PENDAHULUAN
Indonesia merupakan produsen utama yang Crude Palm Oil (CPO) di dunia, dengan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, terutama dalam bentuk minyak goreng. Namun, pada akhir tahun 2021 hingga pertengahan 2022, masyarakat Indonesia menghadapi krisis ketersediaan dan lonjakan harga minyak goreng secara signifikan. Kelangkaan ini bukan semata-mata disebabkan oleh dinamika pasar global, melainkan juga dipengaruhi oleh adanya praktik korupsi dalam kebijakan ekspor CPO yang tidak sesuai ketentuan, sehingga menimbulkan distorsi dalam distribusi minyak goreng di dalam negeri (Tempo, 2022). Untuk mengatasi kelangkaan, pemerintah memberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yaitu kewajiban bagi perusahaan untuk memasok sebagian CPO ke pasar domestik sebelum diberikan izin ekspor. Namun, dalam praktiknya, ditemukan adanya pelanggaran terhadap kebijakan tersebut. Sejumlah perusahaan besar tetap mendapat izin ekspor tanpa memenuhi DMO, yang diduga melibatkan pejabat di Kementerian Perdagangan RI. Hal ini membuka ruang korupsi dan kolusi antara pengusaha dan pejabat publik, yang berdampak langsung pada terganggunya pasokan dan stabilitas harga minyak goreng di pasar domestik (Kejaksaan Agung RI, 2022).
Dalam beberapa tahun terakhir, ada pergeseran harga CPO di seluruh dunia, yang berdampak pada harga minyak goreng di pasar domestik. Namun, harga minyak goreng di pasar domestik tidak berubah secara proporsional ketika harga input CPO turun. (Tinggi et al., 2022). Krisis ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengapa komoditas sepenting minyak goreng, yang bahan bakunya berlimpah di negeri sendiri, justru sulit dijangkau oleh rakyatnya. Situasi ini mengindikasikan adanya disfungsi serius dalam tata niaga, yang tidak hanya bersifat struktural tetapi juga melibatkan intervensi nonpasar yang bersifat merusak. Urgensi penelitian ini terletak pada kebutuhan mendesak untuk membongkar akar masalah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang merugikan masyarakat luas, dengan fokus pada praktik korupsi yang terjadi di tingkat korporasi.
Kasus ini kemudian menyeret beberapa tersangka, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta, dalam dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO. Berdasarkan pernyataan resmi Kejaksaan Agung, perbuatan ini menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat serta mengganggu ketahanan pangan nasional (Kompas.com, 2022). Kejadian ini menyoroti pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan dalam pengelolaan sektor strategis nasional. Korupsi dalam industri CPO tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengancam akses masyarakat terhadap bahan pokok yang seharusnya mudah dan terjangkau. Oleh karena itu, analisis terhadap pengaruh korupsi dalam industri CPO terhadap stabilitas harga minyak goreng menjadi penting untuk merumuskan solusi kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan bebas dari praktik koruptif.
Penyitaan yang hasil tindak pidana korupsi yang bernilai fantastis ini yang di lakukan dari satu tersangka korupsi kasus korupsi ekspor CPO Yaitu. PT. Wilmar group. Berikut rincian pengembalian uang yang terdapat dari lima anak perusahaan Wilmar group.
1. PT. Multimas nabati Asahan RP 3,9 triliun
2. PT. Multi nabati Sulawesi Rp 39, 7 miliar
3. PT. Sinar alam permai RP 483,9 miliar
4. PT Wilmar bioenergi Indonesia RP 57, 3 milliar
5. PT Wilmar nabati Indonesia RP 7,3 triliun
  Sebetulnya bukan hanya milliar grup kareja ada 2 tersangka korupsi lain. Yang di jerat dalam kasus ekspor minyak sawit mentah, yaitu ada PT permata hijau group, PT musim mas group. Yang dimana PT permata hijau group belum mengembalikan Rp 937, 6 milliar, dan PT musim mas group belum mengembalikan RP 4,89 triliun. Hakim yang menangani kasus ini sudah memberikan vonis lepas dari tuntutan pidana bagi tiga koperasi tersebut, namun dalam kasus ini belum ada kekuatan hukum yang tetap atau belum inkrah sehingga proses penuntutan masih terus berjalan dan ke-dua perusahaan ini di minta untuk kooperatif mengembalikan dana tersebut seperti yang di lakukan oleh Wilmar group (Kenneth, 2024).