Mohon tunggu...
Denny Yan Fauzi Nasution
Denny Yan Fauzi Nasution Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Yang selalu berusaha bisa bersyukur atas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Surat untuk Anakku yang Telah Selesai Membaca Buku "Laut Bercerita"

5 Februari 2024   10:00 Diperbarui: 5 Februari 2024   10:22 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Nak, apakah yang bisa dipelajari dari sejarah? Perjuangan, kesedihan, luka, penderitaan, atau kebiadaban yang disembunyikan? Barangkali sejarah dalam bingkai serupa itu hanya bisa dipelajari dalam kisah, lewat cerita. 

Begitulah Laut Bercerita mengisahkan kesedihan, penderitaan dalam perjuangan, luka kehilangan, dan kekejaman yang tanpa diceritakan akan menjadikannya sebagai sejarah yang - pernah ingin - disembunyikan. Laut Bercerita menjadi semacam saksi tentang suatu masa dari suatu bangsa dimana manusia (dan kemanusiaan) tak berharga di hadapan kekuasaan. 

Ada kau bertanya tentang aktivis yang hilang, yang dibuang dan ditenggelamkan ke laut. "Benarkah itu?" Kebenaran, Nak, barangkali memang tak dimungkinkan ditulis dalam sejarah resmi.  Tapi begitulah sebuah kisah memikat, ketika ia tidak hanya melambungkan imajinasi, tapi juga mengguncang emosi. Tak hanya mengaduk-aduk emosi, tapi juga menggambarkan kebenaran. Tentu saja kebenaran yang  hanya ada di kepala pengarangnya, kemudian barangkali menancap dan tegak jadi kebenaran di kepala sekian pembacanya. Gambaran kebenaran dalam fiksi tentu saja relatif. Tapi paling tidak ia, kisah fiksi itu, dengan caranya sendiri berusaha mengungkap kenyataan -- kenyataan yang barangkali ingin dilupakan.

Ayah membaca Laut Bercerita dengan debar: betapa kekejaman bisa dikisahkan dengan indah. Indah, karena ia ditulis dengan baik, dengan kefasihan mengungkap derita batin orang-orang yang kehilangan, kerinduannya, dan kerapuhannya. Ada sekali waktu ayah membayangkan sebagai Arya Wibisana, ayah Biru Laut. Orangtua yang kehilangan ini, Nak,  merawat kenangan sebisa-bisanya, sekuat-kuatnya, sembari terus meyakinkan diri bahwa putranya kelak akan kembali. Kenangan itu sendiri barangkali adalah kekuatan, sekaligus juga rasa sakit yang tertahan. Lalu mengisi hari-hari seperti tak pernah ada peristiwa penculikan itu, seperti semuanya tak pernah terjadi. Ada ayah mencoba meraba, sejauh mana rasa sakit kehilangan seorang anak bisa tertanggungkan. Bisakah? "Bisakah kita memahami hati orang-orang yang tak akan pernah sembuh dari luka kehilangan?" Ada satu kalimat Ibu Laut yang menyentak, "Kamu tak akan tahu beratnya kehilangan anak."

 

Baca juga: Wiji Thukul di TVRI

Kekejaman apakah yang mungkin bisa dilakukan kekuasaan (baca: negara)? Mencuri. Merampok. "Kalau kau membunuh seorang pria, kau mencuri kehidupannya. Kau mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang ayah dari anak-anaknya. Kalau kau berbohong, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Kalau kau berbuat curang, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan keadilan." (Kalimat itu dari buku The Kite Runner, Khaled Hosseini).  

Kekuasaan yang dijalankan sewenang-wenang adalah kekuasaan yang tak suka melihat keadilan tegak dan kebenaran terungkap, yang tak bisa menghadapi kritik dan suara-suara berbeda, sehingga siapa saja yang tidak bisa sejalan dengan kekuasaan itu harus dibungkam. Begitulah kekuasaan merasa berhak untuk mencuri dan merampok, menindas manusia (dan kemanusiaan). Kekuasaan tentu bisa melakukan apa saja. Tapi, Nak, kekuasaan tidak bisa mengambil pikiranmu untuk melawan.   

Laut Bercerita adalah satu pelajaran dari sejarah kebiadaban kekuasaan. Ia juga adalah ikhtiar perlawanan dan kehendak untuk tak ingin dibungkam.  Bolehkah kita melupakannya? Sebagian barangkali tak lagi ingin mengingatnya, sejarah kebiadaban itu. Dan di sinilah kita, di masa ketika kekuasaan yang brutal itu telah jatuh, dan orang-orang mulai percaya bahwa rezim yang berganti akan membereskan persoalan. Ya, di sinilah kita, Nak, di antara kepingan puzzle sejarah bangsa ini dari luka dan kepedihan orang-orang yang dihilangkan dan yang kehilangan, di antara kehendak untuk berubah dan hasrat untuk mereguk semua kenyamanan di kursi empuk kekuasaan, "di antara begitu banyak pertanyaan (yang cerdas maupun yang dungu) yang mengomentari tingkah laku pemerintah."  

Betapa pun, hidup harus terus dilanjutkan. Seperti kata Biru Laut: "Seandainya belum ada satu pimpinan pun yang menunaikan janjinya untuk mengungkap kasus kematianku dan kematian semua kawan-kawan, maka inilah saranku: kalian semua harus tetap menjalankan kehidupan dengan keriaan dan kebahagiaan."

Sudah ya, Nak. 

NB: Sebelum lupa, ada satu kalimat Pramoedya Ananta Toer yang ayah ingin kutip, barangkali ada gunanya untuk kau ingat-ingat,  "Sekali dalam hidup, orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa." 


 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun