Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist

Geologist | Open Source Software Enthusiast | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apoteker Viral, Korelasi, dan Kausalitas

15 Juli 2021   15:26 Diperbarui: 15 Juli 2021   21:19 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua hal yang berkorelasi tidak berarti memiliki hubungan sebab-akibat (Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels)

Beberapa hari lalu viral seorang apoteker yang menuding vaksinasi sebagai biang keladi kasus positif covid-19. Hampir setiap hari ia melihat keluarga pasien positif covid-19 mendatangi apoteknya.

Ia mengaku selalu bertanya kepada mereka apakah keluarganya yang terpapar sudah pernah divaksinasi atau belum. Apoteker tersebut bahkan mengklaim memiliki banyak bukti yang menguatkan.

Narasi tersebut mempengaruhi pola pikir masyarakat soal vaksin. Hingga kini sebagian masyarakat masih ragu dengan vaksin. Mereka bahkan ikut-ikutan mengaitkan kasus kematian covid-19 yang meroket dengan upaya vaksinasi yang tengah gencar dilakukan pemerintah.

Masifnya upaya vaksinasi dan kasus terkonfirmasi covid-19 yang belum kunjung mereda memang terjadi bersamaan. Keduanya menunjukkan hubungan yang bersesuaian, makin hari sama-sama makin tinggi.

Tapi benarkah demikian yang terjadi?

Saya tidak akan membahas hubungan antara vaksinasi dan kasus covid-19 secara ilmiah, lha wong disiplin ilmu saya jauh berbeda. Yang akan saya soroti di sini adalah tentang cara berpikir saat menerima informasi dan fenomena infodemi yang terjadi sekarang.

Sekilas kedua hal tersebut, vaksinasi dan kasus positif covid-19 menunjukkan kesamaan pola kemunculan. Akan tetapi satu hal yang seringkali jadi kekeliruan kita adalah menganggap suatu hal yang berhubungan dengan hal lain juga memiliki hubungan sebab-akibat.

Kesamaan pola kemunculan dua hal yang berlainan disebut sebagai korelasi, sedangkan jika kedua hal menunjukkan hubungan sebab-akibat maka disebut memiliki kausalitas. Keduanya adalah hal yang berbeda, tapi sering kita anggap sebagai sesuatu yang serupa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korelasi agaknya diartikan seara kurang tepat. Di sini dikatakan korelasi adalah hubungan timbal balik atau sebab-akibat. Padahal sesungguhnya tidak semua hal yang berkorelasi juga memiliki hubungan kausalitas.

Salah satu contoh lucu dan menarik tentang perbedaan korelasi dan kausalitas ini saya ambil dari buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Keterkaitan Ilmu, Agama, dan Seni yang ditulis oleh Jujun S. Suriasumantri. Diceritakan pada suatu daerah terjadi banjir bandang. Pada saat yang sama puluhan kambing buang air kecil ke aliran sungai.

Meski keduanya muncul pada saat bersamaan, namun kita tidak bisa mengaitkan kencing kambing dengan banjir bandang. Coba saja bayangkan, apakah cukup hanya kencing puluhan kambing mampu merendam pemukiman sekampung.

Mendung merupakan salah satu tanda akan turun hujan. Keduanya bisa dibilang memiliki korelasi. Akan tetapi, mendung bukanlah penyebab langsung terjadinya hujan. Hujan turun disebabkan pembentukan partikel-partikel air dalam bentuk cair di atmosfer akibat penurunan suhu.

Oleh sebab itu, dalam ilmu statistik dikenal istilah "Correlation does not imply causation", atau dengan kata lain "korelasi tidak selalu berarti sebab-akibat".

Pada kasus lain, dua hal bisa memiliki korelasi sekaligus kausalitas, tetap masih ada faktor lain yang menyebabkan suatu peristiwa dapat terjadi. Mari kita ambil contoh kegiatan olahraga.

Proses pembentukan otot sejalan dengan intensitas latihan yang dilakukan seseorang. Olahraga juga telah terbukti dapat membentuk massa otot. Bisa dikatakan kedua variabel memiliki korelasi sekaligus kausalitas.

Namun kita tidak bisa hanya melihat dari faktor intensitas olahraga. Masih banyak faktor lain yang menentukan perkembangan otot, misalnya dari nutrisi, pola tidur, dan kebiasaan merokok. Fokus pada satu variabel dan melupakan variabel yang lainnya adalah hal yang juga keliru, kecuali jika kita memang sedang melakukan penelitian dengan asumsi tertentu.

Mengapa membedakan korelasi dan kausalitas penting?

Di era digital seperti sekarang, kita mengalami banjir informasi (information overload). Fenomena ini membawa dampak positif berupa ketersediaan informasi secara cepat tanpa batas ruang dan waktu. Di sisi lain banjir informasi berpotensi menurunkan kepekaan kita terhadap vadilitas konten dan risiko misinformasi.

Pemahaman tentang korelasi dan kausalitas sangat diperlukan untuk menyaring informasi dengan benar. Kita akan lebih teliti ketika menerima informasi dan memastikan validitasnya sebelum mengimplementasikan atau membagikannya ke pihak lain.

Tentu kita tidak lupa informasi tentang hubungan antara covid-19 dan teknologi 5G. Keduanya memiliki korelasi, muncul di saat yang hampir bersamaan. Tapi jika dilihat dari segi kausalitasnya, kita akan tahu kabar ini benar atau bohong belaka.

Begitu juga viralnya produk susu beruang (atau susu naga atau entah susu apa itu) yang disebut-sebut mampu menyembuhkan covid-19. Korelasinya jelas terlihat, si penderita berangsur-angsur membaik setelah minum susu tersebut.

Namun kebanyakan masyarakat melihat korelasi itu sebagai kausalitas juga. Minum susu dan sembuh dari covid-19 bisa saja memang berkorelasi, tapi bukan berarti susu beruang adalah obat mujarab penyembuh covid-19. Barangkali susu hanya pelengkap disamping nutrisi utama dan obat-obatan yang dbutuhkan penderita untuk meningkatkan imun tubuh, bukan satu-satunya penyebab sembuh dari covid-19.

Karena tidak mampu berpikir kritis dan mengecek validitas informasi secara benar, akhirnya terjadilah panic buying. Toko-toko diserbu, susu ludes dalam waktu singkat.

Jika fenomena ini terjadi terus menerus, kita berpotensi mengalami hal serupa di masa yang akan datang, bahkan lebih buruk. Hanya karena salah respon terhadap informasi, bisa saja terjadi penjarahan, demonstrasi besar-besaran, atau bahkan kekacauan di tengah upaya kita mengatasi pandemi berkepanjangan.

Referensi internet: 

satu dua

Rerefensi buku: 

Suriasumantri (2003), Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Keterkaitan Ilmu, Agama, dan Seni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun