Mohon tunggu...
Deri Prabudianto
Deri Prabudianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

no

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Aisa 21: Preman Jatuh Cinta?

30 Januari 2017   10:02 Diperbarui: 30 Januari 2017   10:22 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“ Setelah bunuh diri aku jadi hantu mengganggumu !” Aisa sudah kepepet, apapun akan dilakukan untuk menyelamatkan dirinya. Setelah ngesot mundur 2 depa, tubuhnya lecet disana sini, sakit rasanya. Tapi, seandainya diperkosa, pasti lebih sakit lagi.

“ Aku tak takut hantu ! Mana hantunya ?!” tantang Lutong, setelah itu terkekeh.

Aisa mengesot mundur sambil meraba tanah yang dilaluinya, terpegang olehnya batang singkong yang sudah tak ada daunnya, kira-kira sedepa. Disambar dan disabetkan ke Lutong. Lutong menangkis dengan tangannya, merampas batang singkong itu dan dikunyah ujungnya. Lutong benar benar kelaparan. Lapar jasmani rohani, lapar perut lapar nafsu. Istrinya melahirkan tak lama setelah Yumini melahirkan. Lutong dipaksa cuti.

Seekor belalang melompat ke wajah Aisa. Aisa terpekik, ia menangkap belalang itu dan membuangnya. Melompat lagi seekor dan seekor lagi. Wajahnya dipenuhi belalang. Aisa sibuk menangkap dan membuang  belalang belalang itu, lupa dirinya hendak diperkosa.

Sementara itu, Lutong sedang menjulurkan tangan untuk merobek baju Aisa. Tangannya terhenti di udara. Di depannya, Aisa sibuk menangkap belakang, di samping Aisa tiba tiba muncul seekor biawak sebesar lengannya. Biawak itu menatapnya sambil menjulurkan lidah keluar masuk, seakan-akan mengejeknya. Wajah Lutong melotot. Ia selalu membawa pisau. Ia mengambil pisau yang dibungkus koran.

Aisa masih sibuk membuang belalang yang hinggap di wajahnya. Lutong berdiri, melontarkan pisaunya seakan sedang bermain dart. Lemparannya jitu, tepat mengenai biawak itu. Pisaunya tancap di punggung biawak, tembus hingga tegak di atas tanah. “ Mampus kau, binatang sialan !  “ teriak lutong.

Aisa mendengar teriakan Lutong, menyangka Lutong memakinya, sedang ingin menindihnya. Ia menelungkupkan tubuhnya sehingga wajahnya menempel ke tanah. Bukankah kata orang tidur telentang gampang diperkosa. Kalau telungkup pasti tak bisa !

Mata Lutong membelalak. Biawak itu menghilang! Yang terlihat hanya belati yang terancap di tanah. Ia tak percaya hantu, tak percaya setan, setiap malam ia pulang larut malam, terkadang jam 12, terkadang jam 2, 4 atau 5 pagi. Tak pernah ia diganggu hantu atau setan. Dicabutnya belati, dibungkus koran, diselipkan kembali ke pinggang dan ditutupi baju. Ia tertawa melihat posisi Aisa yang telungkup. Pelan-pelan ia mendekati Aisa, siap melaksanakan niatnya. Diulurkan tangan ke punggung Aisa untuk merobek baju Aisa. Tangannya tak jadi diulurkan, malah terpaksa ditarik balik. Di atas punggung Aisa bertengger seekor biawak, bukan satu, tapi dua. Matanya berkedip, biawak itu berubah jadi 3, satu di kepala Aisa, satu di pundak, satu lagi di bokong. Pisaunya hanya satu, tak mungkin mengenai 3 biawak sekaligus.

Lutong tak kehilangan akal. Biawak hanya cakarnya yang menakutkan, selebihnya tidak. Ia mencari batang singkong yang agak besar untuk mengusir biawak-biawak itu. Ia berhasil menemukan sebatang singkong yang lumayan besar, berjalan kembali ke tempat Aisa berbaring telungkup.

Matanya terbelakak. Biawak itu bukan lagi 3, tapi lebih dari sepuluh. Semua mengelilingi tubuh Aisa, menjulurkan lidahnya keluar masuk, menatap Lutong dengan sikap mengancam. Satu bergerak, semua ikut bergerak. Satu mengejar, semua ikut mengejar. Lutong lari terbirit-birit melihat belasan biawak mengejarnya. Ia tersungkur gara-gara setiap jemba ada parit dangkal sedalam sejengkal sebagai pembatas cangkulan. Ia bangun, belasan biawak mengepungnya. Ia melompat, berhasil keluar dari kepungan. Nafasnya tersengal sengal, ia belum pernah ketemu kejadian sejanggal ini sebelumnya. Dikepung polisi saja ia berhasil meloloskan diri. Hari ini ia hampir dikeroyok sekumpulan biawak kecil yang menurutnya lawan yang tidak berarti. Melarikan diri bukan prinsipnya sejak ia menjadi preman. Hari ini ia melanggar pantangan itu.

Sepi, tidak terdengar suara apa pun selain daun singkong bergesekan akibat tiupan angin. Aisa meng-gerakkan kepalanya ke samping, mengintip, tidak berhasil melihat Lutong. Digerakkan kepala ke kanan, juga tidak bisa melihat Lutong. Diangkatnya kepala dan menoleh ke belakang. Tiada siapa-siapa di belakangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun