Setiap hari, ada satu percakapan yang berlangsung tanpa henti di kepala setiap manusia---dan itu bukan dengan orang lain, tapi dengan diri sendiri. Lucu, ya? Kita bisa berbicara dengan siapa pun di dunia ini, tapi justru percakapan yang paling berpengaruh seringkali terjadi secara diam-diam, di dalam batin kita sendiri. Ethan Kross, seorang ilmuwan yang sudah lebih dari dua dekade mempelajari emosi manusia, menyebut percakapan batin ini sebagai suara hati, dan ia percaya bahwa suara ini punya kekuatan super. Tapi seperti semua kekuatan besar, ia juga punya sisi gelapnya.
Kalau dipikir-pikir, kita sering banget melakukannya tanpa sadar. Misalnya saat mau ke warung, dan kita mengulang dalam hati, "Susu, mi instan, sabun." Atau saat mau maju presentasi, "Tenang, kamu bisa. Tarik napas dulu." Suara itu kadang muncul dalam bentuk motivasi, rencana, bahkan kritikan terhadap diri sendiri. Dan ya, suara ini bukan berarti kamu gila atau aneh---itu sepenuhnya manusiawi. Justru, menurut sains, kita menghabiskan sekitar setengah hingga sepertiga dari waktu bangun kita tidak benar-benar hadir di momen sekarang. Pikiran kita sering melayang ke masa lalu atau masa depan, dan saat itulah si suara hati mengambil alih.
Tapi, apa benar suara hati itu selalu membantu? Nggak juga. Karena kadang, suara itu bisa berubah jadi celoteh yang menyebalkan. Celoteh ini bukan kayak ngobrol santai, tapi lebih kayak pikiran yang muter-muter di tempat. Misalnya saat kamu lagi mencoba menyelesaikan masalah, tapi makin dipikirin malah makin ruwet. Atau saat kamu bikin kesalahan kecil, dan tiba-tiba kepala kamu nyindir, "Kok bodoh banget sih kamu, masa gitu aja nggak bisa?" Nah, itu dia si celoteh yang dimaksud Ethan Kross---chatter, suara hati yang bikin kita terjebak dalam lingkaran negatif.
Celoteh ini bisa muncul kapan aja, dan dampaknya serius. Kita bisa jadi susah fokus, susah tidur, cemas berlebihan, bahkan bisa berdampak pada kesehatan fisik kita. Pernah nggak sih ngerasa abis baca satu halaman buku tapi nggak paham sama sekali apa isinya? Rasanya kayak mata membaca, tapi otak jalan-jalan entah ke mana. Itu salah satu contoh nyata dari bagaimana celoteh bisa mencuri perhatian kita. Atau, pernah juga nggak sih kamu cerita ke teman, dan akhirnya kamu curhat terus-menerus soal masalah yang sama, berulang kali? Dan bukannya menemukan solusi, kamu malah jadi makin lelah dan frustasi.
Masalahnya, kebanyakan orang berpikir solusi dari celoteh ini adalah "berhenti berpikir," atau "diamkan suara hati itu." Padahal, menurut Ethan, ini bukan tentang membungkam suara hati---tapi tentang mengelolanya. Karena suara hati itu sendiri adalah alat luar biasa yang bisa bantu kita merencanakan hidup, mengingat hal penting, bahkan membentuk siapa kita sebenarnya. Jadi, kuncinya adalah bukan mematikannya, tapi menyusun ulang cara kita berbicara pada diri sendiri.
Salah satu cara sederhana tapi sangat kuat adalah dengan mengubah cara kita memanggil diri sendiri dalam pikiran. Biasanya, kita ngomong ke diri sendiri dengan kata "aku" atau "saya". Tapi coba sesekali ubah, dan gunakan nama sendiri atau kata "kamu." Ini yang disebut Ethan sebagai distanced self-talk. Misalnya, daripada bilang, "Aku harus tenang," coba katakan dalam hati, "Deni, kamu bisa kok lewati ini. Santai, tarik napas."
Contoh paling menarik datang dari Malala Yousafzai, pemenang Nobel Perdamaian termuda yang pernah ada. Saat ia tahu bahwa Taliban ingin membunuhnya, ia merenung dalam hati. Dan saat ia bercerita soal itu dalam wawancara, ia bilang, "Aku bertanya pada diriku sendiri, 'Apa yang akan kamu lakukan, Malala?' Lalu aku menjawab dalam hati, 'Malala, ambil sepatu dan pukul dia.' Tapi kemudian aku bilang, 'Kalau kamu pukul Talib dengan sepatumu, kamu tidak beda dengan dia.'" Di titik paling menegangkan dalam hidupnya, dia bicara ke dirinya sendiri seolah-olah dia adalah orang lain. Dan itu justru membuat pikirannya jernih, bisa ambil keputusan lebih bijak.
Fenomena ini bukan hal baru. Bahkan dulu, ada tokoh bernama Raja Sulaiman yang dikenal bijak karena bisa kasih nasihat luar biasa ke orang lain, tapi ternyata kacau balau dalam urusan hidupnya sendiri. Ethan menyebut ini sebagai Paradoks Sulaiman: kita lebih jago memberi saran ke orang lain daripada ke diri sendiri. Nah, dengan teknik distanced self-talk ini, kita seolah-olah menjadikan diri kita sebagai orang luar, dan ajaibnya, kita bisa bersikap lebih rasional.
Selain mengubah cara berbicara dalam hati, cara lain yang bisa membantu adalah bicara dengan orang lain---dengan syarat. Kita harus pilih dengan sangat hati-hati siapa yang jadi teman ngobrol kita. Soalnya, curhat itu bisa jadi pedang bermata dua. Memang menyenangkan kalau ada teman yang mau dengar keluh kesah kita, tapi kalau cuma curhat doang tanpa arah, kita bisa berputar-putar dalam emosi yang sama. Kita keluar dari obrolan itu mungkin merasa lebih dekat dengan si teman, tapi masalahnya masih ada di sana, dan si celoteh di kepala kita tetap aktif.
Makanya, penting banget untuk cari orang yang bukan cuma mau mendengarkan, tapi juga bisa bantu menata ulang cara kita memikirkan masalah. Bukan sekadar "Oh iya, sabar ya," tapi lebih ke, "Oke, terus menurut kamu solusinya gimana?" atau "Kalau kamu lihat masalah ini dari sudut pandang lain, gimana rasanya?" Orang yang bisa bantu kita berpikir lebih objektif, bukan cuma ikut tenggelam dalam emosi kita, adalah aset berharga.