Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Aisa 21: Preman Jatuh Cinta?

30 Januari 2017   10:02 Diperbarui: 30 Januari 2017   10:22 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam 9 pagi, Aisa sendiri di kebun singkong. Tantowi tidak tampak batang hidungnya. Singkong yang diberi pupuk tahi kambing tumbuh lebih cepat, menyamai singkong yang ditanam sebulan sebelumnya.

“ Hai, kau, anak Jon. Aku belum sarapan, minta dua ribu buat sarapan !”

Aisa terlalu asik memerhatikan singkongnya, lupa mengantisipasi kedatangan Lutong. Tangannya dicengkeram Lutong. Aisa menggeliat untuk melepaskan diri.

“ Aku tak punya duit. Aku… hanya punya singkong,-” ucap Aisa ketakutan.

“ Aku lapar ! Aku ingin makan !” suara Lutong terdengar gahar.

“ Tidak ada makanan. Di rumah ada singkong rebus, kalau mau kuambilkan, ” ucap Aisa terbata-bata.


“ Aku tak mau singkong rebus, aku mau makan kamu !” Lutong terkekeh, perlahan tangannya bergerak ingin meraba Aisa. Mula-mula pipi, turun ke bawah menuju leher, turun  ke dada.

“ Tidak! Jangan! Aku masih kecil!” teriak Aisa panik.

Lutong menyeringai. Ia mendorong Aisa hingga terjengkang. Rok yang dipakai Aisa tersingkap.  Aisa ber-usaha menghindar dengan cara mengesot mundur. Lutong jongkok, mendekati Aisa selangkah demi selangkah. Wajahnya beringas, sama sekali tidak tertawa atau berniat mengampuni mangsanya. Aisa mengesot mundur, Lutong maju selangkah dengan selangkah sambil tetap jongkok. Saat genting seperti ini Aisa berharap Tantowi menolongnya, tak mungkin ia mengharapkan bantuan Prana. Prana sedang sekolah, berjarak 17 Km dari tempatnya berada, tak mungkin menolongnya. Towi, hanya Towi yang sering berada di kebun siongkong. Tapi Towi penakut, mana mungkin menolongnya. Nasibnya sedang apes.

“ Tolong jangan ganggu aku, aku… aku akan bunuh diri !” sudah kepepet, pertolongan tak kunjung tiba, Aisa nekad mengancam Lutong dengan niatnya.

“ Apa peduliku kamu bunuh diri?!” Lutong menyeringai, maju selangkah lagi. 

“ Setelah bunuh diri aku jadi hantu mengganggumu !” Aisa sudah kepepet, apapun akan dilakukan untuk menyelamatkan dirinya. Setelah ngesot mundur 2 depa, tubuhnya lecet disana sini, sakit rasanya. Tapi, seandainya diperkosa, pasti lebih sakit lagi.

“ Aku tak takut hantu ! Mana hantunya ?!” tantang Lutong, setelah itu terkekeh.

Aisa mengesot mundur sambil meraba tanah yang dilaluinya, terpegang olehnya batang singkong yang sudah tak ada daunnya, kira-kira sedepa. Disambar dan disabetkan ke Lutong. Lutong menangkis dengan tangannya, merampas batang singkong itu dan dikunyah ujungnya. Lutong benar benar kelaparan. Lapar jasmani rohani, lapar perut lapar nafsu. Istrinya melahirkan tak lama setelah Yumini melahirkan. Lutong dipaksa cuti.

Seekor belalang melompat ke wajah Aisa. Aisa terpekik, ia menangkap belalang itu dan membuangnya. Melompat lagi seekor dan seekor lagi. Wajahnya dipenuhi belalang. Aisa sibuk menangkap dan membuang  belalang belalang itu, lupa dirinya hendak diperkosa.

Sementara itu, Lutong sedang menjulurkan tangan untuk merobek baju Aisa. Tangannya terhenti di udara. Di depannya, Aisa sibuk menangkap belakang, di samping Aisa tiba tiba muncul seekor biawak sebesar lengannya. Biawak itu menatapnya sambil menjulurkan lidah keluar masuk, seakan-akan mengejeknya. Wajah Lutong melotot. Ia selalu membawa pisau. Ia mengambil pisau yang dibungkus koran.

Aisa masih sibuk membuang belalang yang hinggap di wajahnya. Lutong berdiri, melontarkan pisaunya seakan sedang bermain dart. Lemparannya jitu, tepat mengenai biawak itu. Pisaunya tancap di punggung biawak, tembus hingga tegak di atas tanah. “ Mampus kau, binatang sialan !  “ teriak lutong.

Aisa mendengar teriakan Lutong, menyangka Lutong memakinya, sedang ingin menindihnya. Ia menelungkupkan tubuhnya sehingga wajahnya menempel ke tanah. Bukankah kata orang tidur telentang gampang diperkosa. Kalau telungkup pasti tak bisa !

Mata Lutong membelalak. Biawak itu menghilang! Yang terlihat hanya belati yang terancap di tanah. Ia tak percaya hantu, tak percaya setan, setiap malam ia pulang larut malam, terkadang jam 12, terkadang jam 2, 4 atau 5 pagi. Tak pernah ia diganggu hantu atau setan. Dicabutnya belati, dibungkus koran, diselipkan kembali ke pinggang dan ditutupi baju. Ia tertawa melihat posisi Aisa yang telungkup. Pelan-pelan ia mendekati Aisa, siap melaksanakan niatnya. Diulurkan tangan ke punggung Aisa untuk merobek baju Aisa. Tangannya tak jadi diulurkan, malah terpaksa ditarik balik. Di atas punggung Aisa bertengger seekor biawak, bukan satu, tapi dua. Matanya berkedip, biawak itu berubah jadi 3, satu di kepala Aisa, satu di pundak, satu lagi di bokong. Pisaunya hanya satu, tak mungkin mengenai 3 biawak sekaligus.

Lutong tak kehilangan akal. Biawak hanya cakarnya yang menakutkan, selebihnya tidak. Ia mencari batang singkong yang agak besar untuk mengusir biawak-biawak itu. Ia berhasil menemukan sebatang singkong yang lumayan besar, berjalan kembali ke tempat Aisa berbaring telungkup.

Matanya terbelakak. Biawak itu bukan lagi 3, tapi lebih dari sepuluh. Semua mengelilingi tubuh Aisa, menjulurkan lidahnya keluar masuk, menatap Lutong dengan sikap mengancam. Satu bergerak, semua ikut bergerak. Satu mengejar, semua ikut mengejar. Lutong lari terbirit-birit melihat belasan biawak mengejarnya. Ia tersungkur gara-gara setiap jemba ada parit dangkal sedalam sejengkal sebagai pembatas cangkulan. Ia bangun, belasan biawak mengepungnya. Ia melompat, berhasil keluar dari kepungan. Nafasnya tersengal sengal, ia belum pernah ketemu kejadian sejanggal ini sebelumnya. Dikepung polisi saja ia berhasil meloloskan diri. Hari ini ia hampir dikeroyok sekumpulan biawak kecil yang menurutnya lawan yang tidak berarti. Melarikan diri bukan prinsipnya sejak ia menjadi preman. Hari ini ia melanggar pantangan itu.

Sepi, tidak terdengar suara apa pun selain daun singkong bergesekan akibat tiupan angin. Aisa meng-gerakkan kepalanya ke samping, mengintip, tidak berhasil melihat Lutong. Digerakkan kepala ke kanan, juga tidak bisa melihat Lutong. Diangkatnya kepala dan menoleh ke belakang. Tiada siapa-siapa di belakangnya.

Kemana perginya Lutong? Kenapa tak jadi memerkosanya? Aisa duduk, menenangkan deburan jantungnya yang tadi berpacu seperti lomba perahu di dermaga Dumai. Ia menemukan cangkulnya, melihat Bain sedang mengunyah sesuatu di tanah yang belum dicangkul.

“ Bain, kamukah yang mengusir Lutong ? “ tanya Aisa. Ia melihat Bain memakan belalang-belalang yang tadi dihempaskan ke tanah.

Bain menelan, setelah itu menjulurkan lidahnya 3 kali. Perlahan Aisa mendekati Bain. Disentuh kepala Bain takut takut. “ Makasih ya, Bain. Pasti kamu yang menolongku.”  Diambilnya Bain, diangkat di bagian perut, mirip memegang kucing liar yang masih bisa mencakar.

“ Hari Minggu nanti aku ke pasar, akan kuminta jeroan ayam pada pedagang ayam untuk kuberikan padamu.” janji Aisa. Diletakkan Bain di atas tanah. Bain merangkak ke tunggul, masuk ke tunggul yang lapuk, menghilang dari padangan. Aisa mengambil cangkul, mengangkat tinggi tinggi, dan mulai mencangkul.

Waktu berlalu tanpa terasa. Sudah sebulan sejak Josep dilahirkan. Sekarang Josep sudah tidak terlalu rewel. Setiap hari kerjanya tidur. Paling gampang menidurkannya adalah dengan memberi susu hingga kekenyangan.

Aisa kini mengiris dan menggoreng singkong di pagi hari. Bekerja sendirian memasukkan kripik ke plastik. Selli dan Juliet sedang ulangan. Sebentar lagi semua libur selama sebulan. Aisa tak berani mencangkul di pagi hari. Takut bertemu Lutong lagi. Takut Lutong kumat gilanya. Mencangkul di sore lebih aman. Selalu ada Towi. Lagian, Lutong berangkat jam 10 pagi untuk keluyuran memalak orang, pulangnya malam.  Jam 11 terdengar suara motor berhenti di halaman. Aisa sedang mengisi kripik. Ibunya keluar untuk melihat siapa yang datang. Biasanya yang sering datang itu Tante Joana.

“ Ada perlu apa pak Setya datang kemari ? “ tanya Yumini, terdengar suaranya dari dapur tempat Aisa mengisi keripik. Aisa kaget. Pak Setya ayahnya Puput, ada apa pak Setya kemari? Apa Puput sakit atau Pak Setya masa tugasnya habis dan harus kembali ke Jakarta,  sengaja datang untuk pamit ?

“ Saya ingin membicarakan anak saya dan Aisa. “ kata Pak Setya.

Yumini menyilahkan pak Setya duduk, menyuruh Aisa membuat teh. Aisa menjerang air. Sambil menunggu air mendidih ia mendengar paki Setya mengatakan Puput sudah tamat SMP, Puput berteman baik dengan Aisa, Puput tak punya teman di Dumai, hanya Aisa satu-satunya teman baik. Puput ingin melanjutkan ke SMEA. Puput ingin mengajak Aisa ikut masuk SMEA.

“ Kondisi keuangan kami sulit. Kami tak mungkin menyekolahkan Aisa lagi, pak Setya. Harap dimaklumi.” Kata Yumini dengan suara datar, mirip orang putus-asa.

“ Kami mengerti kondisi ibu Yumini. Untuk itulah saya datang. Berhubung Puput yang mengajak Aisa, saya bersedia menanggung biaya masuk  Aisa.” Kata Pak Setya.

“ Sekolah bukan hanya biaya masuk, Pak Setya. Setelah masuk setiap bulan harus membayar SPP, membeli buku, naik sepeda sepeda bisa rusak, ada kegiatan harus diikuti, ada acara harus membayar. Aku tak sanggup membayar semua itu, pak Setya. Lihatlah kondisi kami. Mau makan saja susah, mana mungkin memikirkan pendidikan Aisa?” Keluh Yumini.

“ Itu termasuk sudah kami pertimbangkan. Izinkan saya membayar semua itu untuk Aisa. “ kata pak Setya.

“ Anda mendapat uang jatuh dari langit, pak Setya?” tanya Yumini dengan nada menyindir, matanya melotot, ekspresinya tersinggung.

“ Bukan begitu, Bu Yumini. Puput putri kami satu satunya, tentu kami ingin membahagiakannya. Dia suka sekelas dengan Aisa. Apa salahnya kami menanggung biaya pendidikan Aisa? Anggaplah berbuat kebaikan terhadap sesama.”

“ Kami bukan pengemis. Kami tak perlu mengemis. Kami masih sanggup bekerja.” suara Yumini keras.

Aisa sedang menuang air  ke gelas, air tumpah hampir mengenai kaki gara-gara suara keras ibunya.

“ Saya tidak bilang begitu, Bu Yumini. Kami hanya ingin berbagi sesuatu yang kami milki. Tidak bermaksud menghina ibu dan keluarga bu Yumini.” Kata Pak Setya.

“ Tidak ! Aku tidak mengizinkan Aisa bersekolah lagi. Aku butuh tenaganya di rumah. Titik !” Suara Yumini semakin keras. Aisa merasa lututnya gemetar. Haruskah ia keluar mengantar teh di saat tegang seperti ini? Apa nanti ibunya tidak menyampok gelas hingga terpelanting? Ia berdiri menunggu.

Berrsambung..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun