Dengan kata lain, filsafat pendidikan tidak hanya “dipelajari,” tetapi juga “dijalani” dalam keseharian pendidikan.
3. Ketegangan antara Teori dan Praktik
Meski idealnya saling melengkapi, teori dan praktik pendidikan kerap berada dalam ketegangan. Teori bisa dianggap terlalu abstrak, sementara praktik dianggap terlalu pragmatis. Misalnya, teori menekankan pentingnya pendidikan karakter, tetapi praktik di sekolah lebih fokus mengejar target ujian.
Ketegangan ini dapat dijembatani dengan pendekatan reflektif. Guru dan pembuat kebijakan perlu menyadari bahwa setiap keputusan praktis mereka memiliki implikasi filosofis. Sebaliknya, para filsuf pendidikan harus peka terhadap konteks sosial-budaya sehingga teori yang dikembangkan tidak mengawang-awang.
4. Contoh Nyata di Indonesia
a. Program Merdeka Belajar – menekankan kebebasan dan fleksibilitas dalam belajar. Secara filosofis, ini terinspirasi dari pandangan Ki Hajar Dewantara: “pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak.”
b. Kegiatan Projek Profil Pelajar Pancasila – secara praktis menghidupkan nilai-nilai aksiologis seperti gotong royong, kreativitas, dan keberlanjutan lingkungan.
c. Inovasi Guru di Sekolah – guru yang mengintegrasikan teknologi digital dalam kelas tidak hanya beradaptasi secara teknis, tetapi juga merefleksikan pandangan epistemologis tentang bagaimana pengetahuan diperoleh di era digital.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa filsafat pendidikan benar-benar hadir dalam realitas pendidikan kita, baik di level teoretis maupun praktis.
Penutup
Filsafat pendidikan bukan sekadar teori di ruang kuliah atau buku-buku tebal yang jarang disentuh. Ia adalah napas yang menghidupkan seluruh praktik pendidikan: dari cara guru mengajar, cara siswa belajar, hingga arah kebijakan negara.