jelas mencederai intelegensi nasional.

Entah apa yang merasuki Santoso muda, sehingga di masa dewasanya, tindak tanduknya kini ibarat lonceng teror. Ada yang bilang idealisme ngawur, ada pula yang mengatakan salah berpedoman.

Semua pasti sepakat, aksi kekerasan terorisme bikin ngeri, tapi bentuk terorisme lain oleh si “kasat mata” yang kini merajai kehidupan kita sehari-hari jelas sudah pada tingkat was-was.

Jika Santoso muda jadi “keras” karena asupan ideologi yang masuk ke otaknya, sebaliknya, bisa dibayangkan pula seperti apa pula nanti bentuk adik-adik kita yang tiap hari dicekoki hal-hal tak mendidik di layar kaca, dunia maya dan lain-lain.

Belum lama, sang gadis belia Yuyun pun jadi korban. Selidik punya selidik, walau jauh dari "peradaban", para pelaku simbol kebejatan manusia tersebut nyatanya telah terpengaruh konten pornografi yang "mulus terhidang" di ponsel mereka. 

Zaman jelas berubah. Roda perputarannya tak mungkin bisa diperlambat, apalagi dihentikan. Ibarat rumah, zaman digital membuat kita tak lagi punya pagar, jendela, ataupun pintu yang bisa "ditutup".

Jika beberapa waktu lalu para sopir taksi reguler yang merasa terancam kehilangan pendapatan akibat zaman digital, pemerkosaan yang marak mungkin jadi bukti, giliran warga pedalaman yang jadi "korban" penetrasi tanpa batas teknologi modern. 

Bagi beberapa orang tua yang sadar situasi ini, ada yang lantas mendidik anaknya untuk jauh dari televisi dan dunia maya. Reaksi orang tua tentu wajar, ingin memproteksi si buah hati dengan cara yang dianggap paling riil.

Seolah-olah, orang tua turut jadi korban teror yang satu ini. Dalam kebingungan, hati mereka sadar, menutup akses terhadap informasi pun jelas berisiko bagi wawasan sang anak.

Pasalnya, televisi dan ranah online ibarat gerbang pengetahuan dan masa depan. Tak bisa dibayangkan apa yang terjadi andai gerbang tersebut lantas ditutup rapat-rapat.

Bisa dibilang, media interaktif, baik itu televisi di masa lalu, hingga dunia maya kini, ibarat penemuan “jalur baru” kedua, pasca penjelajahan para pelaut Eropa. Penemuan yang sangat signifikan pengaruhnya bagi peradaban manusia, termasuk Indonesia.

Pemerintah sepatutnya dapat meregulasi hal ini sebaik-baiknya, guna mewujudkan percepatan bidang-bidang pokok yang berkontribusi besar terhadap kemajuan Indonesia, lokal maupun internasional.

Bisa dibilang, setelah “kecolongan”, maka Indonesia pun mau tak mau harus menghadapi dua jenis terorisme yang saat ini telah sama-sama mencederai rakyatnya... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun