Mohon tunggu...
Maddie Depal Suyadi
Maddie Depal Suyadi Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa, yang belajar ngeblog dan berbagi. Salam ceria... Weblog : http://www.depal.info || pembuat video tutorial edit foto bertema surealis & abstrak di http://youtube.com/depalpiss7 ;)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kenapa harus air yang di salahkan?

2 Oktober 2010   05:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:47 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sampai sekarang, saya tidak pernah mengerti akan hujan. Terutama pada diri saya. Saat hujan turun, terus terang saya merasa damai. Sering sakali pada saat hujan, saya keluar dari rumah dan menyaksikkan air hujan itu membasahi tumbuhan, jatuh di daun-daunnya, jatuh di genting dengan bunyi yang unik, mengalir melalui selokan, membasahi jalanan menyapu debu-debu menimbulkan bau yang khas. Saya sangat menikmati dan menyukainya. Mungkin dari Anda, ada yang tidak setuju dengan pendapat saya di atas. Terutama bagi Anda yang tinggal di daerah rawan banjir dan tiap tahun menjadi korbannya. Kemudian selalu mengkambing hitamkan daerah Bogor, karena air kirimannya ke Jakarta. Membuat banjir yang parah di sejumlah daerah di Jakarta. Benarkah? Atau kita saja yang malas untuk intropeksi diri, kenapa banjir bisa terjadi? Sebelum menjawab itu semua, izinkan saya untuk bercerita. Dahulu sekitar tahun 88-89an. Kurang lebih duapuluh satu atau duapuluh dua tahun yang lalu. Saya tinggal di perkampungan dengan nama Pala Batu atau biasa di sebut oleh orang setempat palbat. Berbatasan dengan desa Rengas di Tangerang Bintaro Jaya. Pada masa itu, kami hidup bersama warga setempat yang kebanyakan adalah orang Betawi. Rata-rata dari mereka masih memiliki banyak kebun tempat menanam pisang, mentimun, tomat dan lain-lain yang biasa di tanam di kebun. Bahkan ada salah seorang di situ yang masih mempunyai beberapa ekor kerbau dan kambing. Sementara di bawah tempat tinggal saya pada waktu itu ada sebuah empang. Saya dan teman-teman sering sekali berenang di empang tersebut. Walaupun saya tidak terlalu sering berenang karena saya takut sekali dengan lintah, ya hewan mirip cacing berwarna hitam dan penghisap darah. Memancing ikan dan juga mencari keong sawah. Saat datang hujan entah berapapun besarnya, rumah kami tidak pernah terkena banjir. Karena memang masih banyak media penyerapan untuk air. Sebagian tanah dan lahan kosong di manfaatkan untuk berkebun oleh para penduduk setempat. Yang menurut saya memang masih tradisional dan dekat dengan alam. Sampai sekitar tahun 97-98an. Saya pindah, karena telah memiliki tempat tinggal baru. Sementara rumah di palbat tersebut hanya sewa. Dengan kata lain saya adalah pendatang. Kemudian tahun 2007. Saya lewat sana untuk sedikit bernostalgia, namun perubahannya sangat pesat. Kebun-kebun yang dahulu saya lihat tidak ada lagi, empang tempat saya berenang dan mencari ikan. Telah berubah menjadi pemukiman padat. Dan percaya atau tidak daerah tersebut sekarang saat hujan sedang deras-derasnya ternyata terkena banjir juga. Inilah yang terjadi sebenarnya. Kenapa banjir sangat dekat dengan kita. Kita merubah daerah resapan menjadi pemukiman padat. Menutupnya dengan benda-benda padat dan hanya menyisakan sedikit sekali untuk seluran air dan serapan air. Hal ini juga di tambah parah dengan membuang sampah sembarangan di kali-kali, di selokan-selokan tempat air seharusnya mengalir. Kita tahu bahwa rumusan air adalah, mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Seperti saat kita menuang air ke dalam gelas, gelas adalah benda padat. Sehingga air tidak bisa kemana-mana dan hanya akan tergenang. Itulah yang sebenarnya terjadi, namun sebagian dari kita tidak menyadarinya. Kalau sudah seperti itu, maka air selalu di salahkan, Bogor selalu di salahkan. Padahal Bogor tidak pernah salah. Hanya kerana Bogor berada di tempat yang tinggi, sementara Jakarta berada di tempat yang lebih rendah,namun memang seperti itu bukan rumusan air? Itulah sebabnya bagi para korban banjir air menjadi biang keladi dan di sertai dengan pernyatakan sebagai berikut : “rumah saya kebanjiran, air di mana-mana, sialan” Padahal seharusnya pernyataan itu di rubah seperti ini : “sialan, gara-gara mengurangi resapan air dan membuang sampah sembarangan, jadi kena banjir” Sekarang tinggal di pilih mau, pernyataan yang mana? Kalau Anda lebih memilih pernyataan yang pertama, maka banjir akan selalu terjadi dan jika Anda memilih pernyataan yang ke dua. Maka akan timbul “action”, atau tindakan mengenai hal ini. Membangun kanal-kanal untuk mengalirkan air ke laut tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya melarikan diri dari masalah menurut saya. Yang terpenting adalah kasadaran kita dan itu adalah solusi yang paling masuk akal. Caranya adalah dengan menyadari ketolololan yan kita sebabkan sendiri, adalah jalan keluarnya. Jadi masih mau menyalahkan air? foto : banjir.. kagetribet.com Baca Juga : SamSara Dan Bulan Antara 2 genggam garam, segelas air dan danau Perjuangan Hati

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun