Koran Kompas. Salah satu media cetak yang menemani saya dari kecil sampai sekarang. Sejak kecil? Memangnya anak kecil sudah membaca koran Kompas?
Tentu saja tidak. Namun memang sejak kecil saya sudah mengenal koran Kompas. Adalah bapak saya yang berlangganan koran Kompas. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja bapak menyempatkan diri untuk membaca koran Kompas.
Hanya sekilas-kilas. Sorenya baru dibaca sampai tuntas. Nah, ketika sore hari kerap terjadi drama. Bapak dengan nada tinggi menanyakan korannya kalau tak terlihat di tempat biasa.
Karena bapak tahu saya senang membaca, jadilah saya yang ditanyai.
"Koran bapak mana? Sana cari koran Kompas yang tadi pagi bapak taruh sini."
Dari situlah saya tahu koran Kompas. Kala itu saya masih SD. Meski senang membaca tapi belum tertarik membaca koran Kompas yang dalam pandangan saya saat itu isinya berat.
Setelah SMP barulah saya mulai membaca koran Kompas. Itu pun masih pilih-pilih. Mana judul yang menarik, itulah yang saya baca. Selain itu hanya saya buka-buka saja dan baca sekilas-kilas.
Bukan apa-apa. Saya merasa sayang kalau ada tulisan atau berita bagus tapi setelahnya hanya jadi bungkus nasi. Sementara tulisan-tulisan di harian Kompas sangat bagus dan  menarik.
Setiap momen khusus dibuat ulasan yang khusus juga. Contohnya artikel dengan judul 100 Tahun Bung Karno. Isinya kan bagus. Masa setelah dibaca jadi bungkus nasi? Lebih baik saya gunting lalu dibuat kliping.