Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cernak: Sahabat dalam Kisahku

6 Oktober 2021   14:27 Diperbarui: 6 Oktober 2021   14:29 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat dalam Kisahku

Jam dinding di rumahku sudah menunjukkan pukul setengah tujuh waktunya aku berangkat sekolah. Sebelumnya, aku harus mengisi perutku terlebih dahulu dengan sepiring nasi goreng buatan Ibu agar aku memiliki tenaga untuk menjalankan aktivitas hari ini. Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh sehingga berangkat pukul tujuh juga tidak akan terlambat. Aku sebenarnya dapat berjalan kaki menuju sekolahku, tetapi teman-teman mengajakku menggunakan sepeda beramai-ramai ke sekolah.

"Yosep... Yosep..." panggil teman-temanku di depan pagar rumahku.

Namaku Muhammad Ismail Saepullah. Teman-teman dan kedua orang tuaku memanggilku dengan sebutan Yosep agar mudah memanggilnya. Katanya sih diambil dari awal kata nama terakhirku, Saepullah. Sekarang aku sekolah di SD Cempaka di daerah Sukabumi. Oh ya, usiaku baru sepuluh tahun. Aku duduk di kelas lima, yang memiliki wali kelas bernama Pak Herdi. Sosok guru yang sangat baik dan sudah seperti ayahku.

"Bu, Yosep berangkat dulu." Ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu.

"Bekalnya sudah dimasukkan tas? Ya sudah, hati-hati!"

"Sudah. Assalamu'alaikum." Ucapku sambil menaiki sepeda bututku.

Aku tinggal di rumah sederhana tetapi berada di dalam kompleks kepolisian. Aku hidup hanya bersama Ibu karena ayahku sudah lama meninggal. Ayahku dulu adalah seorang perwira polisi. Aku belum tahu cerita meninggalnya ayah. Ayahku meninggal di saat usiaku tiga tahun. Untuk menghidupi aku, Ibu membuka toko kue. Ibu, mengasuhku dengan menjadi dua sosok yaitu seorang Ibu sekaligus menjadi seorang ayah. Aku sangat bangga dengan Ibu.

"Ayo kita berangkat!!" ajakku pada teman-teman.

Dengan suasana hati riang, canda tawa yang menaungi anak-anak sekolah dasar, membuat jalan-jalan sepi menjadi ramai. Hanya satu atau dua mobil yang melintasi jalan yang aku lewati. Jalan itu bukan jalur utama namun cukup besar. Teriakan aku dan teman-teman membuat pagi menjadi ikut tertawa. Matahari yang muncul tersenyum untuk kami dan dunia.

Di dalam perjalanan menuju sekolah, aku merasakan kehilangan satu orang teman yang bernama Bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun