Mohon tunggu...
Desiwy Widyawaluyanda
Desiwy Widyawaluyanda Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas FEBI kampus IAIN TULUNGAGUNG

Aku akan terus mencarinya walaupun itu tak terbayang dengan jelas :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kardus Shankara (3)

22 Desember 2020   17:00 Diperbarui: 22 Desember 2020   17:13 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

7 bulan berlalu. Asrama kini mulai ramai berdatangan anggota baru dari berbagai pelosok. Ia malah sedikit resah karena sudah 7 bulan kerja tetapi masih belum bisa membiayai adiknya dan bibinya dikampung. Ia sedih dan dilema memikirkan bagaimana nasib adiknya di kampung tanpa dirinya. Ditinggal pergi jauh dan ia hanya berpamitan dengan secarik surat. 

Tak beradab sekali rasanya. Ia melamun sambil melihat tukang pemulung sampah membersihkan sampah tiap hari. Kesana kemari dengan gerobak tetapi senyum tetap menyungging di pipinya. Ia merasa iri dengan pemulung. Pemulung itu bisa tersenyum ikhlas kepada anaknya di sampingnya. Beberapa menit ia melamun melihat pemulung itu membuatnya kesal sendiri.

"Ah, Bodoh. Kenapa aku bodoh sekali. Sejak kapan aku bodoh begini aish. Kenapa ga dari dulu aku punya pikiran seperti ini, Tuhaaan." Ia langsung menyebrangi jalan dan segera membeli semua kardus dari pemulung itu. Tak peduli apa komentar penumpangnya saat tidak bisa menaiki jok depan karena penuh dengan tumpukan kardus. Ia segera mengantar penumpangnya lalu pulang ke asrama.

7 jam ia mengurung dirinya dikamar. Ia terlalu fokus memainkan otak dan jari-jarinya untuk beradu dengan kardus dan gunting. Cipratan cat warna warni penuh bak Pelangi yang singgah di lantainya. Perutnya sudah memberinya pengingat saatnya makanan yang sudah tercium baunya dari meja makan, masuk kedalam perut. 

Teriakan rekannya satu persatu saling bersahutan memanggil nama Agus seakan hanyalah sebuah burung yang hanya mempelajari cara memanggil namanya. Hingga larut malam tiba, matanya terlihat memerah dan berair memberi tanda saatnya menutup tirai matanya. Tenaganya sudah seperti tidak minum air 4 hari, nafasnya sudah senin kamis. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar mengambil sepiring makanan sisa dan segelas air putih. Ia makan perlahan sambil melihat keadaan sekitar.

"Hey nak". Lagi-lagi Pak Tejo mengagetkannya dengan menepuk pundak Agus. Tetapi Kali ini sedikit pelan dan mantap. "Kau baru makan larut malam begini. Perutmu bisa buncit nanti. Hahaha. Jangan langsung tidur. Setidaknya tunggu hingga kau bersendawa." Ia menarik kursi dan duduk disebelah Agus.


"Kau ada bikin apa nak? Sepertinya kau sibuk sekali. Kulihat tadi kau membawa banyak kardus dari pemulung dan bayaranmu berkurang." Pak Tejo memang orang yang sangat perhatian pada siapapun. Walaupun kesannya memang ia lebih perhatian pada Agus. Agus pun terkadang merasa kurang enak terutama pada anaknya yang terlihat iri kepadanya. "Ah, tidak Aboji. Saya merasa iba melihat anak pemulung tadi merasa kelaparan tapi jarak untuk ke tempat penukaran sampah masih sangat jauh. Terlebih anak tadi perempuan dan masih kecil. Saya jadi teringat adik saya dikampung. Maka dari itu saya segera membeli kardus itu dan mengolahnya." Jelas agus kepada Pak Tejo.

"Ah sudah kuduga kau memang anak yang cerdas saat pertama aku bertemu denganmu. Begini, keadaan pasar memang saat ini sedang kekurangan kerajinan. Banyak wisatawan asing mencari kerajinan tangan untuk oleh-oleh dari kota ini tetapi mereka kesulitan. Kau bisa ambil peluang besar ini nak." 

Pak Tejo mendekatkan kursinya, "Kau sudah seperti anakku sendiri. Apapun hasilnya kau harus tetap semangat dan jangan berkecil hati karena kau telah melibatkan Tuhan dalam usahamu. Percayalah padaku. Aku beri kebebasan padamu jika ingin mengganti profesimu tapi berjanjilah untuk tetap disini sampai kau benar-benar berhasil."

Pak Tejo mengakhiri percakapan malamnya dengan tepukan Pundak pada Agus dan pergi meninggalkan Agus dalam kesunyian. Tatapannya menatap Pak Tejo hingga ia benar-benar hilang dari pandangan.

2 tahun kemudian. Usaha kerajinan tangannya sudah terkenal hingga luar pulau. Pegawainya sudah lumayan banyak. Kualitas kerajinannya ia tambah tiap tahunnya. Tokonya yang dahulu hanya beralaskan karpet di tengah jembatan sekarang sudah menandingi gedung-gedung supermarket berkelas.

Mengingat ia yang sudah sukses sekarang tiap bulannya ia mengirimi Nuji dan bibinya uang saku untuk hidup. Ia juga berencana mengajak Nuji dan bibinya pindah kekota namun karena adiknya masih kelas 5 SD dan harus mengejar ketertinggalannya dahulu, rencana itu pun tertunda. Ia juga masih sering mengunjungi Aboji dan rekan-rekannya untuk sekedar silaturahmi.

Sampai suatu hari, Nuji menelponnya dari kampung halamannya. Sontak membuat Agus kaget setengah mati. Bagaimana ia bisa menelpon di desa yang bahkan internet saja tidak ada.

"Aku sedang berada dipelabuhan bersama bibi kak. Ini aku menggunakan telepon mahasiswa yang akan mengunjungi desa kami. Ia memiliki nomor kakak karena kata mereka kakak sangat terkenal di kota." Suaranya terdengar sangat bahagia membuat hati Agus terharu.

"Kakak tau, aku dan bibi akan mengunjungi kakak hari ini. Kami akan berangkat hari ini. Kau harus menyiapkan banyak hadiah untukku kak," sambungnya. "Aku ingin menceritakan semua pengalamanku disekolah dan dirumah. Termasuk perkara sikap bibi juga. ah kau tau kak. Semenjak dia menerima uang darimu, dia langsung menangis kak. Sepertinya dia akan meminta maaf padamu karena sudah jahat selama ini. Dia benar-benar khilaf. Sekarang dia bersamaku."

"Perjalanan yang akan kau tempuh 6 jam Nuji. Kau harus makan yang banyak agar kuat menahan ombak. Kalau kau mabuk nahkoda takkan membiarkanmu duduk di kapal. Hahahaha." Tawa Agus karena leluconnya. "Oh, itu mudah. Akan kusuruh kakakku yang tampan ini membeli kapalnya. Dengan begitu kau yang akan menjadi nahkodanya kan. Kau pasti tak sampai hati melemparku ke laut saat mabuk."

"Adik bandel. Nanti saat kau tiba, kau harus mencari mobil berwarna putih dengan stiker bulan purnama di pojok kaca depan. Itu mobilku. Aku tak akan mencarimu. Jika selama 1 jam belum terdengar ketukan akan ku tinggal kau di pelabuhan. Ingat!"

"Kakak yang bandel, harusnya kakak-" tuuuuuuuuuuuuuuuuuut. Sambungan terputus.

"Ahh mungkin pulsanya habis." Agus melanjutkan membuat kerajinan lagi dengan penuh senyum di pipinya. Terngiang suara adiknya yang sangat lucu membuat rindunya menggebu tak sabar menunggu jam kedatangan mereka walaupun suasana langit mendung membuatnya sedikit khawatir akan keselamatan mereka berdua.

Langit makin lama makin gelap. Tepat 5 jam kemudian ia harus menjemput Nuji dan bibinya. Kali ini ia merasakan sesuatu yang janggal. Ia segera berpamitan dengan pegawainya dan bergegas menuju pelabuhan. Melihat langit yang sangat gelap membuat rasa khawatirnya makin pekat. 

Firasatnya buruk tiap kali ia mengingat adik dan bibinya. Hingga tiba di paruh perjalanan, radio mobilnya membacakan berita terkini tentang kapal bernama Ship Revolution mengalami kecelakaan dikarenakan badai di tengah laut. Agus terkejut setengah mati. Adik dan bibinya berada dikapal itu. Ia pun langsung menambah kecepatan mobilnya.

Pintu pelabuhan sudah penuh oleh sekerumun orang. Ia langsung turun dan berlari berdesakan dengan orang-orang. Ia langsung melihat ujung dermaga. Kapal yang ditumpangi adik dan bibinya sudah bisa pulang.

"Dimana adikku? Pak kau tau ada anak penumpang anak kecil dari pulau daerah timur? Bersama dengan orang tua seperti bibi-bibi pak." Tanya Agus panik kepada salah satu petugas pelabuhan. "Sabar pak sabar. Kami masih meneliti lebih lanjut dengan petugas keamanan." Ia langsung berlari mencari korban-korban yang selamat. Tiba-tiba ada seseorang dari kejauhan memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangannya. Bajunya putih seperti petugas nahkoda kapal. Terlihat lusuh dan basah. Dia duduk di tepi dermaga yang sedikit sepi dari kerumunan massa. Agus langsung berlari menghampirinya dengan tergesa-gesa.

"Anda siapa?"

"Anda mungkin tidak mengenal saya. Tapi anda pasti mengenal barang yang saya bawa. Semoga membantu anda pak. Maafkan saya."

Nahkoda itu memberikan sebuah tas kulit kecil berwarna coklat tua yang sangat familiar dengannya. Terasa berat dan basah. Ia langsung membuka tas itu dan didalamnya terdapat secarik kertas dan foto yang dibungkus plastik. Seperti sengaja melakukannya agar tidak basah dan sampai ketangannya dengan selamat. Ia membukanya dan ternyata itu surat dari bibinya.

"Maafkan aku selama ini jahat padamu, Agus. Aku sudah terhasut oleh hawa nafsu ku. Adikmu sudah berhasil membuatku luluh. Mungkin ia bilang padamu jika aku luluh karena uangmu. Dia anak bandel memang haha. Aku selama ini sudah merawatnya dengan baik. Aku memberinya makan dan aku sudah bekerja. Maka dari itu aku berniat mengunjungimu dan meminta maaf padamu. Kita berdua pergi dengan tabunganku. Aku hanya ingin berpesan jadilah wirausaha yang baik. Kau harus tetap semangat jika nanti kita sudah tidak bersamamu lagi. Kau harus tetap bahagia dan panjang umur. Banyak yang masih membutuhkan ilmu kerajinanmu. Kau harus membuat kami tersenyum di surga. Ini foto kami berdua saat hendak kemari. Mahasiswa itu memang sangat baik. Kami sangat menyayangimu Agus."

Air matanya mengalir deras di pipinya. Ia tak kuat menahan tangis. Ia menunduk merangkul surat dan foto bibi dan adiknya. Rasa menyesal menamparnya karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak bisa meluangkan waktu untuk berkunjung ke kampung halamannya. Ia hanya bisa pasrah dan berserah diri pada Tuhan.

Setelah kejadian itu semua kembali normal hingga telah berjalan 1 tahun.

Arunika mengintip di atas horizon bagian timur. Ia memulai harinya dengan ibadah dan lantunan ngaji. Senyuman tak lupa ia pasang saat hendak memasuki mobil kesayangannya. Ia telah berhasil melewati masa-masa sulit saat kehilangan adik dan bibinya. Dibalik itu semua, Tuhan memiliki rencana lain.

Pabrik kerajinannya dari tahun ketahun semakin berkembang pesat. Tidak ada yang menandingi pabriknya. Investor yang datang pun meningkat tiap tahunnya. Pegawainya dari tahun ketahun semakin bertambah banyak. Ia juga mendirikan cabang pabriknya di berbagai daerah. Ia kini sepenuhnya sudah menjadi warga kota. Tetapi ia tetap sering berkunjung ke kampung halamannya untuk bersilaturahmi dengan kerabatnya. Ia juga masih sering mengunjungi Abojinya yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Membantu mempromosikan angkot dan asramanya yang sekarang sudah menjadi pondok pesantren terbesar di kotanya.

Ia juga telah resmi menjadi entrepreneur termuda di pulaunya. Ia telah menjadi motivator banyak orang mengingat latar belakangnya yang berasal dari orang tak mampu dan telah berhasil menjadi wirausahawan sukses di usianya yang masih berumur 25 tahun.

Ia percaya semua ini berkat doa dan kesabaran yang ia lakukan dalam menghadapi segala ujian dari Tuhan. Ia tekun menggali kemampuannya walaupun telah menerima banyak kegagalan sekalipun. Ia juga telah banyak kehilangan seseorang yang ia sayangi. Mulai dari Ibu, Ayah lalu Adik dan Bibinya. Itu membuat ia percaya seterang apapun mentari menyinari langit akan ada masanya twilight datang. Dan saat itulah kita mengerti siapa yang sebenarnya selalu bersama dengan kita. "Terima kasih Tuhan, telah melatih perasaan dan mentalku dengan sangat baik. Aku bersyukur Ya Allah."

"Aku yakin keluargamu semua tersenyum bangga melihatmu saat ini disurga". Jawab Aboji sambil mengelus pundak Agus yang menatap cahaya senja diufuk barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun