Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

â–ªtidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnyaâ–ª

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nyanyian Masa Lalu

10 Maret 2020   06:00 Diperbarui: 10 Maret 2020   06:55 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: www.cbhs.com.au

"Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional, kau mau nyanyi apa?"

Kata-kata perempuan bermata cokelat, berambut terang, dengan wangi rose yang berjejal masuk dalam lobang hidungku, berputar-putar dalam ingatan. Berkali-kali ia mengulang tanya, berkali-kali pula ia mengemas kekecewaan yang sama --tidak ada nyanyian.

Aku memanggilnya Mika, lebih mudah melafalnya dengan lidahku ketimbang menyebutnya Michaela. Aku memacarinya hampir satu tahun. Kami hanya bergandengan tangan setiap malam Minggu, berjalan menyusuri remang alun-alun kota, mengajaknya duduk di trotoar dengan semangkuk ronde.

Mika berwajah oriental, matanya sipit, mirip tacik-tacik yang berjualan di pecinan. Mika juga penyuka lagu-lagu Mandarin, ia menyanyikannya hampir di setiap pertemuan kami. Aku pernah bertanya tentang arti lagu yang disenandungkan, ia menggeleng disertai cekikikan yang berkepanjangan.

Mika keturunan Jawa, tidak ada silsilah dari keluarganya yang berdarah Tionghoa. Bagiku hal ini adalah anugerah, memiliki kekasih berkulit cerah.

Aku tidak pernah mengejarnya, Mika sendiri yang datang mencari. Dengan secarik kertas juga sebatang pensil di tangannya pagi itu, Mika terengah-engah. Mungkin lelah menyusul kayuhku. Kusandarkan sepeda pada dinding sekolah.

"Maaf, aku sedang ada tugas kuliah, mengulas mainan tradisional. Bisakah berbincang sebentar? Sebagai gantinya, akan kubeli beberapa mainanmu."

Melihat peluh yang bergantian turun dari keningnya, hatiku iba. Aku mengajaknya berteduh di bawah beringin di samping sekolah. Merelakan dagangan tak laku demi memberinya banyak waktu untuk tanya yang sedari tadi tak berjeda. Aku mengamati bibirnya, mungil berwarna merah jambu. Mungkin nanti aku akan menyapukan merah jambu pada perahu bambuku.

Mika mulai bertanya tentangku, nama, tempat tinggal, juga perahu bambu. Dan aku berusaha memuaskan hatinya, menjelaskan satu per satu.

Namaku Muspra. Laki-laki miskin yang bertahan hidup dengan berjualan perahu bambu. Kulitku berwarna tanah, akibat terlalu banyak memakan matahari. Aku terlahir di Blora. Setelah tak tamat SMA, aku meninggalkan kampung halaman, mengadu nasib di Semarang.

Tiba di kota, aku mirip gelandangan. Tinggal di mana, mengerjakan apa, semua serba sulit. Ingin pulang namun terlanjur malu pada diri sendiri. Malu pada janji untuk menjadi kaya yang sesungguhnya mustahil diraih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun