Mohon tunggu...
Desi Natalia Zalukhu
Desi Natalia Zalukhu Mohon Tunggu... Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha

Sedang menempuh studi pascasarjana di bidang Pendidikan IPA. Tertarik pada inovasi pembelajaran sains dan pengembangan literasi sains sejak dini. Menulis sebagai sarana berbagi dan menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Pendidikan: Menjembatani Teori dan Praktik untuk Pendidikan yang Bermakna

1 Oktober 2025   12:58 Diperbarui: 27 September 2025   22:07 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mind Map (Sumber: desain pribadi)

Pendahuluan

Pernahkah kita bertanya mengapa sekolah berjalan dengan cara tertentu? Mengapa ada kurikulum, metode mengajar, dan tujuan belajar yang tampak begitu sistematis? Jawabannya terletak pada filsafat pendidikan—sebuah bidang yang sering dianggap rumit, padahal sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Filsafat pendidikan tidak hanya bicara soal konsep abstrak, tetapi juga menyentuh praktik nyata: bagaimana guru mengajar, bagaimana siswa belajar, dan bagaimana masyarakat mendefinisikan arti “pendidikan yang baik.” Inilah yang menjadikan filsafat pendidikan unik: ia adalah studi teoretis sekaligus praktis.

Di ruang kelas, guru yang memilih apakah akan menggunakan metode ceramah, diskusi, atau proyek sejatinya sedang menerapkan filsafat pendidikan. Demikian pula ketika sekolah merancang program literasi atau numerasi, mereka tidak sekadar mengeksekusi aturan, melainkan juga menafsirkan nilai dan tujuan pendidikan. Maka, filsafat pendidikan sesungguhnya hidup dalam setiap keputusan kecil dan besar di dunia pendidikan.

Latar Belakang Masalah

Mengapa penting membicarakan filsafat pendidikan sebagai studi teoretis dan praktis? Pertama, karena pendidikan tidak pernah netral. Ia selalu dipandu oleh gagasan dasar tentang manusia, pengetahuan, dan nilai. Misalnya, apakah tujuan sekolah sekadar mencetak tenaga kerja, atau membentuk pribadi yang utuh dan berkarakter?

Kedua, realitas pendidikan Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Hasil survei PISA menunjukkan capaian literasi dan numerasi siswa masih tertinggal dibanding negara lain. Sering kali, kebijakan pendidikan lebih menekankan aspek teknis tanpa cukup refleksi filosofis. Akibatnya, praktik pendidikan cenderung pragmatis tetapi miskin makna.

Ketiga, filsafat pendidikan memberikan kerangka berpikir yang seimbang antara idealisme dan realitas. Secara teoretis, ia menawarkan konsep-konsep mendasar tentang ontologi (hakikat manusia dan pendidikan), epistemologi (cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologi (nilai serta tujuan pendidikan). Secara praktis, filsafat pendidikan menuntun guru, pembuat kebijakan, hingga masyarakat untuk merumuskan strategi pendidikan yang relevan dengan zaman.

Oleh karena itu, memandang filsafat pendidikan hanya sebagai “teori” atau hanya sebagai “praktik” adalah kekeliruan. Keduanya harus berjalan bersama, karena teori tanpa praktik hanyalah wacana kosong, sementara praktik tanpa teori berisiko kehilangan arah.

Pembahasan

1. Filsafat Pendidikan sebagai Studi Teoretis

Secara teoretis, filsafat pendidikan adalah cabang filsafat yang mengkaji hakikat pendidikan. Ia bertanya: Apa itu pendidikan? Untuk apa manusia belajar? Nilai apa yang ingin dicapai? Pertanyaan-pertanyaan ini bersifat mendasar dan menjadi fondasi setiap sistem pendidikan.

a. Ontologi pendidikan – mempelajari hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan. Misalnya, apakah anak dipandang sebagai “wadah kosong” yang harus diisi (teori tabula rasa), atau sebagai individu yang aktif membangun pengetahuan (konstruktivisme)?

b. Epistemologi pendidikan – menyelidiki sumber dan cara memperoleh pengetahuan. Dari sinilah lahir perdebatan apakah metode hafalan cukup, ataukah siswa perlu dilatih berpikir kritis dan reflektif.

c. Aksiologi pendidikan – membahas nilai dan tujuan. Pendidikan bukan hanya soal “tahu,” tetapi juga “menjadi.” Apakah pendidikan hendak melahirkan warga negara yang patuh, pekerja yang produktif, atau manusia yang bebas dan bermoral?

Dengan demikian, filsafat pendidikan memberi kerangka konseptual yang membantu kita memahami mengapa suatu kebijakan, metode, atau kurikulum dipilih.

2. Filsafat Pendidikan sebagai Studi Praktis

Namun, filsafat pendidikan tidak berhenti pada tataran ide. Ia harus dihidupkan dalam praktik nyata. Guru, kepala sekolah, dan pembuat kebijakan sejatinya adalah “filsuf praktis” yang sehari-hari membuat keputusan berdasarkan pertimbangan filosofis, meski sering tidak disadari.

a. Dalam kurikulum – Kurikulum Merdeka di Indonesia, misalnya, lahir dari gagasan filosofis bahwa siswa harus dipandang sebagai subjek yang merdeka dan kreatif. Ini berbeda dari kurikulum lama yang lebih kaku dan berorientasi ujian.

b. Dalam metode mengajar – Seorang guru yang memilih metode proyek dibanding ceramah sedang menerapkan filsafat konstruktivisme, yakni keyakinan bahwa siswa belajar lebih bermakna melalui pengalaman langsung.

c. Dalam evaluasi – Perubahan penilaian dari sekadar angka menuju asesmen formatif berbasis portofolio mencerminkan pandangan filosofis bahwa proses belajar lebih penting daripada hasil akhir.

Dengan kata lain, filsafat pendidikan tidak hanya “dipelajari,” tetapi juga “dijalani” dalam keseharian pendidikan.

3. Ketegangan antara Teori dan Praktik

Meski idealnya saling melengkapi, teori dan praktik pendidikan kerap berada dalam ketegangan. Teori bisa dianggap terlalu abstrak, sementara praktik dianggap terlalu pragmatis. Misalnya, teori menekankan pentingnya pendidikan karakter, tetapi praktik di sekolah lebih fokus mengejar target ujian.

Ketegangan ini dapat dijembatani dengan pendekatan reflektif. Guru dan pembuat kebijakan perlu menyadari bahwa setiap keputusan praktis mereka memiliki implikasi filosofis. Sebaliknya, para filsuf pendidikan harus peka terhadap konteks sosial-budaya sehingga teori yang dikembangkan tidak mengawang-awang.

4. Contoh Nyata di Indonesia

a. Program Merdeka Belajar – menekankan kebebasan dan fleksibilitas dalam belajar. Secara filosofis, ini terinspirasi dari pandangan Ki Hajar Dewantara: “pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak.”

b. Kegiatan Projek Profil Pelajar Pancasila – secara praktis menghidupkan nilai-nilai aksiologis seperti gotong royong, kreativitas, dan keberlanjutan lingkungan.

c. Inovasi Guru di Sekolah – guru yang mengintegrasikan teknologi digital dalam kelas tidak hanya beradaptasi secara teknis, tetapi juga merefleksikan pandangan epistemologis tentang bagaimana pengetahuan diperoleh di era digital.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan benar-benar hadir dalam realitas pendidikan kita, baik di level teoretis maupun praktis.

Penutup

Filsafat pendidikan bukan sekadar teori di ruang kuliah atau buku-buku tebal yang jarang disentuh. Ia adalah napas yang menghidupkan seluruh praktik pendidikan: dari cara guru mengajar, cara siswa belajar, hingga arah kebijakan negara.

Sebagai studi teoretis, filsafat pendidikan memberi dasar konseptual tentang hakikat manusia, pengetahuan, dan nilai. Ia menuntun kita untuk bertanya: Apa arti pendidikan? Untuk siapa pendidikan dijalankan? Nilai apa yang hendak dicapai?

Sebagai studi praktis, filsafat pendidikan hadir dalam keputusan sehari-hari: metode mengajar yang dipilih guru, kebijakan kurikulum yang dirumuskan pemerintah, hingga interaksi kecil antara guru dan murid di kelas. Semua itu adalah filsafat dalam tindakan.

Oleh karena itu, mengabaikan filsafat pendidikan berarti membiarkan pendidikan berjalan tanpa arah yang jelas. Sebaliknya, mengintegrasikan teori dan praktik filsafat pendidikan memungkinkan kita membangun pendidikan yang tidak hanya efektif, tetapi juga bermakna dan berkeadilan.

Harapannya, semakin banyak pendidik dan pembuat kebijakan yang menyadari peran filsafat pendidikan sebagai jembatan antara idealisme dan realitas. Dengan begitu, pendidikan kita benar-benar menjadi sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus memanusiakan manusia.

Daftar Pustaka

  • Dewantara, K. H. (1967). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.

  • Noddings, N. (2018). Philosophy of Education. New York: Routledge.

  • Ornstein, A. C., & Levine, D. U. (2008). Foundations of Education. Boston: Houghton Mifflin.

  • Tilaar, H. A. R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun