Di era digital, kebebasan berekspresi semakin luas. Namun, di tengah derasnya arus konten yang beredar di media sosial, tak jarang muncul fenomena yang mengusik nurani. Salah satunya adalah tren fantasi sedarah---tema yang mulai banyak diangkat dalam cerita fiksi, video pendek, dan diskusi daring. Meskipun dikemas sebagai hiburan, isu ini menimbulkan kegelisahan tersendiri, terutama bagi para orang tua.
Untuk memahami perspektif masyarakat terhadap tren tersebut, saya mewawancarai seorang ibu rumah tangga yang aktif mengikuti perkembangan media sosial dan memiliki kepedulian tinggi terhadap nilai-nilai moral dalam keluarga. Demi menjaga privasi, nama dan identitas narasumber disamarkan. Dalam artikel ini, ia akan disebut sebagai Ibu S.
"Awalnya saya kaget, bahkan merasa ngeri ketika tahu tema seperti ini ternyata ada dan malah disukai sebagian orang," tutur Ibu S. "Kalau dulu, hal semacam ini dianggap tabu dan tidak pantas dibicarakan, tapi sekarang malah jadi konten yang dipertontonkan terbuka. Ini mengganggu sekali secara moral."
Menurut Ibu S, penggunaan hubungan sedarah sebagai objek fantasi bukan sekadar persoalan selera pribadi, tetapi menyangkut batas etika, norma budaya, dan ajaran agama. Ia menilai bahwa konten semacam ini melanggar nilai-nilai keluarga yang selama ini dijunjung tinggi.
"Saya melihat ini sebagai bentuk penurunan sensitivitas terhadap hal-hal yang seharusnya dijaga. Kalau remaja terus-menerus menonton konten seperti itu, bisa-bisa mereka jadi kehilangan arah dalam membedakan mana yang normal dan mana yang menyimpang."
Ketika ditanya mengapa sebagian orang bisa menikmati konten bertema sedarah, Ibu S menduga ada pengaruh dari pembiasaan. Paparan yang terus-menerus dapat menormalkan hal-hal yang sebelumnya dianggap salah.
"Fantasi memang tidak bisa dicegah, tapi kalau sampai membuat seseorang menjadi tidak peka terhadap nilai moral, itu jadi berbahaya. Apalagi jika hal itu dikonsumsi anak-anak atau remaja tanpa pengawasan."
Sebagai ibu, Ibu S mengaku rutin berdiskusi dengan anak-anaknya mengenai isu-isu sensitif. Ia percaya bahwa keterbukaan dalam keluarga adalah kunci penting dalam membentengi generasi muda dari pengaruh negatif konten digital.
"Saya tidak ingin anak-anak saya belajar dari media sosial tanpa pendampingan. Mereka harus tahu dari orang tuanya dulu, supaya tidak salah kaprah. Komunikasi itu penting, termasuk soal topik-topik yang dianggap sensitif."
Selain peran keluarga, Ibu S juga menyoroti pentingnya regulasi dari pihak platform digital maupun pemerintah. Ia berharap ada kebijakan yang lebih tegas terhadap penyebaran konten yang tidak sehat secara moral.
"Bukan soal membatasi kreativitas, tapi soal menjaga fondasi moral masyarakat. Kalau konten menyimpang seperti ini terus dibiarkan, lama-lama bisa dianggap hal biasa. Itu yang bahaya."