Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Beauty and the Beast" [31]

12 Februari 2019   05:48 Diperbarui: 12 Februari 2019   05:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walau ia keturunan Tionghoa, Aldi tak pernah minum obat herbal, tak pernah belajar bahasa Mandarin. Sejak kecil kalau sakit ia dibawa ibunya ke dokter, makan obat resep dokter, diperiksa dokter. Belum pernah ia menjejakkan kaki ke toko obat herbal. Kamis sore itu ia membawa kertas yang ditemukan ke toko obat Bahagia di Pancoran. Pemiliknya pasti tinggal di gang Bahagia, pikir Aldi.

Bau obat menyerbunya, khas toko obat china. Sepasang suami istri sedang menjaga toko, sudah agak tua, berusia sekitar 50-an tahun. Yang bertanya pada Aldi seorang pemuda berusia sebaya dengan Aldi, wajahnya mirip Kim Hun  Jong yang bermain di Prince Hours. Pemuda itu bertanya Aldi ingin membeli apa. Aldi mengeluarkan kertas, bagian tulisan mandarin diperlihatkan, sedang yang berbahasa Indonesia dilipat dua kali ke belakang agar tidak terbaca jika tidak sengaja membukanya.

Pemuda itu mengerutkan kening, memanggil ayahnya. Suami istri itu datang bersamaan.

" Ini resep obat Kakek Oyong kenapa bisa berada di tangannya ? " Pemuda itu bukan bertanya pada Aldi, melainkan ke orangtuanya.
Lelaki tua itu menatap Aldi." Tosan yang memintamu membeli obat untuknya ?"

" Bukan. " Jawab Aldi. Memang bukan karena sudah lama ia tak bertemu kakek Tosan, " Saya tinggal di Gang Bahagia no 48. Penyewa gratis demi hadiah yang dijanjikan agen properti. Entah kenapa kertas ini tertempel di pintu belakang rumah yang kutinggali. Kalian kenal kakek Oyong ?" Aldi balik bertanya.

" Sudah belasan tahun dia membeli resep ini, entah kenapa sejak sebulan terakhir dia tak pernah muncul. Kukira dia keluar kota mengunjungi seseorang. Hal itu sering dilakukan Tosan." Lelaki tua itu menatap istrinya, kembali menatap Aldi." Kamu tinggal di rumah itu apa tidak mengalami gangguan ?"

" Ada sih, sudah dua kali aku terbangun di lapak bakpao. Beberapa kali melihat,---- " Aldi ragu, yang dilihatnya itu entah roh atau hanya bayangan semu.

" Melihat apa ?" tanya wanita tua itu.

" Entah bayangan atau bukan, sesosok wanita bercadar." Beber Aldi.

Suami istri itu saling tatap, sementara anaknya menimbang obat dengan sebuah dacin, setiap ingin membuka laci yang berderet mirip rak pajangan, ia membaca kertas yang diberikan Aldi. Sangat teliti.

" Melli dan Meilan, " gumam wanita itu.

" Keduanya sering mengganggu penyewa." tambah suaminya.

" Betul, aku mendengar pembicaraan mereka di lantai bawah sambil bermain batu, yang satu memanggil temannya Melli, dan yang lain memanggil temannya Meilan. Kalian kenal mereka ?" tanya Aldi.

" Kamu bisa mendengar omongan mereka ?" tanya yang pria tua dengan ekspresi kaget.
Aldi mengangguk.

Pasutri itu saling tatap, lalu menatap Aldi.

" Prana kamu lemah. Sebaiknya kamu meminta jimat keselamatan dari,---- agamamu apa ? " tanya si istri.

" Konghucu." Jawab Aldi. " Aku sudah punya jimat, pemberian seseorang. Kalau memakai jimat aku belum pernah mengalami gangguan. Itu, yang dibawa ke lapak bakpao itu akibat aku tidak membawa jimat." Aldi menjelaskan, supaya tidak disuruh sembarang meminta jimat. Ibunya berpesan, jimat ada yang baik dan ada yang berdampak buruk, jimat negatif bisa menuntun pemakainya melakukan hal-hal terlarang.

" Siapa namamu ?" tanya pria tua itu.

" Namaku Aldi Nofian."

" Saya Joni, istriku Alianis, ini anakku Julianto." Joni mengenalkan anggota keluarganya. Mereka bersalaman. Julianto menyerahkan sebungkus obat pada Aldi, berpesan agar obat itu direbus dengan 3 gelas air hingga tinggal segelas barulah diminumkan pada pesakit. Tampaknya mereka tidak tertarik untuk bertanya lebih lanjut untuk siapa obat itu akan diberikan. Aldi bertanya berapa ia harus membayar. Lumayan mahal juga, sebungkus 40 ribu, bisa diseduh 3 kali untuk diminum 3 hari.

Aldi membawa bungkusan itu pulang. Ia merebus obat itu dengan panci yang biasa ia gunakan untuk memasak mie instant. Lama juga menunggu air rebusan itu  menguap dua pertiga bahagian. Lebih dari 2 jam. Saat ia mematikan kompor, sudah jam 7.15 malam. Ia merendam panci dengan air dingin. Tak mungkin ia membawa panci atau gelas, cairan itu dimasukkan ke dalam plastik eks potato chip dan ditenteng menuju jalan Kemenangan.

Hari belum terlalu malam. Masih banyak kendaraan lalu lalang di jalan Kemenangan. Aldi mengetuk pintu. Pintu tidak dibukakan. Aldi menggedor, tidak juga dibukakan. Apa karena tidak menepati waktu makanya ia tidak dibukakan pintu ? Aldi mundur beberapa langkah. Ia melongok ke atas.

Ting, klinting, klinting !

Sebuah kelintingan meluncur dari atas, jatuh tak jauh dari tempat Aldi berdiri. Aldi kaget, masih mendongak, ingin melihat siapa yang melemparinya. Tidak ada siapa-siapa. Ia menunduk untuk memungut kelintingan itu.

Sebatang kunci terikat pita di klintingan. Ada tulisan di pita putih itu yang selebar jempol Aldi. Ini kunci rumah ini. Aldi menatap  ke atas, ingin tahu siapa yang melempar kunci itu untuknya. Tiada siapa siapa di atas. Ia memanggil Kakek Tosan 3 kali. Tidak mendapat jawaban. Ia membawa kunci itu ke pintu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun